Seorang pemuda pernah mengisahkan kejadian yang ia alami kepada seorang bapak tua yang ia yakini berilmu, namun hakikatnya jahil. Dia bercerita bahwa saat ia mengendarai perahu, tiba-tiba angin bertiup kencang, sehingga menyebabkan dirinya ketakutan dan panik.
Bapak tua itu berkata, “Di saat seperti itu, panggillah nama Nabi Khidhir, karena ia adalah nabi penjaga air, niscaya kamu akan selamat!!”. Di dalam kisah ini terdapat tiga hal yang perlu diluruskan:
Pertama, keberadaan Nabi Khidhir. Yang benar bahwa beliau telah lama mati sebelum lahirnya Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Kedua, kedudukannya sebagai nabi air. Ini juga pernyataan yang tak didasari oleh dalil wahyu.
Ketiga, bapak tua itu mengajarkan kepada si pemuda agar bertawakkal kepada Nabi Khidhir –alaihis salam-. Ini adalah kesalahan fatal, sebab perbuatan ini (yakni, bertawakkal kepada makhluk) adalah kesyirikan yang dapat membatalkan keimanannya.
Tawakkal termasuk ibadah hati yang terbesar. Tawakkal (bersandar) kepada selain Allah (siapapun orangnya) merupakan kesyirikan yang amat terlarang dalam agama!! Tawakkal hanyalah kepada Tuhan semesta alam, Allah –Azza wa Jalla-.
Allah -Ta’ala- berfirman,
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ [المائدة : 23]
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar orang yang beriman”. (QS. Al-Maa’idah : 23)
Tanda keimanan seseorang kepada Allah tergambar pada tawakkalnya seorang hamba kepada Allah. Berbeda dengan kaum musyrikin, mereka senantiasa dalam urusannya kembali dan bersandar kepada makhluk, baik yang mati, maupun yang hidup (seperti, kepada keris bertuah, pohon keramat, batu permata, jin, makhluk halus, nabi dan lainnya).
Allah –Azza wa Jalla– berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ( [الأنفال : 2]
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhannya mereka bertawakkal“. (QS. Al-Anfaal : 2)
Seorang yang bertawakkal kepada Allah senantiasa memohon, berdoa, meminta pertolongan dari marabahaya, meminta segala hajatnya hanya kepada Allah saja. Dia akan selalu kembali kepada Allah dan menyandarkan segala keberhasilan dan kegagalan urusannya kepada Allah, bukan kepada makhluk. Sebab ia yakin bahwa Allah mampu mencukupi segala permohonan dan permintaannya.
Allah –Tabaroka wa Ta’ala– berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (64) يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ [الأنفال : 64 ، 65]
“Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.
Hai nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.”(QS. Al-Anfaal : 64)
Ahli Tafsir Negeri Syam, Al-Imam Abul Fidaa’ Ad-Dimasyqiy –rahimahullah– berkata saat menafsirkan ayat ini,
يحرض تعالى نبيه، صلوات الله وسلامه عليه، والمؤمنين على القتال ومناجزة الأعداء ومبارزة الأقران، ويخبرهم أنه حسبهم، أي: كافيهم وناصرهم ومؤيدهم على عدوهم، وإن كثرت أعدادهم وترادفت أمدادهم، ولو قل عدد المؤمنين. اهـ من تفسير ابن كثير / دار طيبة – (4 / 86)
“Allah -Ta’ala- mendorong Nabi-Nya -Shallallahu alaihi wa sallam- dan orang-orang beriman untuk berperang, melawan musuh dan adu tanding serta Allah mengabari mereka bahwa Dia (Allah) yang akan mencukupi mereka, menolong mereka dan mengokohkan mereka atas musuh, walaupun jumlah musuh lebih banyak dan bala bantuan mereka datang secara beruntun, walaupun jumlah kaum beriman lebih sedikit!!”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (4/86), cet. Dar Thoibah, 1420 H]
Allah –Azza wa Jalla– berfirman,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ [الطلاق : 3]
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”. (QS. Ath-Thalaaq : 3)
Janji yang terdapat dalam ayat ini hanya bagi orang-orang yang benar tawakkalnya kepada Allah. Adapun orang-orang yang menyandarkan urusannya kepada orang mati atau makhluk secara umum, maka ia akan ditelantarkan oleh Allah –Azza wa Jalla-.
Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,
مَنْ نَزَلَ بِهِ حَاجَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ، كَانَ قَمِنًا مِنْ أَنْ لَا تَسْهُلَ حَاجَتُهُ، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللهِ، أتَاهُ اللهُ بِرِزْقٍ عَاجِلٍ، أَوْ بِمَوْتٍ آجِلٍ
“Barang siapa yang tertimpa suatu hajat (yakni, kefakiran), lalu ia sandarkan kepada manusia, maka ia layak untuk tidak dimudahkan hajatnya (yakni hajatnya tak terpenuhi). Barangsiapa yang menyandarkannya kepada Allah, maka Allah akan memberikannya rezeki yang cepat atau kematian yang tertunda”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1/389 & 442). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrijul Musnad (no. 3696)]
Bagaimanapun susahnya urusan dan musibah yang menimpa diri kita, maka janganlah kita bertawakkal (bersandar) kepada selain Allah, sehingga kita pun datang kepada dukun, kuburan, pohon keramat atau tempat bertuah demi meminta hajat disana.
Ketahuilah bahwa perbuatan ini adalah kekafiran dan kemusyrikan. Jangan seperti sebagian kaum muslimin yang jahil punya kebiasaan di saat mereka akan menabur bibit atau akan panen, maka mereka amat takut sekali melangkah dalam urusannya sebelum ia membuat sajen bagi jin-jin yang mereka takuti dan yakini sebagai penguasa tempat itu.
Mereka selalu bersandar kepada jin-jin dalam segala urusannya sampai mereka takut kepada jin. Subhanallah, inilah kemusyrikan kaum paganisme yang diwarisi oleh mereka. Selayaknya mereka ini mencontoh Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-. Saat menghadapi musibah, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam– selalu bertawakkal dan ingat Allah.
Allah –Ta’ala– berfirman dalam mengisahkan ucapan Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dan para sahabat dalam bertawakkal kepada Allah saat mereka dikepung oleh banyak musuh,
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ [آل عمران : 173]
“(yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia (yakni, Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, Karena itu takutlah kepada mereka”, Maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. (QS. Ali Imraan : 173)
Terakhir, kami akan nukilkan sebuah penjelasan dari seorang ulama tentang hakikat tawakkal (التَّوَكُّلُ), sebab banyak diantara kita yang tidak memahaminya dengan baik, sehingga terkadang terjerumus dalam perbuatan yang menyalahi hakikat tawakkal.
Al-Imam Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diy –rahimahullah– berkata saat menjelaskan hakikat tawakkal,
التوكل على الله من أعظم واجبات التوحيد والإيمان ، وبحسب قوة توكل العبد على الله يقوى إيمانه ، ويتم توحيده ، والعبد مضطر إلى التوكل على الله والاستعانة به في كل ما يريد فعله أو تركه من أمور دينه أو دنياه .
وحقيقة التوكل على الله : أن يعلم العبد أن الأمر كله لله ، وأنه ما شاء الله كان وما لم يشأ لم يكن ، وأنه هو النافع الضار المعطي المانع ، وأنه لا حول ولا قوة إلا بالله ، فبعد هذا العلم يعتمد بقلبه على ربه في جلب مصالح دينه ودنياه ، وفي دفع المضار ، ويثق غاية الوثوق بربه في حصول مطلوبه ، وهو مع هذا باذل جهده في فعل الأسباب النافعة .
فمتى استدام العبد هذا العلم وهذا الاعتماد والثقة فهو المتوكل على الله حقيقة ، وليبشر بكفاية الله له ووعده للمتوكلين ، ومتى علق ذلك بغير الله فهو مشرك ، ومن توكل على غير الله ، وتعلق به ، وكل إليه وخاب أمله .” اهـ من القول السديد شرح كتاب التوحيد – (1 / 122)
“Tawakkal kepada Allah termasuk kewajiban tauhid dan iman yang terbesar. Seiring dengan kekuatan tawakkal seorang hamba kepada Allah, keimanannya akan semakin kuat, dan tauhidnya semakin sempurna. Seorang hamba membutuhkan tawakkal kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam segala sesuatu yang ia ingin lakukan atau ia tinggalkan berupa urusan agama dan dunianya. Hakikat tawakkal kepada Allah, seorang hamba mengerti bahwa segala urusan adalah milik Allah dan bahwa apapun yang Allah kehendaki, maka pasti terjadi; apapun yang tidak Ia kehendaki, maka pasti tak terjadi. Hamba juga mengerti bahwa Dia-lah Yang Memberi manfaat dan mudhorot, Maha Pemberi dan Yang Menahan. Mengerti bahwa tak ada perubahan dan kekuatan kecuali pada Allah. Usai ia mengerti hal-hal seperti ini, seorang hamba bersandar dengan hatinya kepada Robb-nya dalam mendatangkan kepentingan agama dan dunia atau dalam mencegah madhorot (bahaya). Hamba juga yakin sepenuhnya kepada Robb (Tuhan)-nya dalam mencapai cita-citanya. Di samping itu, ia juga mengerahkan segala kemampuannya dalam melakukan segala sebab (sarana) yang bermanfaat. Kapan pun seorang hamba terus mengerti seperti ini, bersandar seperti ini dan yakin (kepada Robb-nya dalam mencapai cita-citanya), maka ia adalah orang yang bertawakkal secara hakiki, dan hendaknya ia bergembira karena Allah akan mencukupinya dan memberi janji kepada orang-orang yang bertawakkal. Kapanpun seorang hamba menggantungkan hal-hal itu kepada selain Allah, maka ia adalah musyrik. Barangsiapa yang bertawakkal (bersandar) kepada selain Allah dan bergantung kepadanya, maka ia akan diserahkan kepada makhluk itu dan gagal harapannya”. [Lihat Al-Qoul As-Sadid (hal. 122), cet. Wizaroh Asy-Syu’unil Islamiyyah, 1421 H]
—————————————————————————–