Jannatul-firdaus.net

Menyebar Ilmu Syar’i

Jannatul-firdaus.net

Menyebar Ilmu Syar’i

Bagikan...

Ketika Hidayah Datang Menyapa Seorang Pemuda Awam

  • Oleh: Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah

[Berdasarkan Kisah Nyata]

 

 

Hidayah laksana emas yang turun dari langit; sebuah anugerah yang tiada tandingannya, sekalipun dinilai dg dunia.

Di sebuah sudut kota, terpilihlah seorang pemuda untuk menyambut hidayah itu, tanpa sedetik pun pernah terbetik dalam benaknya bahwa ia akan mengecap manisnya hidayah dalam mengenal Sunnah dan jalannya yang lurus nan indah.

 

Pemuda itu disapa dengan Abu Maryam

 

Awal kehidupannya –seperti umumnya- kaum muslimin yang awam, hanya mengenal Islam  turun-temurun dari leluhurnya, tanpa ada perhatian untuk mengenal Islam lebih dalam.

Abu Maryam adalah seorang pemuda yang giat dalam mencari nafkah dan dikenal akan keuletannya. Ia mahir dalam berbagai keterampilan dan keahlian dalam beberapa perkara yang menjadikannya orang yang tangguh dan mandiri dalam hidupnya. Pekerjaan tidak pernah jauh darinya.

 

Sebagai seorang pemuda, tentu saja orang tua masih terus memikirkannya, memikirkan masa depan anaknya kelak di masa tua. Orang tua pun tentunya terus berupaya mencari jalan untuk mencari jodoh untuk pemuda yang disapa Abu Maryam ini.

Orang tua pada umumnya –sekalipun awam akan agama-, senang dan simpati kepada wanita yang agamawan, wanita yang menjaga kesucian dan kehormatan dirinya. Serusak apapun, pasti ia akan mencari wanita sholihah yang akan siap menjadi pendamping dan teman hidup yang abadi bagi buah hatinya.

Usut punya usut, setelah bermusyawarah dan bertukar pikiran, pilihan jodoh untuk si Abu Maryam, jatuh pada seorang wanita yang berhijab, lengkap dengan cadarnya. Jrengggg!!

 

Orang tua pun menyampaikan kepada si pemuda awam ini bahwa jodohnya adalah seorang wanita sholihah yang bercadar agar menjadi teman hidup kekasihnya sepanjang hayat masih dikandung badan.

Tentunya sebagai seorang yang awam, ia rada kaget, karena ia selama ini berada di alam lain yang kental dengan kebiasaan para pemuda awam yang jauh dari bimbingan Al-Qur’an dan Sunnah.

Sementara calon istri di alam lain yang kental dengan kehidupan beragama dan penuh akhlak.

 

Banyak pertanyaan dan kebingungan yang menggelayut dalam pikirannya, usai menyimak penjelasan dari orang tua.

“Akankah aku bisa hidup dengannya”

“Siapakah wanita itu”

“Aku belum pernah melihat wajahnya yang bercadar”.

“Mampukah aku sejalan dengan seorang wanita yang agamis, sementara aku adalah pemuda yang dangkal akan agama?”

“Mampukah ia hidup bersamaku sebagai suami yang awam?”

“Dari manakah aku harus memulai pembicaraan dengannya?”

“Apakah yang ia sukai dan apa yang ia benci.”

 

Di lain sisi, si wanita calon pendamping hidupnya (Ummu Maryam), juga kaget dengan keputusan orang tua yang mereka ambil dengan menjodohkannya dengan seorang pemuda awam. Ia pun memikirkan dalam-dalam akan perkara itu, karena ia berada diantara dua pilihan yang sulit baginya untuk menimbang secara tepat; antara menerima calon pasangannya yang notabene berlatar belakang awam, dan antara ia menolak dan menyakiti hati orang tuanya.

Dengan penuh tawakkal dan berbaik sangka kepada Allah, yakin bahwa keteguhan hatinya dan agama yang selama ini ia dalami akan mampu mengayuh rumah tangga bersama dengan pemuda awam itu di atas bahtera rumah tangga di atas bimbingan Al-Qur’an & Sunnah. Sekalipun ia sendiri tidak menyarankan seorang wanita yang agamis bercadar untuk berani melalui aral dan tantangan yang super berat ini. Sebab, telah banyak korban dari wanita bercadar yang menikah dengan pria awam, dan pada akhirnya ia jauh dari agama dan terwarnai oleh pola kehidupan awam dari suaminya.

 

Berselang beberapa waktu kemudian, berlangsunglah acara walimahan ‘pernikahan’ antara Abu Maryam dengan seorang wanita yang dijodohkan untuknya. Itulah Ummu Maryam.

Hari itu adalah hari bahagia baginya dan sekaligus hari yang membuatnya rikuh dan salah tingkah. Entah apa yang ia harus lakukan. Tapi ia jalani saja sesuai dengan rencana keluarga.

Seusai pernikahan, ia harus meninggalkan kampung halaman menuju sebuah pulai di barat Nusantara ini demi mengais rezki penyambung hidup bersama sang istri yang tercinta.

 

Hari itu, ia berangkat bersama istri dan melangkahkah kaki menuju kehidupan yang baru di negeri orang. Ia pun berpamitan dengan orang tua dan keluarga.

Di balik keberangkatan itu, ada sebuah hal yang aneh baginya, sejak ia menikah sampai hari keberangkatan itu, sang istri yang menghijab dirinya dengan cadar, belum pernah bercengkerama dengannya. Sang istri hanya mengikuti langkahnya kemana ia pergi.

Hari itu, ia berangkat dengan sebuah kapal besar milik PELNI dalam menembus keganasan lautan untuk sampai ke negeri perantauan di ujung barat dari Nusantara ini.

Sikap dingin sang istri, ia gunakan untuk mengatur dan mengangkat barang-barang dengan gesitnya ke atas perahu raksasa itu. Sesekali, ia hanya memerintahkan istrinya untuk bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Selebihnya, suasana hanya diselimuti oleh sikap diam dan dingin dari sang istri.

Abu Maryam –sekalipun- awam- adalah seorang yang penyayang dan pengertian. Sikap dingin itu, ia tidak hadapi dengan amarah dan buruk sangka. Pikirannya, mungkin sang istri amat pemalu sehingga ia terdiam seribu bahasa, dan ia pun bingung memulai dari mana!

 

Di atas kapal, ia hanya duduk termangu bagaikan batu yang tidak dapat berbicara. Ia hanya memandangi orang-orang berlalu lalang di hadapannya dan sibuk dengan urusan dan hajat mereka.

Sesekali ia menoleh kepada sang istri yang bercadar, dan memandangi hijab yang membalut dirinya. Ia salut dengan istrinya yang begitu sabar selama ini untuk memakai cadar dan hijab, di tengah gemerlapnya dunia dan jauhnya wanita-wanita muslimah pada umumnya dari agama dan pakaian syar’i seperti yang digunakan oleh istrinya.

 

Selama di atas kapal, kebisuan itu hanya terpecahkan oleh ombak lautan yang kejar-mengejar dan gelak ria dari sebagian penumpang yang ada di sekitarnya.

Kesunyian benar-benar terasa di tengah hiruk pikuk penumpang yang lewat di hadapan mereka berdua. Kala itu, dunia belum mengenal aplikasi medsos secara meluas (seperti facebook, WhatsApp, LINE, atau yang lainnya) sebagai bahan pemecah kesunyian. Ah, tapi ia jalani saja dan barangkali ini adalah ujian berat berbuah manis di esok hari.

Kala itu, datanglah waktu makan –sebagaimana yang terjadwal-. Abu Maryam pun beranjak dari tempat duduknya untuk mencari pengisi perut yang sudah rada keroncongan. Ia pun menunggu antrian sebagaimana halnya penumpang kapal yang lainnya.

 

Tidak lama kemudian –setelah dapat antrian makanan-, ia pun datang membawa dua porsi makanan untuknya dan untuk istri yang tercinta, dengan penuh harap sang istri sudi bersantap makanan dan bercengkerama bersamanya.

 

Sambil menyodorkan makanan itu kepada kekasih hatinya, ia pun menyapanya, “Makanlah, mungkin anda sudah amat lapar.”

Jrenngggg…ternyata sang istri tidak bergerak sedikitpun, sambil terisak sedih. Ia tidak menyentuh makanan itu.

 

Abu Maryam sebagai seorang pemuda yang penyayang amat iba dengan istrinya. Tapi ia bingung harus berbuat apa dan berkata apa? Ia bingung, sebab sang istri hanya terdiam.

Ia pun mengerti perasaan seorang wanita, mugkin ia bersedih karena berpisah dengan keluarga yang selama ini hidup bersamanya, dan kini harus melangkah nun jauh di seberang.

Ia letakkan makanan itu di sisi istrinya, barangkali ia memakannya jika rasa sedihnya telah pudar.

 

Selesai santap siang, ia rebahkan badannya untuk beristirahat dan tidak lupa ia menitipkan pesan, sembari berkata, “Dik, makanannya abang letak disini ya, entar kamu makan.”

Makanan yang terdiam bisu itu, sesekali hanya disentuh oleh sang istri dalam beberapa suap saja. Yang tersisa lebih banyak daripada yang tersentuh.

Bangkit dari istirahatnya, Abu Maryam pun memberi sapaan-sapaan ringan kepada sang istri yang terus termenung dan memandangi laut lepas yang mengelilingi mereka.

 

Untuk memecahkan keheningan, Abu Maryam sesekali beranjak dari peraduannya menuju dek kapal yang teratas untuk menikmati keindahan lautan, dan hangatnya terpaan angin yang bertiup semilir. Ia bercengkerama bersama penumpang lain yang juga ikut berada di tempat itu.

Tidak lama ia melepas keheningan, ia kembali mendekat kepada sang istri, barangkali saja ia mau bercakap dengannya. Namun sang istri terus dalam bisunya.

Demikianlah hari-hari mereka lalui di atas bahtera besar itu, sampai berlabuh di sebuah pantai dari pulau yang mereka tuju.

Dari atas kapal sampai turun ke daratan, ia terus mengawal istrinya dengan penuh perhatian. Ia pun dengan gesit kembali memindahkan dan menurunkan barang-barang dan perbekalannya.

 

Abu Maryam ternyata di perantauan adalah seorang pekerja di sebuah perusahaan, dimana setiap pekerja yang berkeluarga diberi hunian yang layak.

Sesampainya ditujuan, dengan mengendarai angkutan umum, semua barang-barang bawaan dimasukkannya ke dalam rumah. Beliau mempersilakan sang istri untuk masuk ke dalam rumah tujuan itu.

Hari dan waktu mereka lalui, namun sang istri masih membisu seperti semula. Sang istri hanya makan seadanya. Hal itu membuat Abu Maryam khawatir istrinya akan jatuh sakit dan kurus.

 

Sampai di suatu hari, istrinya menyampaikan sebuah pernyataan, “Aku tidak ingin hidup bersama denganmu sampai abang mau belajar agama!”

“Dimanakah aku harus belajar?” sambutnya.

“Abang belajarlah agama dengan baik.”

“Terus dimanakah aku belajar?”

“Abang carilah seorang ustadz bernama fulan bin fulan yang ada di rantau ini. Aku dengar ada majelis Ahlus Sunnah di tempat ini. Abang harus cari sampai dapat dan belajarlah kepada beliau. Semoga abang mengerti agama sebagaimana halnya aku.”

Dengan hati yang berbunga-bunga, Abu Maryam pun sejak saat itu dengan penuh semangat bertanya dan mencari alamat yang diisyaratkan oleh sang istri.

 

Akhirnya, ia menemukan alamat itu sesuai informasi yang ia dapatkan. Hatinya amat bahagia. Ia baru menyadari bahwa untuk bersama dengan wanita sholihah, ia harus ikut jadi suami yang sholih dan mengerti agama.

Sejak itu, ia rajin mendatangi majelis-majelis yang diadakan oleh ustadz Ahlus Sunnah di tempat itu, sampai ia mengerti aqidah, akhlak dan tata cara ibadah yang benar.

 

Demikianlah hidayah itu menyapa seorang pemuda awam yang –insya Allah- dirahmati oleh Allah –azza wa jalla-.

 

Kini, mereka dikaruniai anak-anak yang sholih dan paham agama. Semoga Allah menjadikan mereka pasangan yang diberkahi oleh Allah dan setia di atas Sunnah sampai ajal menjemput. Amiin…

Semoga kisah ini membuahkan pelajaran penting bagi kita bahwa :

  1. Hidayah ada di tangan Allah –azza wa jalla-.
  2. Pentingnya ada nasihat diantara suami-istri.
  3. Pentingnya membangun rumah tangga di atas satu aqidah dan pemahaman agar bahtera rumah tangga tidak oleng.
  4. Indahnya hidup saling memahami dan saling pengertian, dimana hal ini akan membuahkan husnuzh zhonn (baik sangka).
  5. Ilmu agama adalah pembangun kehidupan rumah tangga di atas sakinah dan mawaddah.
  6. Besarnya pengaruh ilmu agama dalam membentuk karakter pribadi sholih dan sholihah.
    7. Teman yang baik dan istri yang sholihah akan memberikan pengaruh positif dalam kehidupan seseorang dan menjadi sebab untuk meraih hidayah dan terus istiqomah di atas kebaikan.
 

====================================

Diceritakan kembali dan dituangkan dalam bentuk tulisan oleh Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc., dimana sebelumnya pelaku kisah bertutur kepada beliau.

Setelah tulisan ini rampung, kembali disodorkan kepada pelaku kisah agar tidak terjadi kesalahan dalam pengisahan perjalanan hidup mereka yang indah serta penuh hikmah dan pelajaran-pelajaran yang berharga.

Rabu, 26 Romadhon 1438 H

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *