Musibah terlalu banyak menimpa kita, baik yang menimpa badan kita berupa penyakit dan kecelakaan, ataukah musibah yang menimpa semua orang, seperti banjir, longsor, gempa dan lainnya.
Namun banyak diantara kita yang lupa dan tak mau mengaca di depan cermin musibah seraya bertanya, “Apa gerangan yang menyebabkan datangnya musibah?”
Semua musibah yang menimpa diri kita dan yang lainnya, tak akan terjadi kecuali diiringi oleh sebab-sebab yang menimbulkan musibah.
Jika kita mengetahui sebab-sebab itu, maka itulah cermin yang akan memberikan gambaran kepada kita tentang hikmah di balik semua musibah agar kita sedikit “muhasabah” (mengoreksi) diri dan tidak lagi mengulangi semua dosa dan kesalahan di hari mendatang.
Ada sebuah hadits yang agung dari sahabat Abdullah bin Umar –radhiyallahu anhu-.
Hadits ini akan menjadi cermin bagi kita dalam menghadapi musibah yang mendera.
Hadits ini akan menjadi kajian kita hari ini dalam beberapa catatan penting :
o Nash Hadits
Dari Abdullah bin Umar -radhiyallahu anhu-, ia berkata,
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- menghadap kepada kami seraya bersabda,
يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ لَمْ تَظْهَرْ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلَّا فَشَا فِيهِمْ الطَّاعُونُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمْ الَّذِينَ مَضَوْا وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلَّا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَئُونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنْ السَّمَاءِ وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا وَلَمْ يَنْقُضُوا عَهْدَ اللَّهِ وَعَهْدَ رَسُولِهِ إِلَّا سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَخَذُوا بَعْضَ مَا فِي أَيْدِيهِمْ وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
“Wahai orang-orang Muhajirin, ada lima perkara, bila kalian tertimpa olehnya –sedang aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak mendapatinya-:
[1] Kekejian (zina) tidaklah bertebaran pada suatu kaum sampai-sampai mereka melakukannya dengan terang-terangan, kecuali akan tersebar wabah tha’un (penyakit pes) dan berbagai macam wabah penyakit lainnya yang tidak pernah menyerang para pendahulu mereka yang telah berlalu ;
[2] tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan dihukum dengan kemarau yang panjang, kesusahan hidup, dan kezhaliman penguasa;
[3] Tidaklah mereka menahan zakat harta mereka, kecuali pasti mereka tidak diberi hujan dari langit. Andaikan tidak dikarenakan adanya hewan ternak, maka pasti mereka sama sekali tidak diberi hujan.
[4] Tidaklah mereka membatalkan perjanjian Allah dan Rasul-Nya, kecuali Allah jadikan musuh-musuh menguasai mereka, lalu musuh-musuh itu mengambil sebagian yang ada di tangan mereka.
[5] Tidaklah pemimpin-pemimpin mereka menegakkan hukum berdasarkan kitabullah (Al-Qur ‘an) atau tidak pula mereka mencari kebaikan dari sesuatu yang Allah turunkan, melainkan Allah akan menjadikan permusuhan berkobar di antara sesama mereka”.
o Takhrij dan Derajat Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam As-Sunan (no. 4019), dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (8/333-334).
Hadits ini sanadnya dho’if, karena diantara rawinya ada seorang yang bernama Ibnu Abi Malik (nama aslinya Kholid bin Yazid bin Abi Malik Ad-Dimasyqiy). Dia adalah rawi yang dho’if (lemah).
Walaupun hadits ini sanadnya lemah, akan tetapi hadits ini memiliki tawaabi’ yang menguatkannya dari hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (4/540) dan lainnya.
Karenanya, hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- dalam As-Silsilah Ash-shahihah (106) dan Shohih Al-Jami’ Ash-Shoghier (no. 7978).
o Syarah ‘Penjelasan’ Hadits ini
Hadits ini mengandung beberapa faedah dan hikmah bagi para pembaca yang budiman.
Demikianlah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, seorang utusan dari Allah -azza wa jalla- dengan membawa risalah yang universal dengan ucapan yang ringkas, tapi mengandung banyak faedah, hukum dan hikmah.
Faedah-faedah hadits di atas dapat kita petik dengan mengulas beberapa akibat maksiat berikut :
o Zina dan Pengantarnya
Zina adalah dosa pencoreng kehormatan yang akan merusak hubungan seseorang dengan orang lain, mengotori nasab dan keturunan, dan menimbulkan kerusakan-kerusakan lain di tengah masyarakat.
Dosa ini merupakan perbuatan keji dan seburuk-buruk jalan, dosa yang mencoreng dan menodai kehormatan, serta merusak nasab manusia.
Allah –ta’ala– berfirman,
{وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا } [الإسراء: 32]
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Israa’ : 32)
Allah –ta’ala– berfirman demikian dalam rangka melarang para hamba-Nya dari zina dan juga penyebab dan pendorongnya. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (5/72)]
Mengapa demikian? Karena, dengan melarang sebab dan pendorongnya, maka seseorang akan terhindar dari zina.
Sebaliknya, jika seseorang mendekati pendorong dan pengantar-pengantar zina, maka ia akan terjerumus kepadanya, baik dalam waktu dekat atau atau lama.
Pendorong-pendorong dan pengantar menuju zina banyak sekali ragamnya, misalnya : memandang lawan jenis, berduaan, bersentuhan, berciuman, berpelukan, mengucapkan ucapan-ucapan percintaan yang lembut lagi merayu, berpacaran, memakai pakaian seksi dan menampakkan aurat.
Masalahnya semakin parah di zaman ini, karena banyaknya fasilitas dan teknologi yang ikut menyemarakkannya, mulai dari televise, koran, majalah, tabloid, internet, radio, pakaian, reklame beserta berbagai acara yang mengajak dan menghasung manusia kepada zina.
Semua sarana dan fasilitas ini membantu dalam menyemarakkan zina sehingga disana-sini sehingga kita banyak mendengarkan ratusan berita-berita jorok dan menjijikkan.
Semua sarana itu mengajak kepada ucapan dan perbuatan yang mendorong kepada syahwat dan zina.
Dengan realita pahit seperti ini, akhirnya manusia menganggap zina dan pengantarnya sebagai “perkara ringan”.
Lantaran itu, bermunculanlah porno aksi dan pornografi yang diusung oleh oran-orang yang hatinya dipenuhi penyakit dan ditolerir oleh sebagian ulama suu’ (jelek).
Belum lagi, wanita-wanita muslimah menanggalkan jilbab yang menutupi auratnya.
Kalaupun berjilbab, yah hanya berjilbab asal-asalan tanpa diilmui sehingga jilbabnya pendek, transparan, ketat lagi seksi dan menarik perhatian.
Sederet permasalahan dan realita pahit yang ada di depan mata mendorong kepada zina, sadar atau tidak.
Wajarlah bila Allah menurunkan berbagai wabah dan penyakit baru yang tak pernah dikenal oleh nenek moyang kita, semisal AIDS, spilis, gronorhoe, kanker, dan lainnya.
o Curang Menimbang dan Menakar
Dosa yang satu ini juga melanda kaum muslimin dan lainnya, khususnya para pedagang yang tidak amanah.
Terkadang mereka mengurangi volume (isi) liter, mengubah timbangan dari kenormalannya, memalsukan barang, mencampur barang jualan yang akan mereka takar atau mereka timbang dengan sesuatu yang bernilai rendah.
Saking semaraknya sistem niaga dan perdagangan ala curang ini, sampai kita susah menjumpai seorang penjual, kecuali ia curang dan zhalim dalam menimbang dan menakar.
Jika ia menakar untuk dirinya, maka ia berusaha meminta dilebihkan isi takaran dan timbangannya.
Namun jika ia menakar atau menimbang untuk orang lain, maka ia mengurangi isi takaran atau timbangannya.
Mereka inilah yang dikecam dalam firman Allah –ta’ala-,
{وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (1) الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (2) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (3)} [المطففين: 1 – 3]
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”. (QS. Al-Muthoffifiin : 1-3)
Jika manusia melakukan kecurangan ini, maka manusia akan tertimpa paceklik, kesusahan hidup dan ekonomi serta dikuasai oleh penguasa yang zhalim kepada mereka.
Bahkan boleh jadi mereka akan dihukum seperti kaumnya Syu’aib –alaihis salam- sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya,
{فَأَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دَارِهِمْ جَاثِمِينَ } [الأعراف: 91]
“Kemudian mereka (kaum Syu’aib) ditimpa gempa. Lantaran itu, jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka”. (QS. Al-A’raaf : 91)
Dosa kemusyrikan dan kecurangan telah membinasakan mereka. Peristiwa ini mengingatkan kita tentang peristiwa gempa dan ledakan gunung api di negeri kita ini disebabkan oleh banyaknya dosa kemusyrikan dan kecurangan dalam menimbang atau menakar.
o Enggan Bayar Zakat Harta
Banyak diantara kita yang diberi kehidupan yang lapang, namun ia lupa daratan.
Dia lupa bahwa pada hartanya ada hak fakir-miskin dan lainnya yang harus ia bersihkan melalui zakat yang ia serahkan kepada pemerintah, lalu disalurkan oleh mereka kepada yang berhak (mustahiq).
Jika hak mereka kita tahan, maka Allah akan mengurangi curah hujan sehingga terjadilah kekeringan dan gagal panen.
o Membatalkan Perjanjian dengan Musuh
Islam telah mengajarkan sifat amanah, walaupun di hadapan musuh-musuh Allah.
Karenanya, tak boleh seorang muslim mengingkari dan membatalkan perjanjian dengan orang-orang kafir, tanpa haq.
Sahabat Buraidah bin Khushoib Al-Aslamiy -radhiyallahu anhu- berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّةِ نَفْسِهِ بِتَقْوَى اللَّهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا فَقَالَ اغْزُوا بِسْمِ اللَّهِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تُمَثِّلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا
“Dahulu Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bila mengutus seorang pemimpin pasukan, maka beliau mewasiatinya pada dirinya secara khusus tentang ketaqwaan kepada Allah, dan demikian pula orang-orang yang bersamanya (yakni, pasukannya) dari kalangan kaum muslimin, beliau mewasiati mereka dengan kebaikan seraya bersabda, “Berperanglah dengan meminta pertolongan kepada Allah. Di jalan Allah, perangilah orang kafir. Berperanglah, tapi jangan berkhianat dalam harta ghanimah, jangan mengkhianati (perjanjian dengan musuh), jangan mencincang dan jangan membunuh anak kecil”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 1731), Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 2613), At-Tirmidziy (1617) dan Ibnu Majah (2858). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (no. 3929)]
Diantara bentuk pengkhianatan perjanjian dengan orang kafir, menculik atau membunuh para para turis dan lainnya dari kalangan orang-orang kafir yang masuk ke negeri kita dengan jaminan keamanan dari pemerintah.
Siapa yang mengganggu mereka, maka sungguh ia telah melakukan pengkhianatan kepada pemerintah yang memberikan jaminan bagi kaum kafir tersebut.
o Meninggalkan Kitabullah
Meninggalkan Kitabullah merupakan dosa besar, bahkan dapat mengeluarkan dari Islam jika ia meninggalkannya karena benci kepadanya atau menganggap selainnya lebih baik dan afdhol.
Kebiasaan seperti ini banyak terjadi di negeri-negeri kaum muslimin; mereka tak berhukum dengan Al-Qur’an.
Sebagian mereka berhukum dengannya dalam sebagian perkara yang mencocoki akal dan perasaannnya. Inilah yang dikecam oleh Allah dalam firman-Nya saat menghikayatkan pengaduan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,
{وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا} [الفرقان: 30]
“Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan”. (QS. Al-Furqaan : 30)
Banyak diantara kaum muslimin yang meninggalkan Al-Qur’an, lalu beralih kepada hukum dan perundang-undangan buatan manusia, bahkan buatan orang kafir, seperti hukum Belanda, Perancis dan lainnya.
Padahal Al-Qur’an telah mencukupi mereka dalam segala perkara, sehingga tidak butuh kepada selainnya.
Adapun selain Al-Qur’an, maka ia hanyalah hukum atau undang-undang yang diracik dari pikiran dan hawa nafsu kaum kafir yang jauh dari petunjuk Islam, sehingga hukum-hukum racikan itu sering menzhalimi salah satu pihak, dan tidak adil serta senantiasa butuh kepada penyempurnaan, karena banyak kekurangannya, sebagaimana kondisi pembuatnya yang penuh kekurangan dan kelemahan.
Perundang-undangan buatan manusia hanyalah menimbulkan perselisihan diantara manusia dan ketidakpuasan, tanpa ada solusi yang jelas!!
Menerapkan hukum dan syariat Islam merupakan pintu datangnya berkah dan kebaikan.
Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
حَدٌّ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْأَرْضِ خَيْرٌ لِأَهْلِ الْأَرْضِ مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
“Hukuman hadd yang diterapkan di bumi adalah lebih baik bagi penduduk bumi dibandingkan mereka diberi hujan selama 40 hari”. [HR. Ibnu Majah dalam As-Sunan (). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 213)]
Al-Hafizh Ibnu Katsir –rahimahullah– berkata saat menjelaskan sebab kebaikan penerapan hukum hadd, Sebabnya, karena hukuman hadd (hukuman yang ditetapkan batasannya dalam nash, seperti hukum hadd zina adalah rajam bagi yang telah nikah, dan cambuk bagi yang belum nikah, pen) jika ditegakkan, maka manusia, mayoritas, atau kebanyakan mereka akan berhenti melakukan perkara-perkara yang haram. Jika maksiat tidak lagi dikerjakan, maka itu merupakan sebab datangnya berkah dari langit, dan bumi. Oleh karena ini, ketika Isa –’alaihis salam- turun di akhir zaman, maka ia akan berhukum dengan syari’at Islam yang suci ini pada saat itu, berupa pembunuhan babi-babi, pematahan salib-salib, dan pembatalan jizyah. Maka dia tidak akan menerima, kecuali Islam, dan pedang (perang). Bila Allah membinasakan Dajjal, pengikutnya, Ya’juj, dan Ma’juj di zamannya, maka diperintahkan kepada bumi, “Keluarkanlah berkahmu”, lalu sekelompok manusiapun memakan delima, dan berteduh dengan batangnya, serta susu seeekor onta mencukupi sekelompok manusia. Hal itu tak terjadi, kecuali karena berkah diterapkannya syari’at Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Semakin ditegakkan keadilan, maka berkah, dan kebaikan semakin banyak”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/572)]
Para pembaca yang budiman, faedah-faedah dari hadits di atas menjelaskan bahwa musibah yang timbul disebabkan oleh dosa dan maksiat manusia.
Musibah tidaklah muncul begitu saja secara spontan, tanpa ada sebab yang melatarinya.
Allah –ta’ala– berfirman,
{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ} [الشورى: 30]
“Dan musibah apapun yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri”. (QS. Asy-Syura: 30)
Musibah yang terjadi hendaknya menjadi ibrah dan pelajaran bagi kita dalam memperbaiki kesalahan dan kekurangan diri kita.
Segala maksiat kita tinggalkan karena takut kepada Allah yang menurunkan segala musibah dan cobaan.
Musibah jangan hanya menjadi cakar ayam dalam memori kehidupan kita, tanpa membawa manfaat dalam mengubah dan mengoreksi alur kehidupan kita yang selama ini diselimuti berbagai macam maksiat dan pelanggaran terhadap syari’at Allah.
Jadi, musibah adalah pelajaran yang akan menyadarkan kita tentang dosa-dosa dan keteledoran kita, sebagaimana dalam firman Allah,
{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ} [الروم: 41]
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS. Ar-Ruum : 41)