Petaka Dusta dan Kesengsaraan Pelakunya

  • Oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah hafizhahullah
  • [Pembina Ponpes Al-Ihsan Gowa]

 

Kejujuran pangkal dari segala kebaikan. Karena kejujuran akan mengantarkan seseorang kepada kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat.

Dengan sikap jujur yang tulus dalam mengabdi kepada Allah –Azza Wa Jalla– dan setia menaati aturan Rasul-Nya, maka seorang muslim akan hidup dengan hati yang tenang, pemberani, rela berkorban dengan jiwa raga, serta tidak takut dengan cercaan dan hinaan yang menerpanya.

Adapun seorang yang pendusta, suatu ketika pasti menuai badai petaka dan sengsara serta memetik buah pahit sebagai balasan dari  kedustaan yang ia perbuat.

Di dunia ia akan dibenci dan dijauhi oleh teman atau lawan dan di akhirat kelak  akan mendapat adzab yang pedih.

Buah yang paling menyakitkan bagi para pendusta adalah tatkala seluruh ucapan serta perbuatannya akan ditolak dan manusia tidak percaya lagi kepadanya, karena ia dianggap sebagi sumber kedustaan, meskipun ia telah berusaha untuk jujur dalam setiap keadaan.

Oleh karenanya, kita dituntut untuk bersikap jujur, terutama kepada Allah dan  Rasul-Nya serta kepada seluruh manusia, bahkan kepada diri sendiri. 

Allah –Subhana Wa Ta’ala– berfirman,

{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ } [التوبة: 119]

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur”. (QS. At-Taubah: 119)

 

Para ahli tafsir memiliki lima pendapat tentang orang-orang yang benar (jujur) :

Pendapat pertama, mereka adalah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya. Ini dinyatakan oleh Ibnu Umar -radhiyallahu anhu-.

Kedua, mereka adalah Abu Bakr dan Umar. Ini pendapat Sa’id bin Jubair dan Adh-Dhohhak bin Muzahim.

Ketiga, mereka adalah tiga orang yang tertinggal perang Tabuk (Ka’ab bin Malik Al-Anshoriy As-Salamiy, Muroroh bin Ar-Robi’ Al-Anshoriy Al-Ausiy dan Hilal bin Umayyah Al-Anshoriy Al-Waqifiy.). Mereka semua jujur kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tentang ketertinggalan mereka (dari Perang Tabuk). Ini adalah pendapat As-Suddiy.

Keempat, mereka adalah para sahabat muhajirin. Pendapat ini ditegaskan oleh Ibnu Juraij.

Kelima, bahwa firman Allah ini umum mencakup semua orang yang benar (jujur) dalam ucapan, perbuatan dan keimanannya. Ini yang dinyatakan oleh Qotadah bin Di’amah As-Sadusiy. Intinya, orang-orang yang jujur dalam ayat ini adalah para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.

[Lihat Zaadul Masiir (2/308) oleh Abul Faroj Abdur Rahman Ibnul Jauziy Ad-Dimasqiy]

 

Di dalam ayat ini, Allah –Azza wa Jalla– telah memuji orang-orang yang jujur keimanan, ucapan dan perbuatannya, dan sebaliknya mencela orang-orang yang dusta keimanan, ucapan dan perbuatannya.

Orang yang jujur dan jauh dari kedustaan akan mendapatkan pertolongan dari Allah –Azza wa Jalla– dari segala macam kesusahan dan makar para musuh.

Lantaran itu, para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mendapatkan pertolongan dari Allah -Azza wa Jalla-.

Mereka senantiasa mendapatkan kemenangan dan pertolongan dalam perang-perang yang mereka hadapi. Mereka senantiasa mendapatkan kelapangan dalam kehidupannya.

Jadi, para sahabat adalah manusia yang jujur dan amanah sehingga mereka mendapatkan keutamaan menemani Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam perjuangannya.

Sudah menjadi ketentuan di sisi Allah bahwa orang-orang-orang yang menemani beliau adalah orang-orang jujur.

Sementara para pendusta tak mungkin akan menemani beliau. Itulah sebabnya para ulama menyatakan kesepakatan mereka dalam memuji para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bahwa mereka adalah manusia jujur dalam keimanan, ucapan dan perbuatannya.

Al-Imam Abul Abbas Ibnu Taimiyyah Al-Harroniy –rahimahullah– berkata, “Para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- –alhamdulillah—termasuk orang-orang yang paling benar (jujur) ucapannya. Tak dikenal ada seorang diantara mereka yang sengaja berdusta atas nama Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-”. [Lihat Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyyah fi Naqd Kalam Asy-Syi’ah wa al-Qodariyyah (1/307)]

Pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah– juga dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy –rahimahullah-, saat beliau berkata, “Ahlus Sunnah telah sepakat bahwa seluruh sahabat adalah orang-orang ‘uduul (terpercaya dan diridhoi). Tak ada yang menyelisihi dalam perkara itu, kecuali orang-orang yang menyeleneh dari kalangan ahli bid’ah” .[Lihat Al-Ishobah fi Tamyiiz Ash-Shohabah (1/10)]

Para pembaca yang budiman, setelah kita mengetahui bahwa para sahabat adalah manusia terpercaya dalam ucapan, perbuatan dan keimanannya, maka dengan itu tentunya kita wajib mengikuti jejak dan jalan hidup mereka agar kita bersama orang-orang yang benar dan terpercaya dalam ucapan, perbuatan dan keimanannya.

Hidup bersama dan akrab dengan orang yang jujur merupakan kenikmatan yang besar. Sebab, sifat jujur memberikan rasa tentram dan ketenangan yang tidak dapat diraih oleh semua orang, kecuali orang yang mendapat taufik dan kemuliaan.

Diantara tanda-tanda orang jujur, ia memiliki ketenangan hati. Sedangkan orang yang pendusta, senantiasa dalam kegalauan dan  keguncangan jiwa sebagaimana sabda Nabi –Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam-,

فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ

“Sesungguhnya kejujuran itu adalah ketenangan dan kedustaan adalah kebimbangan” [HR. At-Tirmidzi (2518) di-shohih-kan oleh Syaikh Albany dalam Al-Irwa’ (17 & 2074)]

Al-Imam Abdur Ra’uf  Al-Munawiy -rahimahullah- berkata, “Walhasil, kejujuran bila merasuki hati orang yang sempurna (yakni, orang beriman), maka cahaya kejujurannya akan bercampur dengan cahaya imannya. Karenanya, padamlah pelita kedustaan. Sebab, kedustaan adalah kegelapan, sedang kegelapan tak akan bercampur dengan cahaya”. [Lihat Faidhul Qodir Syarh Al-Jami’ Ash-Shoghier (3/706)]

Pembaca yang budiman, di hari ini kejujuran adalah  sesuatu yang sangat langka dan mahal. Sangat susah untuk mencari orang-orang yang jujur dan bisa dipercaya.

Di sebagian negeri, mereka rela berdusta demi mendapatkan dana dan bantuan, asal tujuan tercapai. Berapa banyak uang negara yang diambil atas nama rakyat ternyata masuk di kantong pribadi.

Dana-dana pembangunan sekolah, jembatan, jalanan dan lain-lain untuk kemaslahatan kaum  muslimin, semuanya tidak selamat dari penyunatan (pemotongan) orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Para pedagang tidak segan-segan lagi menipu para pembeli dan berbuat curang dalam timbangan-timbangan mereka. Sehingga menjadikan keberkahan perdagangan mereka menjadi hilang.

Nabi – Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam – bersabda,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا قَالَ هَمَّامٌ وَجَدْتُ فِي كِتَابِي يَخْتَارُ ثَلَاثَ مِرَارٍ فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا فَعَسَى أَنْ يَرْبَحَا رِبْحًا وَيُمْحَقَا بَرَكَةَ بَيْعِهِمَا

“Penjual dan pembeli punya hak khiyar (pilihan untuk meneruskan atau membatalkan jual beli), selagi keduanya belum berpisah. Bila keduanya jujur dan menjelaskan (aib barang dagangannya), maka akan diberkahi dalam jual belinya. Bila berdusta dan menyembunyikan aibnya -meskipun ia memperoleh laba-, maka akan dihapus keberkahan jual belinya”.[HR. AlBukhary (2079)]

Al-Imam Abu Bakr Ibnul Mundzir An-Naisaburiy –rahimahullah– berkata, “Jadi, menyembunyikan aib barang dagangan adalah haram. Barangsiapa yang melakukan hal itu, maka ia terancam dengan tercabutnya keberkahan dalam jual-belinya di dunia dan juga terancam dengan siksaan yang pedih di akhirat”. [Lihat Syarh Al-Bukhoriy li Ibni Baththol (11/216)]

Kenapa berkah itu tercabut? Jawabnya, karena kejujuran tak ada diantara kedua belah pihak, lalu digantikan dengan kedustaan yang membawa kepada kesialan.

Seorang yang berakal akan selalu menghiasi dirinya dengan kejujuran. Dengannya, ia memperoleh kemulian di dunia dan akhirat. Dia akan disegani, dihormati dan dicintai oleh semua orang.

Sebaliknya, orang yang suka dusta, walaupun ia berusaha mencari hati dan perhatian manusia, tapi ia tetap dibenci, dijauhi dan dicurigai oleh semua pihak.

Ketahuilah bahwa kejujuran adalah perkara terpuji yang menuai kebaikan di dunia dan di akhirat.

Rasulullah- Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam – juga menjamin orang yang jujur dan mau meninggalkan dusta dengan jaminan surga sebagaimana sabdanya,

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

saya orang yang menjamin rumah dipinggir surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun benar, dan rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bergurau, serta rumah di tengah surga bagi orang yang memperbaiki akhlaknya.”[HR. Abu Dawud (4800), At-Tirmidzi (1993) dan Ibnu Majah (51). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 494)]

Pembaca yang budiman, sesungguhnya dusta merupakan biang kejelekan. Sebab satu kedustaan akan memancing kedustaan yang lainnya sehingga ia terbiasa dengan kebohongannya dalam segala perkara.

Akhirnya, manusia pun menjauhinya dan membencinya serta mengenalnya  sebagai orang yang pendusta.

Oleh sebab itu, tatkala seseorang mulai berdusta dan menggampangkan perbuatan dusta, maka sama saja ia telah melemparkan dirinya ke dalam jurang kebinasaan, sebagaimana yang diterangkan dalam sabda Nabi –Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam-,

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

“Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan ke surga. Senantiasa seseorang berlaku jujur dan berusaha untuk selalu jujur hingga ia dicatat oleh Allah sebagai shiddiq (orang amat jujur). Sesungguhnya kedustaan akan mengantarkan kepada kedurhakaan (dosa), dan sesungguhnya kedurhakaan akan mengantarkan ke neraka. Senantiasalah seorang hamba berdusta dan berusaha untuk selalu berdusta hingga ia dicatat oleh Allah sebagai pendusta”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 6094), dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 2607)]

Al-Imam Abu Zakariyya Yahya Ibn Syarof An-Nawawiy rahimahullah– berkata, “Para ulama berkata, “Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk berusaha jujur, yakni menginginkan kejujuran, dan memperhatikannya, dan (di dalamnya juga) terdapat peringatan dari bahaya dusta, dan bergampangan di dalamnya. Karena, jika ia bergampangan dalam dusta, maka dusta itu akan semakin banyak darinya, lalu ia pun dikenal dengannya. Allah akan mencatatnya sebagai shiddiq (yang amat jujur), karena kesungguhannya, jika ia terbiasa dengan kejujuran; atau ia dicatat sebagai pendusta, jika ia terbiasa dengan dusta”. [Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim (16/375)]

Lantaran itu, hendaklah seorang muslim menjauhi sifat dusta. Karena, dusta merupakan akhlak yang rendah dan hina.

Tidak pantas bagi seorang muslim untuk menghiasi dirinya dengan sifat dusta sebab hal itu merupakan tanda kemunafikan.

Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam– bersabda,

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

Ada empat perangai tatkala ada pada seseorang, maka dia seorang munafik tulen. Barangsiapa yang memiliki salah satu perangai darinya, maka padanya ada satu perangai kemunafikan hingga ia meninggalkannya. Yaitu: jika diberi amanah dia berkhianat, jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia melanggarnya; dan jika berdebat, maka dia curang.”[HR. Al-Bukhoriy (no. 34) dan Muslim (no. 207-106/1)]

Sifat dusta adalah ciri kaum munafik. Adapun muslim yang taat dan jujur dalam beragama, maka ia sejatinya jauh dari sifat dusta, lalu menghias diri dengan kejujuran.

Sifat yang akan menyeret diri seorang muslim kepada kemurkaan Allah; sifat yang membawa kesengsaraan dan keburukan bagi pelakunya.

—————————————————————————–