Dunia adalah sesuatu yang manis lagi hijau melalaikan manusia dari hakikat dan tujuan kehidupannya di dunia.
Banyak manusia yang banting tulang dan menguras keringat demi mencapai lezatnya kehidupan dunia yang fana ini.
Siang dan malam, ia harus mengernyitkan dahi demi meraihnya.
Sebagian orang terkadang sudah lupa waktu dan terbawa segala macam aktifitas beserta problemanya, sehingga ia sangat susah tidur dan tidak merasakan enaknya istirahat.
Tak ada di kepalanya, selain jumlah dinar dan rupiah yang menerawang dalam ufuk pemikirannya.
Disana-sini banyak usaha dan bisnis yang ia jalankan sampai terkadang membuatnya lupa anak dan istri.
Seonggok permasalahan dunia yang ia geluti sering membuat dirinya tak khusyu’ dalam mengerjakan sholat atau mungkin akan terlambat sholat, bahkan melalaikan sholat dengan dalih bahwa sholat hanyalah rutinitas yang menghabiskan waktu.
Menurutnya, waktu masih panjang dan kesempatan masih luas untuk meminta ampunan atas kelalaiannya dalam mengerjakan sholat atau atas ampunan semua dosa dan kesalahan.
Ketahuilah bahwa semua ini adalah bentuk istidroj (pembiaran dan pemanjaan) dari Allah -Azza wa Jalla- agar ia binasa di atas dosa dan pelanggarannya.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنْ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاج
“Bila engkau melihat Allah memberikan kepada seorang hamba sesuatu yang ia cintai berupa dunia atas kemaksiatan-kemaksiatannya, maka semua itu hanyalah istidroj (pembiaran dan pemanjaan)”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/145) dan Ath-Thobariy dalam Jami’ Al-Bayan (7/115). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami’ (no. 561)]
Para hamba dinar yang amat rakus dengan dunia akan terus terlena dengan keindahan dan semerbak dunia yang menipu dirinya, sehingga ia pun melakukan segala macam cara dalam meraih dunia, tanpa peduli tentang halal dan haramnya sesuatu yang mereka peroleh.
Jika ia dibukakan sebagian pintu dunia yang melimpah ruah di hadapannya, maka ia tidak menggunakannya dalam ketaatan kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala-, bahkan ia habiskan dalam maksiat dan dosa.
Dia menyangka bahwa ia akan hidup seribu tahun lamanya. Ia tak sadar bahwa ajal telah menunggu di depan matanya. Ajal sisa menunggu perintah Tuhan-nya yang Maha Perkasa lagi Bijaksana.
Orang-orang yang diperbudak oleh dunia akan jauh dari kebaikan dan para pengikutnya.
Karenanya, saat diingatkan dengan kebaikan, maka ia pun menolaknya dengan sinis dan menganggap orang yang menasihatinya dalam kebaikan sebagai orang yang kolot dan hanya mencari-cari kesalahan.
Ketika ia diingatkan agar ia menjauhi maksiat dan menggunakan hartanya di jalan kebaikan, maka ia pun menampakkan keangkuhannya di hadapan para penasihat kebaikan dan terus-menerus hartanya dihambur-hamburkan dalam lembah maksiat dan dosa.
Lantaran itu, tak ada hari-harinya, selain maksiat dan dosa yang mewarnainya, mulai dari menenggak khomer, bermain perempuan, berjudi, memakan uang riba, menzhalimi orang lain, menyogok atau disogok dan sederet pelanggaran lainnya.
Ketika diingatkan tentang semua itu, maka ia pun tidak mengindahkannya, dan semakin larut dalam dosa dan maksiat.
Orang seperti inilah yang Allah singgung dalam firman-Nya.
{فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ } [الأنعام: 44]
“Maka tatkala mereka melupakan (meninggalkan) peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, maka Kami siksa mereka dengan tiba-tiba. Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa (dari segala kebaikan)”. (QS. Al-An’aam : 44)
Orang yang memiliki visi dan misi duaniawi seperti ini, tidak segan melakukan segala macam pelanggaran dan penyelisihan syariat Allah, demi meraup keuntungan duniawi yang akan menjadi beban dan saksi sial bagi dirinya di hadapan Allah Sang Maha Pencipta.
Bila seseorang amat cinta kepada dunia, maka ia akan diperbudak oleh dunia sehingga ia bagaikan tawanan yang dibawa dan diseret oleh dunia, kemanapun dunia inginkan, sekalipun ke jurang terjal yang membinasakan berupa neraka Jahannam yang menyala-nyala.
Apa saja yang diinginkan oleh dunia berupa kedurhakaan dan kelalaian, maka si budak dunia ini akan melakukan apa saja yang dituntut oleh majikannya yang bernama “dunia”.
Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيصَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وَإِذَا شِيكَ فَلَا انْتَقَشَ
“Semoga binasa hamba dinar, dirham dan pakaian. Bila diberi, maka ia senang. Bila tak diberi, maka ia murka. Semoga ia binasa dan terpelanting. Bila ia (budak dunia) tertusuk duri, maka tak akan tercabut”. [HR. Al-Bukhoriy ]
Seorang yang diperbudak oleh dunia, bila ia meminta sesuatu yang ia cintai, lalu Allah berikan, maka ia pun ridho dan puas.
Sebaliknya, bila Allah tidak memberikannya, maka ia murka dan berkeluh kesah.
Orang ini telah diperbudak oleh dunia, sebab ia menjadikan dunia sebagai barometer cinta dan bencinya kepada sesuatu.
Padahal seorang hamba dikatakan “abdullah” (hamba Allah) saat ia menjadikan Allah sebagai penentu dalam kecintaan dan bencinya kepada sesuatu.
Syaikhul Islam Abul Abbas Al-Harroniy –rahimahullah– berkata, “Hal apa saja yang membuat manusia ridho bila ia tercapai, dan membuatnya marah bila hilang, maka manusia itu adalah budak perkara tersebut. Sebab hamba itu senang bila dua perkara (dinar dan dirham) berhubungan dengannya (yakni, ia raih) dan murka bila keduanya hilang”. [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (2/419)- Syamilah]
“Seorang yang memperbudak dirinya kepada Allah akan senang dengan sesuatu yang membuat Allah ridho, dan akan murka dengan sesuatu yang membuat Allah murka. Dia akan mencintai sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya cintai dan membenci sesuatu yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Dia akan loyal kepada wali-wali Allah (yakni, orang beriman dan bertaqwa) dan memusuhi para musuh Allah -Ta’ala-. Inilah orang yang menyempurnakan imannya”. [Lihat Al-Fatawa Al-Kubro (7/293) oleh Ibnu Taqiyyuddi Ibn Abdil Halim Ad-Dimasyqiy, – Syamilah]
Seorang yang cinta dunia sampai ia diperbudak oleh dunia akan memikirkan semua cara dalam meraup sebanyak-banyaknya, karena kerakusan dan keserakahannya terhadap dunia dan harta. Tak ada yang berputar dalam pikirannya, selain dunia sampai kadang ia sakit hati dan stress bila tidak meraih sesuatu yang ia inginkan.
Para pembaca yang budiman, seorang yang haus dunia tak akan pernah puas dengan dunia, sebab dunia ibarat setetes air di padang sahara.
Lantaran itu, kita akan melihat para pengejar dunia dan budaknya tak pernah puas dengan sesuatu yang ia raih.
Dia terus berusaha mencarinya, walaupun ia harus mengorbankan kewajiban dan keutamaan akhirat, tanpa peduli halal-haramnya!!
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادٍ مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنَّ لَهُ وَادِيًا آخَرَ وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلَّا التُّرَابُ وَاللَّهُ يَتُوبُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Andai seorang anak cucu Adam memiliki sebuah lembah emas, maka ia akan menyukai bila ia memiliki lembah emas yang lainnya. Tak akan ada yang memenuhi mulutnya, selain tanah. Sedang Allah mengampuni orang yang mau bertobat”. [HR. Muslim dalam Kitab Az-Zakah (no. 117)]
Al-Imam Abu Zakariyya An-Nawawiy –rahimahullah– berkata,
“Di dalam hadits ini terdapat celaan terhadap sifat rakus terhadap dunia, senang menumpuk harta dunia dan cinta dunia”. [Lihat Syarh Shohih Muslims (7/140)]
Saking rakusnya para pencinta dunia ini, andai ia diberi dunia dan seisinya, maka semua itu tak membuatnya kenyang. Dia akan kenyang saat mulutnya tersumbat oleh tanah kuburnya.
Jadi, seorang memperbudak dirinya dengan dunia akan terus tergantung kepada dunia.
Dia akan bekerja keras dan berpikir tujuh keliling dalam mengambil langkah-langkah agar ia mencapainya.
Karenanya, sering kita mendengar bahwa ada orang yang susah tidur akibat dunianya. Bahkan ada yang bunuh diri akibat kegagalan dalam mencapai target dunianya.
Inilah perkara-perkara yang diisyaratkan oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam hadits-hadits di atas bahwa bila ada keburukan yang menimpa si hamba dinar dan rupiah, maka ia akan semakin susah dan tak mampu keluar dari problema yang ia hadapi, baik problema dagangnya, pekerjaaan, relasi, keluarga, pribadi dan lainnya.
Semua menumpuk dalam pikirannya sebagai siksaan bagi dirinya di dunia sebelum ia menghadap Allah -Azza wa Jalla-.
Mengapa ia terus berada dalam kesusahan dan problema? Karena, ia dibiarkan oleh Allah, tanpa pertolongan, petunjuk dan rahmat (kasih sayang)-Nya.
Mereka jauh dari ketaatan dan jalan-jalan kebaikan yang Allah perintahkan kepada para hamba-Nya agar berinfaq dan berkorban di dalamnya.
Malah para hamba dinar dan pemburu rupiah ini lebih senang meninggalkan perkara-perkara yang dicintai oleh Allah, lalu beralih kepada perkara-perkara dosa dan maksiat yang mendatangkan murka Allah.
Di saat mereka melupakan Allah, maka Allah pun melupakan (meninggalkan) mereka sebagai balasan atas sikap mereka.
Ketahuilah bahwa dunia ini hanyalah tempat persinggahan sementara dalam mengais dan mengumpulkan bekal menuju akhirat “alam pertanggungjawaban” dan tempat peristirahatan terakhir.
Karenanya, harta yang kita kumpulkan bukanlah bekal dalam bermaksiat, tapi jadikan bekal akhirat yang berguna disana.
Gunakanlah semuanya dalam perkara yang mendatangkan kecintaan Allah -Azza wa Jalla- dengan cara berinfaq di jalan Allah, baik itu berupa pembangunan masjid, membantu fakir-miskin, tetangga, pembangunan pesantren, meringankan kaum muslimin yang amat butuh, membantu kegiatan sosial yang mengangkat agama Allah, membuat sumur umum, menyekolahkan anak-anak Islam, mengadakan majelis-majelis ilmu dan lainnya.
Dunia tidaklah tercela bila digunakan dalam ketaatan. Yang tercela saat dunia digunakan dalam perkara-perkara yang tak mendatangkan ridho Allah, seperti menggunakannya bermaksiat, dan menghambur-hamburkannya atau berbangga dengannya atas para hamba Allah.
Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Amir Ash-Shon’aniy –rahimahullah– berkata,
“Ketahuilah bahwa yang tercela dari dunia adalah segala perkara yang menjauhkan seorang hamba dari Allah -Ta’ala- dan menyibukkannya dari kewajiban taat dan ibadah kepada Allah, bukan (yang tercela dari dunia) perkara yang menolong hamba di atas amal-amal sholih. Karena seperti ini tak tercela dan terkadang diharuskan pencariannya dan wajib untuk diraih”. [Lihat Subul As-Salam (8/190), karya Al-Amir Ash-Shon’aniy, cet. Dar Ibn Al-Jauziy, dengan tahqiq Subhi Hasan Hallaq, 1421 H]
———————-