Bagikan...

Lahirnya Penjagaan dari Allah Berkat Kesholihan Seorang Hamba

  • Oleh: Ust. Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc. hafizhahullah

Disana ada sebuah ungkapan yang terkenal, “Siapa Menanam, dia yang menuai”Maksudnya, siapa yang mengusahakan sesuatu, maka ia yang merasakan hasilnya. Jika yang ditanam adalah sesuatu yang baik dan bermanfaat, maka ia akan merasakan kebaikan dan manfaatnya. Namun jika ia menanam sesuatu yang buruk, maka tiada sesuatu yang ia petik, melainkan keburukan pula.

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا [الإسراء : 7]

“Jika kalian berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi diri kalian sendiri dan jika kamu berbuat buruk, maka (keburukan) itu bagi diri kalian sendiri.” (QS. Al-Israa’ : 7)

Di dalam ayat ini, Allah -Tabaroka wa Ta’ala- menetapkan bahwa setiap pelaku kebaikan akan dibalas dengan kebaikan yang ia lakukan. Adapun jika seorang manusia berbuat buruk dan kejahatan, maka semua itu akan menimpa dirinya sendiri, sadar atau tidak sadar!!

Al-Imam Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Al-Janakiy Asy-Syinqithiy –rahimahullah– berkata,

 

بَيَّنَ جَلَّ وَعَلَا فِي هَذِهِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ : أَنَّ مَنْ أَحْسَنَ – أَيْ بِالْإِيمَانِ وَالطَّاعَةِ – فَإِنَّهُ إِنَّمَا يُحْسِنُ إِلَى نَفْسِهِ ; لِأَنَّ نَفْعَ ذَلِكَ لِنَفْسِهِ خَاصَّةً . وَأَنَّ مَنْ أَسَاءَ – أَيْ بِالْكُفْرِ وَالْمَعَاصِي – فَإِنَّهُ إِنَّمَا يُسِيءُ عَلَى نَفْسِهِ . لِأَنَّ ضَرَرَ ذَلِكَ عَائِدٌ إِلَى نَفْسِهِ خَاصَّةً .

“Allah –Jalla wa Alaa- menerangkan di dalam ayat yang mulia ini bahwa barangsiapa yang berbuat baik dengan keimanan dan ketaatan, maka sesungguhnya ia hanyalah berbuat baik kepada dirinya sendiri. Karena, manfaat hal itu adalah untuk dirinya secara khusus, dan bahwasanya barangsiapa yang berbuat keburukan dengan (melakukan) kekafiran dan maksiat-maksiat, maka sesungguhnya ia hanyalah berbuat buruk bagi dirinya sendiri. Karena, madhorot (akibat negatif) dari hal itu akan kembali kepada dirinya sendiri.” [Lihat Adhwa’ Al-Bayan fi Idhoh Al-Qur’an bil Qur’an (3/14) oleh Asy-Syinqithiy, cet. Darul Fikr, 1415 H]

Disinilah pentingnya seorang hamba menghiasi dirinya dengan amal sholih yang akan menjadi bekal baginya menghadap Allah –Tabaroka wa Ta’ala-. Dengan amal sholih dan ketaatan, seorang hamba menjadi baik.

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلاَّمٍ لِلْعَبِيدِ  [فصلت : 46]

“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan buruk, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fushshilat : 46)

Al-Imam Muhammad bin Jarir Ath-Thobariy –rahimahullah– berkata,

من عمل بطاعة الله في هذه الدنيا، فائتمر لأمره، وانتهى عما نهاه عنه( فَلِنَفْسِهِ ) يقول: فلنفسه عمل ذلك الصالح من العمل، لأنه يجازى عليه جزاءه، فيستوجب في المعاد من الله الجنة، والنجاة من النار.( وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ) يقول: ومن عمل بمعاصي الله فيها، فعلى نفسه جنى، لأنه أكسبها بذلك سخط الله، والعقاب الأليم

“Barangsiapa yang melakukan ketaatan kepada Allah di dunia ini, lalu ia pun merealisasikan perintah-Nya, dan berhenti dari sesuatu yang Allah larang darinya, maka hal itu untuk dirinya sendiri. Untuk dirinya, ia melakukan amal sholih. Karena, ia akan diberi balasan amal sholihnya.

Amal sholih ini menuntut adanya surga dari Allah di akhirat serta keselamatan dari neraka.

Barangsiapa mengerjakan perbuatan buruk, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang melakukan maksiat-maksiat kepada Allah padanya, maka ia akan memetik (keburukan) untuk dirinya sendiri. Karena, ia telah mengusahakan kemurkaan Allah dan hukuman yang pedih untuk dirinya.” [Lihat Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Ayil Qur’an (21/487)]

Buah manis kesholihan seorang hamba, bukan hanya akan ia rasakan saat di akhirat. Bahkan jauh sebelumnya saat ia di dunia, maka kesholihan (kebaikan)nya akan ia nikmati manisnya saat di dunia.

Seorang ulama tabi’in yang bernama Muhammad bin Al-Munkadir Al-Qurosyiy At-Taimiy (wft 130 H) –rahimahullah– berkata,

إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَحْفَظُ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ فِيْ وَلَدِهِ وَوَلَدِ وَلَدِهِ، وَيْحْفَظُهُ فِيْ دُوَيْرَتِهِ وَفِيْ دُوَيْرَاتٍ حَوْلَهُ فَمَا يَزَالُوْنَ فِيْ حِفْظٍ وَعَافِيَةٍ مَا كَانَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ

“Sesungguhnya Allah -Ta’ala- akan menjaga seorang hamba mukmin dalam hal anaknya, dan cucunya; Allah akan menjaganya dalam hal kampungnya dan kampung-kampung yang ada di sekitarnya. Mereka senantiasa berada dalam penjagaan dan keselamatan selama ia (hamba yang mukmin) berada di tengah mereka”. [Atsar Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Auliya’ (3/148)]

Perhatikanlah buah manis dari kesholihan seorang hamba, dimana Allah -Tabaroka wa Ta’ala- memberikan penjagaan diri, keluarga, dan harta bendanya, bahkan kampung tempat ia tinggal pun mendapatkan penjagaan dari sisi Allah. Semua itu lahir dari kesholihan seorang hamba.

Di dalam Al-Qur’an Al-Karim, tentang kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khodhir –alaihimash sholatu was salam-, Allah mengabarkan kepada kita bahwa disana ada seorang hamba yang sholih telah wafat dengan meninggalkan anak-anak dan harta benda yang terpendam di bawah sebuah dinding yang hampir roboh. Sepeninggalnya, anak-anak dan harta bendanya dijaga oleh Allah dari tangan-tangan jahil.

Allah –Tabaroka wa Ta’ala– berfirman dalam menceritakan kisah itu dalam jawaban Nabi Khodhir kepada Nabi Musa –alaihimash sholatu was salam-,

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّك [الكهف : 82]

“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih. Maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu”. (QS. Al-Kahfi : 82)

وهذا يدل على أنَّ صلاح الإنسان يفيد العناية بأحوال أبنائه

Abu Hafsh Umar Ibnu Adil Al-Hambaliy –rahimahullah– berkata dalam menerangkan ayat ini,

“Ini menunjukkan bahwa kesholihan seorang manusia memberikan faedah (lahirnya) perhatian (penjagaan) bagi kondisi anak keturunannya.” [Lihat Al-Lubab fi ‘Ulum Al-Kitab (1/3455)]

Kesholihan seorang manusia tentunya kembali kepada kesholihan (kebaikan) amal dan imannya yang dibangun di atas ilmu yang bersumber dari wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah). Sedang suatu amal ketaatan dan ibadah tidak akan sholih, kecuali terpenuhi padanya dua hal : KEIKHLASAN dan ITTIBA’ (mengikuti sunnah Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-). Inilah amal ibadah dan ketaatan yang menumbuhkan keberkahan pada diri seorang hamba.

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy –rahimahullah– berkata mengomentari ayat ini,

فيه دليل على أن الرجل الصالح يحفظ في ذريته، وتشمل بركة_عبادته لهم في الدنيا والآخرة، بشفاعته فيهم ورفع درجتهم إلى أعلى درجة في الجنة لتقر عينه بهم، كما جاء في القرآن ووردت السنة به

“Di dalamnya terdapat terdapat dalil bahwa orang yang sholih diberi penjagaan pada anak keturunannya; berkah ibadahnya akan meliputi mereka di dunia, dan di akhirat berkat syafatnya bagi mereka, terangkatnya derajat mereka kepada derajat tertinggi di dalam surga, agar matanya sejuk dengan (melihat) mereka, sebagaimana yang datang di dalam Al-Qur’an dan sunnah.” [Lihat Tafsir Ibni Katsir (5-186-187), cet. Dar Thoibah]

Kesholihan dan ketaqwaan dan sang ayah menyebabkan kedua anaknya diberi penjagaan dari Allah –Tabaroka wa Ta’ala-. Disebutkan oleh sebagian ahli tafsir bahwa sang ayah dikenal dengan sifat amanahnya. Abu Ja’far Ath-Thobariy menjelaskan si ayah yang sholih adalah seorang penenun kain. [Lihat Al-Kasyf wa Al-Bayan (6/188) oleh Ats-Tsa’labiy, Jami’ Al-Bayan (18/89), dan Zadul Masir (5/182) oleh Ibnul Jauziy]

Di dalam ayat ini dan sebelumnya, diceritakan bahwa Nabi Khodhir menguatkan dan menegakkan dinding itu agar harta warisan dua anak yatim yang ada di bawahnya tidak diambil oleh manusia, sebagai bentuk penjagaan bagi harta warisan milik anak orang sholih itu.

Jika harta dan anak orang sholih itu saja dijaga, maka pasti orang sholih itu juga mendapatkan penjagaan.

Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,

احْفَظِ اللَّهَ يَحْفَظْكَ ، احْفَظِ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ

“Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati-Nya di depanmu.” [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2516). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Zhilal Al-Jannah (316-318)]

Orang yang menjaga Allah adalah orang yang melaksanakan perintah-perintah Allah, dan menjauhi larangan-larangan Allah. Dia tidak melampaui batasan-batasan dalam agama Allah, sehingga ia tidak melanggar perintah Allah, dan tidak pula melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah.

Siapa yang melakukan hal-hal ini, maka ia termasuk orang-orang yang menjaga batasan-batasan Allah yang dipuji oleh-Nya di dalam Kitab-Nya.

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambaliy –rahimahullah– berkata,

وحفظ الله لعبده يدخل فيه نوعان :

أحدهما : حفظه له في مصالح دنياه ، كحفظه في بدنه وولده وأهله وماله ،

وقد يحفظُ الله العبدَ بصلاحه بعدَ موته في ذريَّته

النوع الثاني من الحفظ ، وهو أشرف النوعين : حفظُ الله للعبد في دينه وإيمانه ، فيحفظه في حياته من الشبهات المُضِلَّة ، ومن الشهوات المحرَّمة ، ويحفظ عليه دينَه عندَ موته ، فيتوفَّاه على الإيمان

“Penjagaan Allah terhadap hamba-Nya, masuk di dalamnya dua jenis. Pertama, Allah menjaganya dalam hal kemaslahatan dan kepentingan dunianya, seperti menjaga badannya, anaknya, keluarganya dan harta bendanya. Terkadang Allah menjaga seorang hamba berkat kesholihannya sepeninggalnya dalam hal anak keturunannya.

Kedua, diantara bentuk penjagaan –sedang ia adalah jenis penjagaan termulia-, yaitu penjagaan Allah terhadap hamba dalam urusan agama dan keimanannya. Lantaran itu, Allah menjaganya di masa hidupnya dari syubhat-syubhat yang menyesatkan dan syahwat-syahwat yang diharamkan. Allah menjaga agamanya saat ia mati, sehingga Allah pun mewafatkannya di atas iman.” [Lihat Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam (186-187), karya Ibnu Rajab, cet. Darul Ma’rifah, 1408 H]

Seorang yang sholih akan dijaga oleh Allah dari segala bahaya, termasuk gangguan binatang buas. Disana ada sebuah kisah ajaib yang dialami oleh sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang bernama “Safinah” -radhiyallahu anhu-.

Dari Ibnul Munkadir, ia berkata,

أَنَّ سَفِيْنَةَ مَوْلَى رَسُوْلِ اللهِ ( صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) أَخْطَأَ الْجَيْشَ بِأَرْضِ الرُّوْمِ ، أَوْ أُسِرَ فِيْ أَرْضِ الرُّوْمِ ، فَانْطَلَقَ هَارِباً يَلْتَمِسُ الْجَيْشَ ، فَإِذَا هُوَ بِاْلأَسَدِ ، فَقَالَ لَهُ : أَبَا الْحَارِثِ، إِنِّيْ مَوْلَى رَسُوْلِ اللهِ ( صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ )، كَانَ مِِنْ أَمْرِيْ كَيْتَ وَكَيْتَ ، فَأَقْبَلَ اْلأَسَدُ لَهُ بَصْبَصَةٌ حَتَّى قَامَ إِلَى جَنْبِهِ، كُلَّمَا سَمِعَ صَوْتاً ، أَهْوَى إِلَيْهِ ،ثُمَّ أَقْبَلَ يَمْشِيْ إِلَى جَنْبِهِ ، فَلَمْ يَزَلْ كَذَلِكَ حَتَّى بَلَغَ الْجَيْشَ ، ثُمَّ رَجَعَ اْلأَسَدُ.

 “Safinah, mantan budaknya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah terluput (tertinggal) dari pasukan di negeri Romawi atau ditawan di negeri Romawi. Ia pergi melarikan diri untuk mencari pasukan (kaum muslimin, pent.). Tiba-tiba ada seekor singa. Safinah berkata kepadanya, ‘Wahai bapaknya singa, sesungguhnya aku ini adalah mantan budaknya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Sesungguhnya urusanku begini dan begitu.’

Singa itu pun menghadap kepadanya sambil menggerak-gerakkan ekornya sampai singa itu berdiri di sisi Safinah. Setiap kali singa itu mendengarkan suara, maka ia pun datang kepada Safinah. Kemudian ia pun datang sambil berjalan di sisi Safinah. Senantiasa singa itu demikian sampai Safinah mencapai pasukan, lalu singa itu kembali.” [HR. Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnaf (20544), Al-Baghowiy dalam Syarh As-Sunnah (3732), dan lainnya. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Misykah Al-Mashobih (no. 5949)]

Dalam sebagian riwayat, Safinah -radhiyallahu anhu- berkata,

فَطَأْطَأَ رَأْسَهُ وَأَقْبَلَ إِلَيَّ فَدَفَعَنِيْ بِمَنْكِبِهِ حَتَّى أَخْرَجَنِيْ مِنَ اْلأَجَمَةِ وَوَضَعَنِيْ عَلَى الطَّرِيْقِ وَهَمْهَمَ، فَظَنَنْتُ أَنَّهُ يُوَدِّعُنِيْ فَكَانَ ذَلِكَ آخِرَعَهْدِيْ بِهِ

“Singa itu menundukkan kepalanya dan menghadap kepadaku. Ia mendorongku dengan menggunakan pundaknya sampai ia mengeluarkan aku dari semak belukar dan menuntunku ke jalan. Singa itu mengaum. Aku perkirakan ia mengucapkan selamat tinggal kepadaku. Itulah momen akhirku bersama singa itu.” [HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (6550), Ath-Thobroniy dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (6432), Ar-Ruyaniy dalam Musnad-nya (662), Al-Bazzar dalam Al-Bahr Az-Zakhkhor (3838), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (4/270)]

Lahirnya penjagaan seperti ini bagi diri seorang hamba, anak keturunan, dan harta bendanya, tidaklah terjadi begitu saja, tanpa sebab. Karenanya, para salaf dahulu selalu memperbanyak ibadahnya demi meraih keutamaan tersebut. Mereka sangat menghayati bahwa mereka amat butuh kepada penjagaan dari Allah -Tabaroka wa Ta’ala- dalam segala urusannya di dunia, sehingga mereka menjadi orang-orang yang berbahagia, dan meninggalkan anak keturunan dan harta bendanya dalam keadaan aman dan penuh berkah.

Lantaran itu, seorang tabi’in yang mulia, Sa’id Ibnul Musayyib –rahimahullah– berkata,

إِنِّيْ لَأَصَلِّيْ، فَأَذْكُرُ وَلَدِيْ، فَأَزِيْدُ فِيْ صَلاَتِيْ

“Sesungguhnya aku biasa mengerjakan sholat, lalu aku teringat dengan anakku. Kemudian aku pun menambahi sholatku.” [Lihat Ma’alim At-Tanzil (3/211), cet. Dar Ihya’ At-Turots, dan Lubab At-Ta’wil (4/227) oleh Ala’uddin Al-Khozin Al-Baghdadiy]

Inilah berkah kesholihan hamba yang senantiasa taat kepada Allah dan menjauhi dosa-dosa dan maksiat, ia diberi penjagaan oleh Allah –Tabaroka wa Ta’ala– dari segala keburukan, marabahaya, gangguan dan hal-hal yang menyakitkan dirinya.

……………………………………………………………

Tulisan ini rampung tanggal 28 Muharram 1437 H, Markaz Dakwah, Ma’had As-Sunnah, Jalan Baji Rupa -Semoga Allah memberkahinya para pengurusnya-.