Tidak Boleh Makan, Minum, dan Jima’
Orang yang berpuasa diwajibkan untuk meninggalkan makan, minum, dan berhubungan badan. Hal ini tentunya sangat dimaklumi berdasarkan firman Allah,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian hingga tampak, bagi kalian, benang putih terhadap benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” [Al-Baqarah: 187]
Juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشَرَ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللهُ تَعَالَى : إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ, يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِيْ
“Setiap amalan Anak Adam, kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’âla berfirman, ‘Kecuali puasa. Sesungguhnya (amalan) itu adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya karena (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku.’.” (Lafazh hadits adalah milik Imam Muslim)
Meninggalkan Dusta, Riba, dan Adu Domba
Orang yang berpuasa diwajibkan untuk meninggalkan perkataan dusta, memakan harta riba, dan mengadu domba.
Meninggalkan Perkara Sia-sia
Orang yang berpuasa juga diharuskan untuk meninggalkan segala perkara sia-sia.
Dua hal terakhir di atas berdasarkan dalil-dalil umum akan larangan terhadap perkara-perkara tersebut secara mutlak, baik dalam keadaan berpuasa maupun tidak. Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhary, secara khusus berkaitan dengan puasa, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (tetap) mengamalkan hal tersebut, Allah tidak perlu terhadap (amalan) dia (yang) meninggalkan makan dan minumnya (yaitu terhadap puasanya, -pent.).”
Selain itu, dalam riwayat Al-Bukhâry dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَسْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّيْ امْرُؤٌ صَائِمٌ
“…dan puasa adalah tameng. Bila ada hari puasa di antara salah seorang di antara kalian, janganlah ia berbuat sia-sia dan janganlah ia banyak mendebat. Kalau orang lain mencaci-maki atau memusuhinya, hendaknya ia berkata, ‘Saya sedang berpuasa.’.”
Lalu, dalam hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang hasan, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشَّرَابِ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَفَثِ
“Puasa itu bukanlah sekedar (menahan diri) dari makan dan minum, melainkan bahwa puasa itu hanyalah (menahan diri) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna.”
Tidak Boleh Menyambung Puasa Secara Dua Hari Berturut-turut atau Lebih
Seseorang juga diharamkan untuk berpuasa Wishal.
Puasa Wishal artinya menyambung puasa secara dua hari berturut-turut atau lebih tanpa berbuka. Puasa Wishal diharamkan atas umat ini, kecuali bagi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, menurut pendapat yang lebih kuat dari kalangan ulama.
Hal tersebut berdasarkan hadits Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Aisyah, dan Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhum riwayat Al-Bukhâry dan Muslim. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menyatakan,
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْوِصَالِ قَالُوْا: إِنَّكَ تُوَاصِلُ قَالَ : إِنِّيْ لَسْتُ مِثْلَكُمْ إِنِّيْ أُطْعَمُ وَأُسْقَى
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam melarang (seseorang untuk) berpuasa wishal, maka para sahabat berkata, ‘Sesungguhnya, (bukankah) engkau (berpuasa) Wishal?’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya saya tidak seperti kalian. Saya diberi (kekuatan) makan dan minum.’.”