Seekor semut tergopoh-gopoh menghampiri kawan-kawannya, seakan-akan ada suatu informasi yang mereka harus ketahui bersama. Satu demi satu datang menghampiri makanan yang terjatuh di tanah.
Dari sini akan muncul sebuah pemandangan yang menakjubkan dengan adanya segerombolan semut sedang sibuk membawa butiran-butiran makanan; antara satu dengan yang lainnya saling bahu-membahu membawa sisa makanan tersebut.
Walaupun mereka harus menempuh perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, tapi mereka semua bersabar sampai ke tujuan.
Subhanallah, ini adalah perumpamaan yang amat indah dalam ta’awun (kerja sama).
Semut saja mampu melakukannya, nah bagaimana lagi dengan kita yang dianugrahi akal yang sehat. Kenapa tidak?!
Tapi demikianlah banyak diantara kita yang bermasa bodoh dan tidak peduli dengan saudara-saudaranya dari kalangan kaum muslimin.
Sering kali kita menemukan orang-orang yang tak saling mengenal dengan tetangganya, padahal sama-sama muslim.
Sebagian kaum muslimin tidak memiliki rasa kepedulian dengan tetangganya, sampai kadang mereka kelaparan dan kesusahan, tapi tak ada tegur sapa diantara mereka.
Beginikah Islam yang diajarkan oleh Allah dan Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam-??! Jawabnya, tidak!! sama sekali tak demikian!!!
Jangankan muslim, tetangga kafir saja, wajib kita ber-mu’amalah dengannya secara baik.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
{وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا } [النساء: 36]
“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupu, dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”. (QS. An-Nisaa’ : 36)
Allah –Ta’ala– memerintahkan kita menjalin hubungan yang baik dengan sesama tetangga, baik ia muslim atau ia kafir.
Abu Yazid Nauf bin Fadholah Al-Bikaliy Al-Himyariy –rahimahullah- berkata,
“{وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى} يَعْنِي الْمُسْلِمَ {وَالْجَارِ الْجُنُبِ} يَعْنِي الْيَهُودِيَّ وَالنَّصْرَانِيَّ.” اهـ من تفسير ابن كثير ت سلامة (2/ 298)
“Tetangga yang dekat, maksudnya yang muslim. Tetangga yang jauh, maksudnya Yahudi dan Nasrani”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/298)]
Perhatikanlah bagaimana Islam memuliakan tetangga, apalagi ia adalah muslim.
Jika ia muslim, maka ia memiliki dua hak: hak sebagai seorang muslim dan hak sebagai tetangga.
Terlebih lagi, bila ia kerabat kita, maka ia memiliki tambahan hak, yaitu hak kekerabatan. [Lihat Haqq Al-Jaar (hlm. 6) karya Al-Imam Adz-Dzahabiy]
Ukhuwah (persaudaraan) tak mungkin akan tercipta, bila setiap orang egois dan tak peduli dengan saudaranya.
Persaudaraan yang terbangun di atas Islam adalah sebuah kenikmatan yang amat besar bagi kaum muslimin.
Karenanya, Allah ingatkan dalam sebuah ayat agar kita menghargai dan memaknainya dengan baik,
{وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ} [آل عمران: 103]
“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu, ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kalian mendapat petunjuk”. (QS. Ali Imraan : 103)
Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diy –rahimahullah– berkata,
“أمرهم تعالى بما يعينهم على التقوى وهو الاجتماع والاعتصام بدين الله، وكون دعوى المؤمنين واحدة مؤتلفين غير مختلفين، فإن في اجتماع المسلمين على دينهم، وائتلاف قلوبهم يصلح دينهم وتصلح دنياهم وبالاجتماع يتمكنون من كل أمر من الأمور، ويحصل لهم من المصالح التي تتوقف على الائتلاف ما لا يمكن عدها، من التعاون على البر والتقوى، كما أن بالافتراق والتعادي يختل نظامهم وتنقطع روابطهم ويصير كل واحد يعمل ويسعى في شهوة نفسه، ولو أدى إلى الضرر العام.” اهـ من تيسير الكريم الرحمن (ص: 142)
“Allah -Ta’ala- memerintahkan mereka untuk melakukan sesuatu yang membantu mereka di atas ketaqwaan, yaitu masalah persatuan dan berpegang teguh dengan agama Allah serta seruan kaum muslimin adalah satu dalam keadaan mereka bersatu, bukan berpecah-belah. Karena, di dalam persatuan kaum muslimin di atas agama mereka dan akrabnya hati mereka, akan memperbaiki agama dan dunia mereka. Dengan bersatu, mereka mampu melakukan segala perkara dan akan tercapai bagi mereka berbagai macam kemaslahatan yang tergantung pada persatuan mereka. Kemaslahatan itu tak terhitung jumlahnya berupa ta’awun di atas kebajikan dan ketaqwaan, sebagaimana halnya dengan perpecahan dan permusuhan, maka akan menyebabkan rusaknya barisan mereka dan hubungan mereka akan terputus serta setiap orang bekerja dan beramal hanya untuk kepentingan dirinya, walaupun hal itu akan mengantarkan kepada bahaya yang merata”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 141)]
Persatuan di atas Al-Qur’an dan Sunnah merupakan perkara yang amat dijaga oleh Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dan para sahabatnya.
Demi menjaga persatuan itu, Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– mengajarkan para sahabatnya agar ringan dalam memberikan sesuatu kepada saudaranya.
Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,
تَهَادُوْا تَحَابُّوْا
“Saling berilah hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Al-Adab Al-Mufrod (no. 594). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami’ (no. 3004)]
Kebiasaan memberi juga diwasiatkan oleh Sahabat yang mulia, Anas bin Malik Al-Anshoriy –radhiyallahu anhu– kepada anak-anaknya,
يَا بُنَيَّ ، تَبَاذَلُوْا بَيْنَكُمْ ، فَإِنَّهُ أَوَدُّ لِمَا بَيْنَكُمْ
“Wahai anakku, saling memberilah kalian. Karena hal itu akan lebih mendatangkan kecintaan diantara kalian”.[HR. Al-Bukhoriy dalam Al-Adab Al-Mufrod (no. 595). Hadits ini dikuatkan oleh Al-Albaniy]
Perhatikanlah keseriusan Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dan para sahabatnya dalam merajut ukhuwah imaniyyah yang belum pernah ada contoh dan tandingan mereka dalam hal persaudaraan.
Lihat saja saat Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– mewasiati sahabat yang mulia, Abu Dzar Al-Ghifariy,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ
“Wahai Abu Dzarr, bila engkau memasak kari, maka perbanyaklah airnya dan perhatikan para tetanggamu”. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Birr wa Ash-Shilah]
Hadits ini merupakan anjuran untuk memperhatikan para tetangga. Tetangga sering kali lebih kita butuhkan dibandingkan keluarga kita sendiri di kala kita butuh kepada bantuan mereka dalam waktu yang cepat.
Al-Imam Ash-Shon’aniy –rahimahullah– berkata saat mengomentari hadits ini dan lainnya,
“فِيهِمَا الْحَثُّ عَلَى فِعْلِ الْمَعْرُوفِ وَلَوْ بِطَلَاقَةِ الْوَجْهِ وَالْبِشْرِ وَالِابْتِسَامِ فِي وَجْهِ مَنْ يُلَاقِيهِ مِنْ إخْوَانِهِ. وَفِيهِ الْوَصِيَّةُ بِحَقِّ الْجَارِ وَتَعَاهُدُهُ وَلَوْ بِمَرَقَةٍ تُهْدِيهَا إلَيْهِ.”
اهـ من سبل السلام (2/ 637)
“Di dalam kedua hadits itu terdapat anjuran (bagi seorang muslim) untuk melakukan sesuatu yang ma’ruf, walapun dengan wajah berseri dan senyuman wajah di depan orang yang dijumpainya dari kalangan saudara-saudaranya.
Di dalam hadits itu juga terdapat wasiat tentang hak tetangga dan perlunya memperhatikan mereka, walaupun dengan memberinya kari yang engkau hadiahkan kepadanya”. [Lihat Subul As-Salam (7/84)]
Tak tertinggal para wanita, Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– juga membimbing mereka agar senantiasa mengulurkan sedekah dan pemberian kepada sesama tetangga mereka.
Beliau –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,
يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لَا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا، وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai wanita-wanita muslimah, janganlah seorang wanita meremehkan pemberiannya kepada tetangganya, walaupun berupa kikil kambing”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (2566) dan Muslim dalam Shohih-nya (1030)]
Kebiasaan memberi sesuatu perlu dikembangsuburkan oleh kaum muslimin.
Karena, ini menunjukkan benarnya kecintaan seseorang kepada saudaranya dan kuatnya perhatian dia kepada saudaranya.
Al-Imam al-Muhallab –rahimahullah– berkata,
“لَا يَبْعَثُ عَلَى الدَّعْوَةِ إِلَى الطَّعَامِ إِلَّا صِدْقُ الْمَحَبَّةِ وَسُرُورُ الدَّاعِي بِأَكْلِ الْمَدْعُوِّ مِنْ طَعَامِهِ وَالتَّحَبُّبِ إِلَيْهِ بِالْمُؤَاكَلَةِ وَتَوْكِيدِ الذِّمَامِ مَعَهُ بِهَا فَلِذَلِكَ حَضَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْإِجَابَةِ وَلَوْ نَزَرَ الْمَدْعُوُّ إِلَيْهِ وَفِيهِ الْحَضُّ عَلَى الْمُوَاصَلَةِ وَالتَّحَابِّ وَالتَّآلُفِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ لِمَا قَلَّ أَوْ كثر وَقبُول الْهَدِيَّة كَذَلِك.” اهـ من فتح الباري لابن حجر (9/ 246)
“Tak ada yang mampu mendorong untuk mengundang saudaranya makan, kecuali karena benarnya kecintaan dan bahagianya si pengundang dengan sebab yang diundang akan memakan makanannya, dan karena berusaha memperlihatkan kecintaan kepadanya dengan menemaninya makan dan menguatkan kehormatan saudaranya dengan makan.
Karenanya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menganjurkan untuk memenuhi undangan, walaupun makanannya sedikit”. [Lihat Fathul Bari (14/464)]
Kebiasaan memberi kita harus galakkan. Hanya saja kebiasaan memberi ini, tak mungkin kita lakukan, kecuali kita membiasakan diri dari sesuatu yang kecil sehingga pada akhirnya mampu memberi yang banyak.
Bila mampunya mengulurkan bakso kepada tetangga, maka itu baik. Bila mampunya sebungkus INDO MIE, yah itulah yang diberi. Bila mampunya tenaga dan pikiran, itu juga bagus.
Intinya, apapun yang kita ulurkan kepada saudara muslim dan tetangga, maka itulah yang terbaik.
Jangan selalu mengulur waktu, nanti mau memberi bila jumlahnya banya. Sebaliknya, bila pemberian sedikit, maka ia malu memberi.
Ini tentunya keliru. Lihat saja Abu Dzarr hanya diperintahkan memperbanyak kuahnya. Jadi, walaupun berupa kuah, itu tak mengapa!!
Alangkah indahnya kehidupan ini bila setiap muslim mau menengok dan memperhatikan saudaranya, mau menegur sapa mereka. Bila membutuhkan dana, ia berusaha meminjamkannya, atau bahkan memberinya sebagai sedekah baginya.
Bila kebiasaan memberi tak ada pada diri kita, maka ia akan digantikan oleh sifat ketamakan yang merusak dan membinasakan kita.
Sebab sifat ini akan menghalangi kita dari banyak kebaikan. Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,
ثَلاثٌ مُهْلِكَاتٌ : فَشُحٌّ مُطَاعٌ ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بنفْسِه
“Ada tiga perkara yang membinasakan: ketamakan yang ditaati, hawa nafsu yang diperturutkan dan berbangganya seseorang dengan diri sendiri”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (651). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1802)]
Ali bin Sulthon Al-Qori Al-Harowiy –rahimahullah- berkata saat menjelaskan hakikat ketamakan,
“وَالْأَظْهَرُ أَنَّ الشُّحَّ هُوَ الْبُخْلُ الْمَقْرُونُ بِالْحِرْصِ.” اهـ من مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح (8/ 3199)
“Pendapat yang terkuat bahwa ketamakan adalah kebakhilan yang teriringi oleh kebakhilan (sifat kikir).” [Lihat Mirqoh Al-Mafatih (8/3199)]
Ketamakan yang ditaati oleh seorang hamba, menjadikan hamba itu akan terhalangi dari banyak pintu-pintu kebaikan yang terkait dengan harta bendanya.
Akibat ketamakannya, maka ia pun menutup semua jenis pintu infaq dan sedekah, sehingga ia pun terhalangi dari banyak keutamaan dan pahala yang besar dari infaq dan sedekah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Al-Harroniy –rahimahullah– berkata,
“وَأَمَّا (الشُّحُّ الْمُطَاعُ) فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَفْسَدَتَهُ عَائِدَةٌ إلَى مَنْعِ الْخَيْرِ.” اهـ من مجموع الفتاوى (18/ 333)
“Adapun ketamakan yang ditaati, maka sungguh kami telah sebutkan bahwa kerusakannya kembali kepada menahan kebaikan.” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (18/333)]
Bukankah sebuah kebinasaan besar bagi seorang hamba menahan hak-hak Allah dan hak-hak manusia yang terdapat pada harta benda yang dimiliki oleh si hamba yang binasa ini?!
Ia pun terhalang dari menunaikan ibadah-ibadah yang menjadi hak Allah. Ia jauh dari berinfaq dalam jihad, dakwah, pembangunan masjid, pesantren, dan lainnya.
Akibatnya, banyak kebaikan berupa pahala dan fadhilah (keutamaan) yang terhalang di depannya. Sungguh sebuah kebinasaan besar yang kelak melahirkan penyesalan besar di Hari Pembalasan! Nas’alullohal afiyah was salamah min dzalik.
—————————————————————————–