Jannatul-firdaus.net

Menyebar Ilmu Syar’i

Jannatul-firdaus.net

Menyebar Ilmu Syar’i

Bagikan...

Memperbanyak Dzikir dan Takbir di Hari Raya Idul Adh-ha dan Tiga Hari Tasyriq (Diiringi dengan Penjelasan tentang Hukum Takbir setelah Sholat)

  • Oleh: Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah

Dzikir dan Takbir amat dianjurkan pada hari-hari utama dari 10 hari pertama Bulan Dzulhijjah, terlebih lagi pada Hari Raya Idul Adh-ha dan tiga hari setelahnya yang kita kenal dengan “Hari-hari Tasyriq”, sebab kita diperintahkan memperbanyak takbir padanya.

Dzikir yang dianjurkan pada 10 hari pertama Bulan Dzulhijjah ada dua macamnya:

 

Pertama : Dzikir Muthlaq

Dzikir muthlaq adalah dzikir yang tidak terikat dengan dzikir tertentu dan waktu tertentu. Dzikir ini mencakup semua jenis dzikir, seperti bertasbih, ber-tahlil, bertakbir, bertahmid, dan lainnya.

Jenis dzikir inilah yang diperintahkan oleh Allah -Tabaroka wa Ta’ala- dan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- di dalam Kitabullah dan Sunnah yang shohihah.

Allah –Azza wa Jalla– berfirman,

 

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ  [الحج/28]

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah (berdzikir) pada hari yang telah diketahui atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.”

Hari-hari yang diketahui –dalam ayat ini- adalah 10 hari pertama Bulan Dzulhijjah sebagaimana yang dijelaskan oleh sahabat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Bashriy, Atho’ bin Abi Robah, Ikrimah, Mujahid bin Jabr, Qotadah bin Di’amah As-Sadusiy, Al-Imam Asy-Syafi’iy –rahimahumullah ajma’in-. [Lihat Zadul Masir (5/425) oleh Ibnul Jauziy, cet. Al-Maktab Al-Islamiy, 1405 H]

 

 

Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dalam sebuah sabdanya,

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ، وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ، فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ ، وَالتَّكْبِيرِ، وَالتَّحْمِيدِ

“Tidak ada hari- hari yang lebih agung di sisi Allah dan tidak pula lebih dicintai oleh Allah untuk beramal di dalamnya dibandingkan 10 hari ini (yakni, 10 hari pertama Dzulhijjah). Karenanya, perbanyaklah di dalamnya bertahlil, bertakbir, dan bertahmid.” [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/75), Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (3750), Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhob (no. 807), dan lainnya. Hadits ini dinilai shohih oleh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij Al-Musnad (no. 5446)]

 

Pada 10 hari pertama inilah kita dianjurkan memperbanyak dzikir kepada Allah dengan berbagai macam jenisnya, baik itu bertasbih, bertahmid, bertakbir, bertahlil, atau yang lainnya.

Dzikir muthlaq ini dianjurkan dilakukan kapan saja, baik di 10 hari pertama Bulan Dzulhijjah ataukah pada waktu-waktu lainnya.

 

Pertama : Dzikir Muqoyyad

Dzikir Muqoyyad adalah dzikir yang terikat dengan jenis, bilangan, atau tempat.

Dzikir Muqoyyad (terbatas) dalam pembahasan ini adalah dzikir berupa ucapan takbir yang terbatas waktunya dari Hari Arofah (9 Dzulhijjah) sampai hari terakhir dari hari-hari Tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah– berkata,

 

الحمدُ للهِ، أصحُّ الأقوال في التًكْبيرِ، الذي عليه جمهورُ السّلَف والفُقَهاء من الصحابة والأئمة: أن يُكَبِّر من فجر يوم عرفة، إلى آخر أيام التشريق، عَقِبَ كل صلاة، وُيشْرَعُ لكل أحد أن يجهر بالتكبير عند الخروج إلى العيد، وهذا باتفاقِ الأئمةِ الأربعةِ (مجموع الفتاوي” (24/ 220))

“Segala puji bagi Allah. Pendapat yang paling benar dalam hal takbir (pada Hari Raya Idul Adh-ha, pen.), pendapat yang dipijaki oleh mayoritas salaf dan para fuqoha’ (ahli fiqih) dari kalangan para sahabat dan para imam adalah seseorang bertakbir sejak subuh Hari Arofah sampai hari terakhir dari hari-hari Tasyriq pada setiap kali sholat, dan disyariatkan bagi setiap orang untuk mengeraskan takbirnya saat ke luar menuju sholat id (baik pada Idul Fithri atau pun Idul Adh-ha, pen.). Ini berdasarkan kesepakatan para imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’iy, dan Ahmad bin Hambal).” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (24/220)]

 

Kalimat bergaris dari ucapan Syaikhul Islam -rahimahullah- jangan dipahami takbir pada hari-hari tersebut hanya terbatas seusai melaksanakan sholat, bahkan mencakup semua waktu, baik seusai sholat, di rumah, di kantor, di atas kendaraan, di atas pesawat, di atas pohon, atau dimana saja, sebagaimana akan datang atsar dalam hal itu, insya Allah.

Para pembaca yang budiman, apa yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam -rahimahullah- bahwa dzikir takbir dimulai dari Arofah sampai selesai hari-hari Tasyriq merupakan pernyataan yang benar dan sesuai dengan atsar dari para sahabat.

Abu Abdir Rahman As-Sulamiy –rahimahullah– berkata,

 

كان يكبر بعد صلاة الفجر يوم عرفة إلى صلاة العصر من آخر أيام التشريق ويكبر بعد العصر

“Dahulu beliau (Ali bin Abi Tholib -radhiyallahu anhu-) bertakbir setelah Sholat Fajar pada Hari Arofah sampai Sholat Ashar pada hari terakhir dari hari-hari Tasyriq, dan beliau bertakbir setelah Ashar.” [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (no. 5631). Hadits ini dinyatakan sanadnya jayyid oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa’ (3/125)]

Takbir pada hari-hari Tasyriq bukan hanya dilakukan oleh orang yang tidak berhaji, bahkan jamaah haji pun dianjurkan bertakbir pada hari-hari itu.

 

Al-Imam Abu Yahya Zakariyya bin Muhammad Al-Anshoriy Al-Mihsriy -rahimahullah- berkata,

والصحيح عند الشافعية: أن الحاج يكبر من ظهر يوم النحر، وغيره، ومن صبح عرفة إلى عقب عصر أيام التشريق، وعليه العمل كما قاله النووي، قال في “الروضة”: وهو الأظهر عند المحققين

“Pendapat yang benar di sisi Madzhab Syafi’iyyah bahwa orang yang berhaji melakukan takbir pada waktu Zhuhur di Hari Qurban dan selainnya, sejak subuh hari Arofah sampai setelah Ashar dari hari-hari Tsayriq. Inilah yang diamalkan, sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawiy. Beliau berkata dalam kitab Ar-Roudhoh, ‘Itulah pendapat yang terkuat.” [Lihat Minhah Al-Bari (3/44) oleh Zakariyya Al-Anshoriy]

 

Bertakbir pada Hari Raya Idul Adh-ha dan di hari-hari Tasyriq merupakan perkara yang diperintahkan, sebagaimana halnya bertakbir di Hari Idul Fithri sampai imam datang ke lapangan pada hari itu untuk memimpin sholat Idul Fitri.

Allah –Azza wa Jalla– berfirman,

وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (203) [سورة البقرة (2) : آية 203]

“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, Maka tiada dosa baginya. dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), Maka tidak ada dosa pula baginya[129], bagi orang yang bertakwa. dan bertakwalah kepada Allah, dan Ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” (QS. Al-Baqoroh : 203)

 

Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thobariy –rahimahullah– berkata saat membawakan menafsirkan ayat ini dan membawakan sejumlah atsar yang menguatkan pernyataan beliau,

أمر عباده يومئذ بالتكبير أدبارَ الصلوات، وعند الرمي مع كل حصاة من حَصى الجمار يرمي بها جَمرةً من الجمار…وإنما قلنا: إنّ”الأيام المعدودات”، هي أيام منى وأيام رمي الجمار لتظاهر الأخبار عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه كان يقول فيها: إنها أيام ذكر الله عز وجل.

“Dia (Allah -Azza wa Jalla-) memerintahkan para hamba-Nya pada hari itu untuk bertakbir di belakang sholat-sholat, dan saat melempar bersama setiap lemparan orang yang melempar jumroh (yakni, jamaah haji), yang ia gunakan melempar jumroh dari jumroh-jumroh yang ada…

Hanyalah kami katakan bahwa “hari-hari yang berbilang”  bahwa ia adalah hari-hari Mina dan hari-hari melempar jumroh (yakni, hari-hari Tasyriq) karena tersebarnya hadits-hadits dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda tentang hari-hari itu adalah hari-hari berdzikir kepada Allah -Azza wa Jalla-.” [Lihat Jami’ Al-Bayan (4/208 & 211)]

 

Hari Idul Adh-ha dan tiga hari Tasyriq merupakan hari-hari bergembira di dalamnya kaum muslimin menikmatan hewan qurban dan minuman yang halal, serta  memperbanyak mengingat Allah (berdzikir) di dalamnya.

Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,

« أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلَّهِ ».

“Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah.” [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 1141) dan Ahmad dalam Al-Musnad (5/75) dari Nubaisyah –radhiyallahu anhu-]

 

Dalam rangka mengingatkan manusia agar jangan lalai di hari-hari Tasyriq, sahabat yang mulia Umar –radhiyallahu anhu– mengeraskan suaranya dalam bertakbir saat beliau berhaji di Mina. Saking kerasnya suara beliau, sampai orang-orang yang ada di masjid Mina mendengarkan suara takbir beliau, bahkan orang-orang yang ada di pasar musiman di Mina juga mendengarkan suara beliau. Akhirnya, mereka semua bertakbir sebagaimana Umar –radhiyallahu anhu– bertakbir.

 

Ubaid bin Umair Al-Laitsiy Al-Junda’iy –rahimahullah– berkata,

وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنًى فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ الْمَسْجِدِ فَيُكَبِّرُونَ وَيُكَبِّرُ أَهْلُ الْأَسْوَاقِ حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا

“Dahulu Umar -radhiyallahu anhu- bertakbir di kemahnya di Mina. Orang-orang di masjid mendengar beliau, lalu mereka pun bertakbir dan bertakbir pula orang-orang di pasar sampai Mina bergetar (bergemuruh) dengan suara takbir.” [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (1/441) secara mu’allaq, Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/321)]

 

Sirojuddin Abu Hafsh Ibnul Mulaqqin Al-Mishriy –rahimahullah– berkata,

وهذا منه على وجه التذكير للناس على ذكره لما روي أنه – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: “أيام مني أيام أكل وشرب وذكر الله” وخاف الغفلة على الناس عن ذكر الله تعالى، وقد قَالَ ابن حبيب: ينبغي لأهل منى أن يكبروا أوَّل النهار، وإذا ارتفع، ثم إذا زالت الشمس، ثم بالعشي. وكذا فعل عمر رضي الله عنه

“Ini adalah (perbuatan) dari beliau (Umar) dalam rangka mengingatkan manusia dalam berdzikir kepada Allah berdasarkan hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

“Hari-hari Mina adalah hari-hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah.”

Beliau mengkhawatirkan kelalaian pada manusia dari berdzikir kepada Allah -Ta’ala-.

 

Sungguh Ibnu Habib pernah berkata, ‘Sepantasnya bagi orang-orang yang ada di Mina (yakni, para jamaah haji) untuk bertakbir di awal siang, saat matahari meninggi, lalu saat matahari tergelincir, lalu di sore hari hari. Demikianlah yang dilakukan oleh Umar -radhiyallahu anhu-‘.” [Lihat At-Taudhih li Syarh Al-Jami’ Ash-Shohih (8/117)]

Al-Imam Al-Bukhoriy –rahimahullah– meriwayatkan secara mu’allaq dengan shighoh jazm dalam Shohih-nya (1/441) dari Ibnu Umar dan Maimunah (Ummaul Mukminin) –radhiyallahu anhuma- :

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُكَبِّرُ بِمِنًى تِلْكَ الْأَيَّامَ وَخَلْفَ الصَّلَوَاتِ وَعَلَى فِرَاشِهِ وَفِي فُسْطَاطِهِ وَمَجْلِسِهِ وَمَمْشَاهُ تِلْكَ الْأَيَّامَ جَمِيعًا

وَكَانَتْ مَيْمُونَةُ تُكَبِّرُ يَوْمَ النَّحْرِ وَكُنَّ (وَكَانَ) النِّسَاءُ يُكَبِّرْنَ خَلْفَ أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ لَيَالِيَ التَّشْرِيقِ مَعَ الرِّجَالِ فِي الْمَسْجِدِ

“Dahulu Ibnu Umar bertakbir di Mina pada hari-hari itu (yakni, hari-hari Tasyriq), di belakang sholat-sholat, di atas tempat tidur beliau, di dalam kemahnya, di tempat duduknya dan pada saat berjalannya beliau pada hari-hari itu seluruhnya.

Dahulu Maimunah bertakbir pada hari Qurban dan para wanita bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdil Aziz pada hari-hari Tasyriq bersama kaum laki-laki di masjid.”

 

Takbir yang dilakukan oleh para salaf tersebut dilakukan oleh setiap orang tanpa berjamaah dan dilakukan pada semua keadaan, termasuk seusai sholat.

Al-Imam Ahmad bin Muhammad Al-Qosthilaniy –rahimahullah– berkata saat mengomentari atsar-atsar ini,

فهذه الآثار قد اشتملت على وجود التّكبير في تلك الأيام عقب الصلوات وغيرها من الأحوال،

“Sungguh atsar-atsar ini  mengandung adanya takbir pada hari-hari itu di akhir sholat-sholat, dan kondisi-kondisi lainnya.” [Lihat Irsyad As-Sariy (2/218)]

Para pembaca yang budiman, jenis-jenis dzikir yang kami jelaskan di atas, pernah disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hambaliy Al-Baghdadiy –rahimahullah– saat beliau berkata,

 

وذكر الله في هذه الأيام نوعان :

أحدهما : مقيد عقيب الصلوات_والثاني : مطلق في سائر الأوقات . فأما النوع الأول :

فاتفق العلماء على أنه يشرع التكبير عقيب الصلوات في هذه الأيام في الجملة ، وليس فيهِ حديث مرفوع صحيح ، بل إنما فيهِ آثار عن الصحابة ومن بعدهم ، وعمل المسلمين عليهِ .

“Dzikir kepada Allah di hari-hari ini (yakni, 10 hari pertama Dzulhijjah dan 3 Hari Tasyriq, pen.) ada dua jenisnya :

Pertama : Dzikir Muqoyyad setelah sholat-sholat. Kedua : Dzikir Muthlaq dalam semua waktu. Adapun jenis pertama, maka para ulama sepakat  bahwa disyariatkan takbir setelah sholat di hari-hari ini secara global. Di dalamnya tidak terdapat hadits marfu’ yang shohih. Bahkan di dalamnya ada atsar-atsar dari para sahabat dan orang-orang (ulama) setelahnya serta amaliah kaum muslimin di atasnya.” [Lihat Fath Al-Bari (6/123-124) karya Ibnu Rajab, dengan tahqiq Abu Mu’adz Thoriq bin Awadhillah, cet. Dar Ibnil Jauzi, 1422 H] 

 

Para pembaca yang budiman, apa yang kami paparkan dalam tulisan ini, bukanlah pendapat kami semata, bahkan ia merupakan keterangan yang disampaikan oleh para ulama.

Agar hati kita tenang dalam mengamalkannya, maka ada baiknya kami iringi dengan sejumlah fatwa dari para ulama ternama di zaman ini. Berikut fatwa-fatwa mereka :

 

Fatwa Resmi Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’

Seorang penanya pernah mengajukan sebuah pertanyaan kepada kumpulan ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah :

أسمع بعض الناس في أيام التشريق يكبرون بعد كل صلاة حتى عصر اليوم الثالث، هل هم على صواب أم لا؟

“Saya mendengar masyarakat pada hari tasyriq bertakbir setiap selesai shalat hingga shalat ashar pada hari ketiga, apakah mereka benar atau tidak?”

Al-Lajnah Ad-Da’imah yang saat itu diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah– dengan beranggotakan Syaikh Abdur Rozzaq Afifi dan Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, memberikan jawaban bersama kepada si penanya tersebut :

ج: يشرع في عيد الأضحى التكبير المطلق، والمقيد، فالتكبير المطلق في جميع الأوقات من أول دخول شهر ذي الحجة إلى آخر أيام التشريق. وأما التكبير المقيد فيكون في أدبار الصلوات المفروضة من صلاة الصبح يوم عرفة إلى صلاة العصر من آخر أيام التشريق، وقد دل على مشروعية ذلك الإجماع، وفعل الصحابة رضي الله عنهم.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

“Disyariatkan bertakbir secara muthlak dan muqayyad pada Idul Adha. Takbir muthlaq dilaksanakan setiap saat dari mulai masuknya bulan Dzulhijjah hingga berakhirnya hari Tasyriq.

Adapun takbir muqayyad itu dilaksanakan setiap selesai shalat fardhu, dimulai pada shalat shubuh hari Arafah hingga shalat Ashar pada hari terakhir tasyriq. Pensyariatan ini didasari oleh Ijma’ (kesepakatan) dan perbuatan sahabat -radhiyallahu anhum-.” [Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Iftaa’ (8/312 no. 10777)]

 

Seorang penanya juga mengirim pertanyaan berikut kepada Al-Lajnah Ad-Da’imah :

هل يشرع لنا التكبير بعد صلاة الفريضة مباشرة وقبل الأذكار التي تقال بعد الصلاة أثناء أيام عشر ذو الحجة ، أم هذا خاص بأيام التشريق بما فيها يوم عيد الأضحى ، أفيدونا بارك الله فيكم؟

“Apakah disyariatkan bagi kami bertakbir langsung setelah sholat fardhu dan sebelum dzikir-dzikir yang diucapkan setelah sholat, pada 10 pertama Dzulhijjah, ataukah ini hanya khusus pada hari-hari tasyriq beserta hari Idul Adh-ha? Berilah faedah kepada kami. Semoga Allah memberi berkah kepada kalian.”

Al-Lajnah Ad-Da’imah pada saat itu diketuai Syaikh Abdul Aziz Alusy Syaikh dengan beranggotakan Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Sholih Al-Fauzan, dan Bakr Abu Zaid –rahimahumullah–  memberikan jawaban resmi :

ج 2 : التكبير المقيد بأدبار الصلوات الفرائض خاص بأيام التشريق ، ويؤتى به بعد السلام مباشرة قبل الشروع في الأذكار .

وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .

“Takbir Muqoyyad pada akhir sholat-sholat fardhu adalah khusus pada hari-hari Tasyriq, dan dilakukan setelah salam secara langsung sebelum memulai dzikir-dzikir itu.” [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah (31/421-422/ no. 21550 )]

 

Jadi, di Hari Raya Idul Adh-ha dan hari-hari Tasyriq kaum muslimin dianjurkan untuk memperbanyak takbir dalam semua waktu, baik setelah sholat, ataukah selainnya; baik di masjid, di rumah, di kantor, di jalan-jalan, dan dimanapun seseorang berada, maka hendaknya memperbanyak takbir.

Kemudian sebagai penutup, maka perlu ingatkan bahwa takbir yang kita lakukan hendaknya jangan dilakukan secara BERJAMAAH dan kor. Tapi hendaknya takbir kita kumandangkan masing-masing, tanpa harus dikomando oleh imam sholat atau yang lainnya.

Di dalam perkara ini ada beberapa fatwa yang perlu kami turunkan dalam kesempatan ini agar kita tahu bahwa BERTAKBIR SECARA BERJAMAAH adalah perkara yang tidak dianjurkan, sebagaimana halnya berdzikir secara berjamaah juga tidak disyariatkan!!

 

Fatwa Resmi Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’

Al-Lajnah Ad-Da’imah pernah ditanya :

س2: ثبت لدينا أن التكبير في أيام التشريق سنة، فهل يصح أن يكبر الإمام ثم يكبر خلفه المصلون؟ أم يكبر كل مصل وحده بصوت منخفض أو مرتفع؟

“Telah tsabit (nyata) di sisi kami bahwa takbir pada hari-hari Tasyriq adalah sunnah. Nah, apakah benar kalau imam bertakbir, kemudian bertakbir pula orang-orang yang ikut sholat? ataukah setiap orang yang ikut sholat bertakbir sendiri-sendiri dengan suara lirih ataukah tinggi?”

Al-Lajnah Ad-Da’imah yang kala itu diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz dengan beranggotakan Syaikh Abdur Rozzaq Afifi, Abdullah bin Ghudayyan, dan Abdullah bin Qu’ud –rahimahumullah ajma’in– memberikan jawaban resmi :

ج2: يكبر كل وحده جهرا، فإنه لم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم التكبير الجماعي، وقد قال: « من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد » (1)

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

“Setiap orang bertakbir dengan suara keras secara sendiri-sendiri. Sebab, tidak tsabit (tidak sah) dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- perkara TAKBIR BERJAMAAH.

 

Beliau bersabda, “Siapa saja yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada pada contoh dalam urusan agama kami, maka ia (amalannya) itu adalah tertolak.

Wabillahit taufiq wa shollallahu ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam.” [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Iftaa’ (8/310)]

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baaz –rahimahullah

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz -rahimahullah- pernah ditanya oleh seseorang tentang bertakbir setelah sholat 5 waktu pada hari-hari Tasyriq. Apakah hal itu wajib ataukah sunnah. Apakah hal itu dilakukan oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- atau para sahabatnya –radhiyallahu anhum– ?

 

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz menjawab :

كلٌ يكبر على حسب حاله ما في تكبير جماعي، هذا يكبر، وهذا يكبر، ولا يشرع التكبير الجماعي، الجماعي غير مشروع، ولكن كلٌ يكبر على حسب حاله، وإذا صادف صوته صوت أخيه ما يضره ذلك، أما الترديد، والتكبير من أوله إلى آخره يشرعون جميعاً، وينتهون جميعاً، فهذا لا أصل له.

“Setiap orang bertakbir sesuai keadaannya, bukan dalam bentuk takbir berjamaah. Si ini bertakbir, si ini bertakbir. TAKBIR BERJAMAAH tidak disyariatkan. Secara berjamaah tidak disyariatkan. Tapi setiap orang bertakbir sesuai dengan keadaannya. Jika kebetulan saja bertepatan dengan suara saudaranya, tidak membahayakan. Adapun mengulang-ulangnya (secara berjamaah dan kor), bertakbir dari awal hingga akhir mereka mulai secara berjamaah (bersama) dan berhenti secara berjamaah (bersama) pula, maka hal ini tidak dasarnya.” [Lihat pada link : http://www.binbaz.org.sa/noor/7626 ]

 

Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin –rahimahullah

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin –rahimahullah– pernah ditanya tentang hukum TAKBIR BERJAMAAH (bersama) setelah melaksanakan shalat melalui pengeras suara dan menara-menara masjid?

وكذلك المشروع ألا يكبر الناس جميعاً , بل كل يُكبِّر وحده، هذا هو المشروع كما في حديث أنس أنهم كانوا مع النبي صلى الله عليه وسلم فمنهم المهلُّ ,ومنهم المكبر ولم يكونوا على حال واحد

Begitu pula disyariatkan supaya orang-orang tidak bertakbir bersama, akan tetapi setiap orang bertakbir sendiri-sendiri. Inilah yang disyariatkan sebagaimana di hadits Anas bin Malik –radhiyallahu anhu– bahwa mereka bersama Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- saat haji , diatara mereka ada yang mengeraskan bacaan talbiah, sebagian lagi bertakbir, mereka tidak dalam satu bentuk. [Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad Ibni Sholih Al-Utsaimin (16/260-261)]

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *