Membersihkan rumah, baik pada bagian dalam rumah, ataukah luarnya, merupakan adab islami yang kini banyak disepelekan oleh sebagian besar kaum muslimin, sehingga tidak heran apabila kita akan menemukan sampah-sampah, dedaunan bertebaran dan rerumputan yang menjalar dan berkeliaran di halaman rumahnya. Bahkan ada diantara mereka yang membiarkan rerumputan itu memasuki rumah mereka dan jadilah pekarangan rumah mereka laksana hutan belantara, dan rumah mereka ibarat kandang hewan yang berantakan.
Sebuah pemandangan yang amat menjijikkan, sebagian muslim mengumpulkan dan membiarkan berbagai macam barang-barang rongsokan menumpuk di dalam atau di luar rumahnya, sehingga menciptakan pemandangan yang jorok. Belum lagi, anak-anak mereka sembarang membuang sampah di halaman rumah, tanpa menyiapkan tempat khusus pembuangan sampah, seperti tong sampah dan lainnya yang dapat mencegah sampah berserakan kemana-mana.
Ajaran membuang sampah ini telah dicanangkan oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- kepada umatnya sejak 14 abad yang lalu, sebelum orang-orang barat mengenal peradaban.
Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,
طَهِّرُوْا أَفْنِيَتَكُمْ، فَإِنَّ الْيَهُوْدَ لاَ تُطَهِّرُ أَفْنِيَتَهَا
“Bersihkanlah halaman-halaman kalian. Karena, kaum Yahudi tidak membersihkan halaman-halaman mereka.” [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Mu’jam Al-Ausath (4/231). Hadits ini hasan sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 236)]
Seorang yang memiliki keimanan yang bersih, maka keimanannya akan memberikan pengaruh kepada anggota-anggota tubuhnya, sehingga anggota-anggota tubuh itu akan selalu bersih dan mencintai kebersihan.
Akan tetapi apabila raga seseorang kotor, maka itu adalah cerminan akan kotornya kalbu dan jiwa orang itu.
Al-Imam Abdur Rouf Al-Munawiy -rahimahullah- berkata dalam menjelaskan hadits di atas,
ونبه بالأمر بطهارة الأفنية الظاهرة على طهارة الأفنية الباطنة وهي القلوب والأرواح
“Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- memberi peringatan melalui perintah membersihkan halaman-halaman rumah yang tampak tentang halaman-halaman yang bathin (tersembunyi), yakni hati dan ruh.” [Lihat Faidhul Qodir (4/271)]
Perintah membersihkan pekarangan rumah ini semakin kuat, dengan adanya perintah menyelisihi Ahli Kitab dari kalangan Yahudi. Sebab, hidup jorok adalah kebiasaan dan jalan hidup mereka yang sudah dikenal pada zaman kenabian. Sementara kebiasaan hidup kaum muslimin (yakni, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya) saat itu adalah HIDUP BERSIH di atas bimbingan wahyu.
Al-Imam Al-Amir Muhammad bin Isma’il Al-Kahlaniy Al-Hasani Ash-Shon’aniy –rahimahullah– berkata saat memetik ibrah dari hadits ini,
ومخالفتهم مراده في مثل هذا أو ليكون تفرقة بين دوركم ودورهم للناظر.
“Menyelisihi mereka (kaum Yahudi), itulah maksud beliau dalam perkara seperti ini, atau agar hal itu menjadi pembeda antara rumah-rumah kalian dengan rumah-rumah mereka bagi orang yang melihatnya. [Lihat At-Tanwir Syarhul Jami’ Ash-Shoghir (7/139)]
Syariat kita adalah syariat yang membangun kehidupan nazhofah (bersih). Lantaran itu, di dalam syariat kita, diterangkan tata cara membersihkan kotoran, najis berupa darah, tahi, kencing, jilatan anjing, atau tata cara mandi junub, membuang najis dari air dan makanan, membersihkan gigi dengan siwak, berwudhu’, dan masih banyak lagi syiar-syiar nazhofah (kebersihan) dalam agama Islam yang tidak ada pada umat-umat kafir.
Oleh karena itu, suatu aib dan celaan besar apabila seorang muslim “BERGAYA HIDUP JOROK” (Makassar : rantasa’).
Seorang muslim hendaknya selalu menjaga dan memperhatikan
kebersihan diri dan lingkungannya, mulai dari anggota-anggota badannya, pakaian, kendaraan, rumah (baik dalam, maupun luarnya), kantor, dan lainnya.
Kebersihan adalah sesuatu yang indah, sedang sesuatu yang indah adalah perkara yang dicintai oleh Allah -Azza wa Jalla-.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Indah, mencintai keindahan.” [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 91)]
“Allah memiliki keindahn muthlaq : keindahan pada dzat-Nya, sifat-sifatnya, dan perbuatan-perbuatannya.” [Lihat At-Taisir bi Syarh Al-Jami’ Ash-Shoghir (1/504)
Ketika Allah menyifati dirinya dengan keindahan, maka Dia juga mengabarkan bahwa dirinya mencintai keindahan lahiriah dan batin pada diri hamba-hamba-Nya.
Al-Allamah Abdur Rohman Ibnu Nashir As-Sa’diy –rahimahullah– berkata,
فإنه تعالى جميل في ذاته وأسمائه وصفاته وأفعاله ،
يحب الجمال الظاهري والجمال الباطني .
فالجمال الظاهر : كالنظافة في الجسد ، والملبس ، والمسكن ، وتوابع ذلك .
والجمال الباطن : التجمل بمعاني الأخلاق ومحاسنها .
“Sesungguhnya Dia (Allah) -Ta’ala- adalah Maha Indah pada dzat (diri)-Nya, nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya.
Dia mencintai keindahan lahiriah dan keindahan batin.
Keindahan lahiriah : seperti, kebersihan pada jasad, pakaian, tempat tinggal, dan pelengkap-pelengkapnya.
Sedang keindahan batin : memperindah diri dengan makna-makna akhlak serta akhlak-akhlak yang indah.” [Lihat Bahjah Qulub Al-Abror wa Qurroh Uyun Al-Akhyar fi Syarh Jawami’ Al-Akhbar (1/233) karya As-Sa’diy]
Jadikanlah keindahan lahiriah dan batin kita sebagai prinsip yang selalu mewarnai kehidupan kita, dimanapun kita berada.
Prinsip itu harus berada di tangan kaum muslimin, jangan sampai direbut oleh kaum kafir, sehingga merekalah yang dikenal sebagai pelopor kebersihan dan sebagai “manusia bersih”, walaupun hakikatnya mereka tetap saja kotor!![1].
Para pembaca yang budiman, diantara rumah-rumah yang harus lebih kita jaga kebersihannya adalah rumah-rumah Allah (baca : masjid-masjid) dan pesantren-pesantren yang menjadi tempat kita beribadah, sholat, berdzikir, bermajelis ilmu, berkumpul, membaca Al-Qur’an, dan lainnya.
Tugas menjaga kebersihan masjid, bukanlah kerendahan dan kehinaan. Tugas menjaga kebersihan masjid merupakan tugas para nabi dan rasul yang mulia.
Inilah yang Allah -Tabaroka wa Ta’ala- sinyalir dalam sebuah firman-Nya,
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ [البقرة : 125]
“Dan Telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (QS. Al-Baqoroh : 125)
Al-Allamah Ibnu Asyur Al-Malikiy -rahimahullah- berkata,
وَالْمُرَادُ مِنْ تَطْهِيرِ الْبَيْتِ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ لَفْظُ التَّطْهِيرِ
– مِنْ مَحْسُوسٍ : بِأَنْ يُحْفَظَ مِنَ الْقَاذُورَاتِ وَالْأَوْسَاخِ لِيَكُونَ الْمُتَعَبِّدُ فِيهِ مُقْبِلًا عَلَى الْعِبَادَةِ دُونَ تَكْدِيرٍ،
– وَمِنْ تَطْهِيرٍ مَعْنَوِيٍّ : وَهُوَ أَنْ يُبْعَدَ عَنْهُ مَا لَا يَلِيقُ بِالْقَصْدِ مِنْ بِنَائِهِ مِنَ الْأَصْنَامِ وَالْأَفْعَالِ الْمُنَافِيَةِ لِلْحَقِّ كَالْعُدْوَانِ وَالْفُسُوقِ، وَالْمُنَافِيَةِ لِلْمُرُوءَةِ كَالطَّوَافِ عُرْيًا دُونَ ثِيَابِ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ.
وَفِي هَذَا تَعْرِيضٌ بِأَنَّ الْمُشْرِكِينَ لَيْسُوا أَهْلًا لِعِمَارَةِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ لِأَنَّهُمْ لَمْ يُطَهِّرُوهُ مِمَّا يَجِبُ تَطْهِيرُهُ مِنْهُ
“Yang dimaksud dengan ‘MEMBERSIHKAN BAITULLAH’ adalah perkara yang ditunjukkan oleh lafazh “that-hir” (membersihkan), yakni (membersihkannya) dari:
– sesuatu yang bersifat kongkrit, misalnya : menjaganya dari tahi dan kotoran, agar orang beribadah di dalamnya dapat fokus di atas ibadahnya, tanpa ternodai.
– Juga berupa pembersihan yang bersifat abstrak, yaitu dijauhkan dari Baitullah sesuatu yang tidak sejalan dengan tujuan pembangunannya berupa berhala-berhala, dan perbuatan-perbuatan yang yang menyalahi kebenaran (seperti : permusuhan, dan kefasikan), perbuatan-perbuatan yang yang menyalahi harga diri (seperti : telanjang tanpa pakaian pria dan wanita).
Di dalam hal ini, terdapat sindirian bahwa kaum musyrikin bukanlah orang yang berhak memakmurkan Masjidil Haram, karena mereka tidaklah membersihkan Baitullah dari perkara-perkara yang wajib dibersihkan darinya.” [Lihat At-Tahrir wa At-Tanwir (1/712)]
Ayat ini menunjukkan bahwa kaum muslimin (sebagai pelanjut ajaran Islam yang sejak dahulu telah diajarkan oleh para nabi dan rasul) dianjurkan untuk senantiasa mengemban dan melanjutkan tugas mulia ini. Kaum muslimin harus lebih memperhatikan kebersihan masjid-masjid dan pesantren-pesantren mereka, melebihi perhatian para petugas kebersihan pada toilet-toilet di pusat perbelanjaan, dan pompa-pompa bensin.
Hendaknya kita malu kepada Allah -Azza wa Jalla- sebelum kita malu kepada manusia saat kita membiarkan WC dan toilet masjid atau pekarangan masjid diwarnai dengan kotoran dan sampah-sampah!!
Di dalam agama kita ada syariat KEBERSIHAN pada tempat-tempat ibadah dan ilmu. Jangan sia-siakan syariat mulia itu. Jika kalian menjaga kebersihan dimanapun dan kapan pun, baik di rumah, di jalan, apalagi di masjid, maka yakin –insya Allah- Allah membalas niat baik dan perbuatan mulia kalian itu.
Al-Imam Shiddiq Hasan Khan Al-Qinnaujiy –rahimahullah– berkata,
وفي الآية مشروعية طهارة المكان للطواف والصلاة
“Di dalam ayat ini terdapat pengsyariatan membersihkan tempat tawaf dan sholat.” [Lihat Fathul Bayan fi Maqoshidil Qur’an (1/278)]
Kebersihan adalah cerminan kepribadian seorang hamba. Kapan lahiriahnya bersih, maka itu adalah tanda bahwa hatinya bersih. Sebab, kebersihan batin adalah tugas utama sebelum kebersihan lahiriah. Disinilah perlunya mempelajari ilmu wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah) agar kita berbuat di atas ilmu dan niat yang lurus. Nah, orang yang menjaga kebersihannya karena tahu ilmu dan keutamaannya, maka ia akan mendapat pahala dari kebersihannya. Dengannya, ia terpuji di sisi manusia, bahkan di sisi Allah.[2]
Sebaliknya, Kapan saja lahiriah seseorang kotor dan jorok, maka ini adalah isyarat bahwa batin orang itu adalah kotor. Sebab, tidak mungkin batinnya yang bersih dan terbimbing dengan ilmu wahyu, akan membiarkan jasad dan lahiriah serta lingkungan sekitarnya akan kotor dan jorok.
……………………………………………………………..
Selesai, Kamis 1 Dzul Qo’dah 1437 H
…………………………………………….
……………………………
[1] Perlu diketahui bahwa orang kafir bagaimana pun bersihnya, maka mereka tetap kotor (lahir dan batin). Secara batin, tentunya batin mereka terkotori dengan kekafiran, kesyirikan, dosa-dosa. Lahiriah dan jasad mereka juga kotor dan jorok. Bukankah kalian melihat mereka tidak menjaga diri dari najis berupa tahi, kencing, liur anjing dan hewan lainnya?!
[2] Adapun orang yang bersih karena kebiasaan dan tabiat pembawaannya yang suka bersih, tanpa didasari dengan bimbingan ilmu wahyu, maka ia hanya terpuji di sisi manusia, dan tidak mendapatkan pahala, wallahu a’lam.