Sepuluh tahun telah berlalu bagiku dari kenangan masa lalu di Baitullah.
Kini kerinduan itu semakin menguat dalam kalbu di hari-hari menjelang hari pertama dari Bulan Dzulhijjah.
Kerinduan untuk menjadi tamu-tamu kemuliaan di sisi Allah –Tabaroka wa Ta’ala- semakin kuat.
Hati ini merasakan ghibthoh (kecemburuan) saat melihat saudara-saudaraku berangkat dari berbagai pelosok dunia menuju Baitullah untuk berhaji di tahun 1438 H.
Semoga Allah menganugerahkan kami kesempatan berkunjung ke rumah Allah yang mulia, Ka’bah ‘Baitullah’ Al-Musyarrofah.
Tidak terasa air mata menetes saat menyaksikan kafilah para perindu Baitullah telah berangkat menuju Baitullah yang berhias selangit pahala, dan kenikmatan surga yang menanti mereka. Itulah karunia Allah kepada mereka yang dikehendaki-Nya.
Dentingan cinta dan dorongan kerinduan untuk bertamu ke Baitullah, pasti dirasakan oleh setiap jiwa yang mengharapkan curahan kebaikan dan berkah dari Allah –Azza wa Jalla-.
Di zaman dahulu, apapun rintangannya, orang-orang beriman meninggalkan kampung halaman menuju Baitullah. Ada yang berkendaraan, dan banyak juga yang berjalan kaki.
Saat itu, manusia amat mudah menembus negeri-negeri melalui daratan dan lautan luas menuju Mekkah, tanpa melalui proses dan administrasi rumit di tapal batas.[1]
Mereka terkadang menempuh puluhan ribu kilometer demi meluapkan kerinduannya kepada Baitullah.
Tentunya di depan mereka berbagai rintangan berupa cuaca ekstrim, habisnya perbekalan, perompak dan begal, hewan buas, dan lainnya.
Tapi semua itu tidaklah membuat kerinduan mereka surut.
Inilah yang pernah dilakukan oleh seorang yang bernama Syaikh Utsman Dabu –rahimahullah– sebagaimana yang disebutkan dalam kisah mengharukan di bawah ini, kisah yang kami nukilkan situs resmi Saudara kami, Ustadz Dzulqarnain –hafizhahullah– :
Mana Pengorbananmu!?
[Kisah Motivatif, Ditulis dengan Tinta Air Mata]
Adalah Syaikh Utsman Dabu –semoga Allah merahmati beliau- berasal dari Republik Gambia, ujung Barat Afrika. Beliau tinggal di rumah sederhana pada suatu desa kecil dekat ibukota Banjul.
Syaikh Utsman menceritakan perjalanannya bersama empat kawannya lima puluh tahun yang lalu ketika menuju Baitullah dengan berjalan kaki dari Banjul menuju Makkah.
Mereka berlima meretas benua Afrika dari Barat hingga Timur tanpa berkendaraan, kecuali pada waktu-waktu singkat yang mereka mengendarai hewan hingga mereka tiba di Laut Merah guna menyeberang menuju Jeddah.
Suatu perjalanan penuh keajaiban yang berlangsung selama dua tahun. Kadang mereka singgah di sebagian kota untuk istirahat, bekerja, dan berbekal, kemudian melanjutkan perjalanan.
Beliau ditanya, “Bukankah haji ke Baitullah diwajibkan atas orang yang mampu, sedangkan Kalian dalam keadaan tidak memiliki kemampuan?”
Beliau menjawab, “Benar. Namun, pada suatu hari, Kami saling berbicara tentang kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm ketika beliau berangkat membawa keluarganya ke lembah yang tidak bertanaman di sisi Baitullah yang terhormat. Salah seorang di antara Kami berkata, ‘Kita sekarang adalah para pemuda yang kuat lagi sehat. Oleh karena itu, apakah udzur Kami di sisi Allah jika Kami kurang dalam menempuh perjalanan ke Baitullah. Apalagi Kami merasa bahwa hari-hari yang bergulir hanya menambah kelemahan. Maka, untuk apa diakhirkan?’ Kawan itu pun memicu dan memotivasi Kami untuk menempuh perjalanan dengan mengharapkan pertolongan dari Allah.”
Keluarlah mereka berlima meninggalkan rumah-rumah mereka dengan perbekalan yang tidak mencukupi lebih dari satu pekan. Di perjalanan mereka, ada berbagai kesulitan, kesempitan, dan kesesakan yang hanya diketahui oleh Allah.
Betapa banyak malam yang mereka lalui dengan lapar yang hampir membinasakan mereka. Tak terbilang malam yang mereka harus meninggalkan kenikmatan tidur lantaran kejaran binatang buas. Sering berulang malam yang berliput ketakutan akan para penyamun yang menghadang di berbagai lembah.
رُبَّ لَيْلٍ بَكَيْتُ مِنْهُ فَمَا
صِرْتُ فِي غَيْرِهِ بَكَيْتُ عَلَيْهِ
“Betapa banyak malam yang telah kutangisi.
Tatkala Kupindah ke malam (lain), kembali aku menangisinya.”
Syaikh Utsman berkata,
“Suatu malam, Saya tersengat oleh (binatang berbisa) di tengah perjalanan. Maka, Saya pun ditimpa oleh panas hebat dan rasa pedih dahsyat yang membuatku terduduk dan tidak bisa tidur. Saya telah mecium bau kematian berjalan di urat-uratku,
وَإِنِّي لَأَرْعَى النَّجْمَ حَتَّى كَأَنَّنِيْ
عَلَى كُلِّ نَجْمٍ فِي السَّمَاءِ رَقِيبُ
Sungguh Saya terus mencermati bintang-bintang itu, hingga seakan …
Saya adalah pengawas setiap bintang di langit
Kawan-kawanku pergi bekerja, sementara saya hanya berteduh di bawah pohon hingga mereka kembali di penghujung siang. Syaithan terus memberi was-was ke dalam hatiku, “Bukankah seharusnya Engkau tetap tinggal di negerimu? Mengapa Engkau membebani dirimu dengan hal yang Engkau tak mampu saja?”
Jiwaku menjadi berat dan hampir Saya melemah hingga kawan-kawanku datang. Salah seorang di antara mereka melihat ke wajahku dan bertanya akan keadaanku.
Saya pun menoleh kepadanya dan mengusap setetes air mata yang telah mengalahkanku. Seakan, dia merasakan penderitaanku. Dia berkata, “Bangunlah. Berwudhulah, kemudian shalatlah. Engkau takkan mendapatkan, kecuali kebaikan –dengan izin Allah-.
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kalian. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” [Al-Baqarah: 45]
Dadaku pun menjadi lapang, dan Allah menghilangkan kesedihan dariku, alhamdulillah.
Kerinduan mereka pada dua tanah Haram terus berdendang mengiringi mereka pada segala keadaan. Pedih perjalanan serta bahaya dan prahara laluan telah menjadi ringan.
Tiga orang di antara mereka telah meninggal. Yang terakhir wafat berada di hamparan lautan. Hal menakjubkan dari orang ketiga yang wafat adalah, dia berpesan kepada kedua kawannya,
“Jika kalian berdua mencapai Masjidil Haram, beritahukanlah kepada Allah akan kerinduanku berjumpa dengan-Nya. Mintalah kalian berdua kepada-Nya agar mengumpulkan Saya dan Ibuku bersama Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.”
Syaikh Utsman bertutur,
“Tatkala kawan Kami meninggal, Saya tertimpa gundah gulana hebat dan kesedihan dahsyat. Itulah hal terberat yang Saya jumpai pada perjalananku. (Kawanku) itu adalah orang yang paling sabar dan kuat di antara Kami. Saya telah khawatir meninggal sebelum mendapat nikmat mencapai Masjidil Haram. Saya telah menganggap hari-hari dan saat-saat itu lebih panas daripada bara api.
إِذَا بَرَقْتَ نَحْوَ الْحِجَازِ سِحَابَةٌ
دَعَا الشَّوْقُ مِنِّي بَرْقَهَا الْمُتَطَامِنُ
“Jika awan bergelegar di arah Hijaz
Kerinduan yang damai memanggil petirnya.”
Begitu Kami tiba di Jeddah, Saya sakit luar biasa. Saya pun khawatir meninggal sebelum sempat mencapai Makkah. Saya berwasiat kepada kawanku, ‘Jika Saya meninggal, kafanilah Saya dalam ihramku dan dekatkanlah Saya sesuai kemampuan ke kota Makkah. Barangkali Allah melipatgandakan pahala untukku dan menerimaku sebagai orang-orang shalih.’
Kami pun tinggal di Jeddah beberapa hari, kemudian melanjutkan perjalanan kami ke Makkah. Nafasku berhembus cepat dan kegembiraan memenuhi wajah. Rasa rindu terus menggoyang dan mendorongku hingga kami tiba di Masjidil Haram.”
Syaikh Utsman terdiam sesaat. Beliau menyeka linangan-linangan air matanya yang berderai, kemudian bersumpah dengan nama Allah bahwa dia belum pernah melihat kelezatan dalam hidupnya sebagaimana kelezatan yang memenuhi seluruh lapisan hatinya tatkala beliau melihat Ka’bah yang mulia.
Beliau berkisah,
“Tatkala melihat Ka’bah, Saya bersujud syukur kepada Allah. Saya terus menangis, seperti anak-anak kecil yang menangis, karena dahsyatnya keagungan dan kharisma (Ka’bah). Betapa mulianya Baitullah itu dan sungguh penuh keagungan.
Kemudian, Saya mengingat kawan-kawanku yang belum dimudahkan untuk sampai ke Masjidil Haram. Saya pun memuji Allah Ta’âlâ atas nikmat dan keutamaan-Nya kepadaku. Selanjutnya, Saya memohon kepada Allah Subhânahuuntuk mencatat (kebaikan) langkah-langkah mereka dan tidak mengharamkan pahala untuk mereka serta mengumpulkan Kita semua pada kedudukan jujur di sisi Allah Yang Berkuasa Lagi Maha Mampu.”
[Disadur dengan sedikit meringkas dari Ar-Rafîq Fî Rihlatil Hajj hal. 107-109]
Demikian kisah pengorbanan dari seorang yang memiliki cinta yang suci dan kerinduan kepada Baitullah. Adakah pengorbanan yang telah kita lakukan dalam membuktikan cinta kita kepada Baitullah, ataukah kita bermalas-malasan dan tidak lagi butuh kepada segala kebaikan dan curahan berkah dari Allah -Tabaroka wa Ta’ala- di hari-hari haji yang indah?!
Sebagai penutup dan renungan, kami nukilkan ketukan-ketukan jiwa dari seorang ulama kepada mereka yang lamban dan malas berhaji.
Al-Imam Jamaluddin bin Muhibbiddin Ath-Thobariy (wafat 694 H) –rahimahullah– berkata,
” ولعل بعض الكسلانين ممن قد حج يتوهم أن هذا الخطاب مقصور على من لم يأت بالفرض ( يعني قوله تعالى : ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا ) ، ولا أهمه الوصول له ، ويقول : لم يكلفني الله تعالى بذلك غير مرة ، وقد أسقطت الفرض .
فنقول له : هب أن الله تعالى لم يكلفك حج بيته غير مرة في العمر تخفيفا عليك ، وجعل ما عداها مندوبا باختيارك وراجعا إليك .
أما يشوقك ما فهمته من معنى كون البيت بيت الله ، وأنه وضع على مثال حضرة الملوك لأداء خدمته ؟!
أما تنبعث همتك للوفود على ساحة الله والورود على حياض نعمته ؟!
أما لك ذنوب تحتاج إلى العفو عنها بقصد جنابه الكريم ؟!
أما لك حاجة تهتم بسؤالها منه عند بابه العظيم ؟!
أما لك غرض أن تخالط زمر المترددين إلى فنائه ؟!
أما بك فاقة إلى نيل ما أعده من نعمائه ؟!
أما علمت أن الزهد فيما عند الله تعالى وصف مذموم ؟!
أما بلغك قول النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ يقول الله عز وجل : إن من أصححت بدنه ووسعت في رزقه ثم لم يزرني في كل خمسة أعوام عاما لمحروم “
(التشويق إلى بيت العتيق، ص 58_59)
“Barangkali sebagian orang malas dari kalangan orang yang sudah berhaji, menyangka bahwa perintah ini (yakni, perintah berhaji yang terdapat Al-Qur’an, pen.) hanya terbatas pada orang yang belum menunaikan kewajiban haji, yakni firman firman-Nya -Ta’ala-,
((وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا [آل عمران : 97]))
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”
Orang malas ini tidak punya kepedulian untuk sampai ke Baitullah, seraya berdalih, ‘Aku tidaklah dibebani oleh Allah -Ta’ala- untuk hal itu (yakni, berhaji) melainkan sekali saja. Sementara aku sungguh telah menggugurkan kewajiban haji itu!!”
Kita katakan kepadanya, “Anggaplah Allah -Ta’ala- tidak membebani anda untuk berhaji ke Baitullah melainkan sekali saja dalam seumur hidup sebagaimana bentuk keringan bagi anda, dan Allah jadikan haji yang lainnya adalah mandub (dianjurkan dan hukumnya sunnah) menurut pilihanmu dan kembali kepadamu.
Tidakkah membuatmu rindu, apa yang kamu telah pahami bahwa Rumah itu (Ka’bah) adalah Rumah Allah dan bahwa rumah itu dibuat sebagai perumpamaan di sisi raja untuk menunaikan khidmat kepadanya?!
Tidakkah semangatmu bangkit untuk bertamu ke negeri Allah dan berkunjung ke telaga nikmat-Nya?!
Bukankah kamu memiliki dosa-dosa yang kamu butuh ampunan darinya dengan menghadap kepada Allah Yang Maha Pemurah?!
Bukankah kamu memiliki hajat yang kamu amat serius untuk memintanya dari Allah pada pintu-Nya yang agung?!
Tidakkah kamu memiliki tujuan untuk bergabung bersama orang-orang yang berbolak-balik ke halaman-Nya?!
Tidakkah kamu memiliki kebutuhan yang besar untuk meraih apa yang dijanjikan oleh Allah berupa nikmat-nikmat-Nya (di dalam surga)
Tidakkah kamu tahu bahwa zuhud (cuek) terhadap sesuatu yang ada di sisi Allah adalah sifat yang tercela?!
Belumkah sampai kepadamu sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, “Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
إِنَّ مَنْ أَصْحَحْتُ بَدَنَهُ وَوَسَّعْتُ فِيْ رِزْقِهِ، ثُمَّ لَمْ يَزُرْنِيْ فِيْ كُلِّ خَمْسَةِ أَعْوَامٍ عَامًا لَمَحْرُوْمٌ “
‘Sesungguhnya barangsiapa yang aku sehatkan badannya, dan aku luaskan rezkinya, lalu ia tidak mengunjungi-Ku pada setiap lima tahun satu tahun (yakni, satu kali, pen.), (maka orang itu) benar-benar diharamkan (yakni, terhalang dari banyak kebaikan dan pahala, pen.).”[2]
[Lihat kitab At-Tasywiq ila Baitil Atiq (hal. 58-59) karya Al-Imam Jamaluddin bin Muhibbiddin Ath-Thobariy, cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1419 H, Beirut, Lebanon]
Al-Imam Ali bin Sulthon Al-Qori –rahimahullah– berkata,
يُنْدَبُ لِلْقَادِرِ أَنْ لَا يَتْرُكَ الْحَجَّ فِي كُلِّ خَمْسِ سِنِينَ
“Dianjurkan bagi orang yang mampu agar tidak meninggalkan haji pada setiap lima tahun.” [Lihat Mirqoh Al-Mafatih (5/1748)]
Terakhir, aku memohon kepada Allah dengan segala kebesaran dan kemurahan-Nya, “Ya Allah, anugerahilah kami kemampuan untuk mengunjungi rumah-Mu, dan memasukinya agar dapat meraih pahala dan surga-Mu, aamiin…”
[1] Adapun sekarang, harus melalui
[2] Riwayat yang kami temukan, lafazhnya begini :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ:
(قَالَ اللَّهُ: إِنَّ عَبْدًا صحَّحتُ لَهُ جِسْمَهُ ووسَّعت عَلَيْهِ فِي الْمَعِيشَةِ يَمْضِي عَلَيْهِ خمسة أعوام لا يَفِدُ إليَّ لَمَحْرُومٌ)
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy bahwa Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,
“Allah berfirman,
‘Sesungguhnya seorang hamba yang Aku sehatkan badannya, dan Aku lapangkan kehidupannya, sementara telah berlalu baginya lima tahun, sedang ia tidak datang kepada-Ku, maka (hamba) itu benar-benar diharamkan (yakni, terhalang dari banyak kebaikan dan pahala, pen.).” [HR. Abu Ya’la dalam Al-Musnad (1031), Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (3703), Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubro (5/262), dan Ad-Dailamiy dalam Al-Firdaus (8102), Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu’afa’ (737). Hadits ini dinilai shohih li ghoirih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1662)]