Jannatul-firdaus.net

Menyebar Ilmu Syar’i

Jannatul-firdaus.net

Menyebar Ilmu Syar’i

Bagikan...

SHALAT DUA HARI RAYA ('IEDUL FITRI DAN 'IEDUL ADHA)

  • Oleh: Anshari, S.T.h.I, MA.

Kata ‘ied berasal dari kata ُعَادَ – يَعُوْد (kembali). Ada juga yang berpendapat bahwa kata ‘ied berasal dari kata ُالْعَادَة (kebiasaan). Bentuk jamak dari ‘ied adalah ٌأعْيَاد.

Dalam kamus Lisanul ‘Arab disebutkan bahwa: “Hari raya disebut ‘ied karena hari itu datang kembali setiap tahun dengan membawa kegembiraan.

Dalil-dalil tentang shalat ‘Ied

 

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.
“Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).” (Surah Al-Ashr, ayat 2).

 

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:
قَدْ افْلَحَ مَنْ تَزَكَّی. وَذَكَرَ اسَمَ رَبِّهِ فَصَلّٰی.
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman), dan mengingat nama Rabb-nya lalu dia salat.” (Surah Al-A’la, ayat 14-15).

 

Adapun dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya:
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهمْ، يُصلُّونَ العِيدَينِ قَبلَ الخُطبةِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhum, mereka shalat dua hari raya sebelum khutbah.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy dan Muslim).

 

Dalam hadits yang lain disebutkan:
قَدِمَ النَّبيُّ صَلَّى اللَّهُ عَليْهِ وسلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلعبونَ فِيْهِمَا فَقَالَ: مَا هٰذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِليَّةِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَدْ أبْدَلَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah dan mereka memiliki dua hari di mana mereka bermain-main di dalamnya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apa dua hari ini?’ Mereka berkata: ‘Dahulu kami bermain-main di dalamnya pada masa jahiliyah.’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik yaitu hari raya ‘Iedul Adha dan ‘Iedul Fithri.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa’i).

 

HUKUM SHALAT ‘IED

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat ‘Ied. Dalam hal ini ada tiga pendapat:

Pendapat pertama: Shalat ‘Ied hukumnya fardhu ‘ain.
Ini merupakan pendapat abu Hanifah, salah satu pendapat dari Asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Dan ini juga pendapat yang dipilih oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukaniy, Shddiq Hasan Khaan, Syeikh Al-Albaniy, Syeikh Utsaimin, Syeikh Dr. Muhammad Umar Bazmul.

 

Dalil-dalil mereka adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.
Artinya:
“Maka kerjakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.” (Surah Al-Kautsar, ayat 2).

 

2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus-menerus mengerjakannya, dan beliau tidak pernah meninggalkannya. Demikian juga para Khulafa’ Ar-Rasyidiin radhiyallahu ‘anhum. Serta pemimpin-pemimpin kaum muslimin setelahnya.

 

3. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk keluar melaksanakannya, dan memerintahkan para gadis yang dipingit, wanita haid, serta wanita yang tidak memiliki jilbab agar temannya meminjamkan jilbab kepadanya.

Dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
كُنَّا نُؤمَرُ بِالْخُرُوْجِ فِيْ الْعِيدَيْنِ وَالْمُخَبَّأَةُ، وَالْبِكْرُ. قَالَتْ: الْحُيَّضُ يَخْرُجْنَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ، يُكَبِّرْنَ مَعَ النَّاسِ.
Artinya:
“Kami diperintahkan untuk keluar ke tempat shalat Id, demikian juga para wanita yang dipingit dan para gadis.” Dia juga berkata: “Wanita-wanita haid juga keluar, mereka mengambil posisi di belakang, sambil bertakbir bersama dengan manusia.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy dan Muslim).

 

4. Shalat ‘Ied merupakan syiar Islam yang paling agung.

 

5. Shalat ‘Ied akan menggugurkan kewajian shalat Jum’at apabila bertepatan pada hari yang sama.
وما ليس بواجب لا يسقط ما كان واجبا.
Apa yang bukan wajib tidak dapat menggugurkan yang wajib.
Wallahu a’lam.

(Diringkas dari Kitab Miskul Khitaam Syarah Umdatul Ahkam, Shahih Fiqhussunnah, dan Bugyatul Mutathawwi’ fii Shalatit Tathawwu’ Syarhul Mumti, Tamamul Minnah).

Pendapat kedua: Shalat ‘Ied hukumnya fardhu kifayah. Artinya apabila sebagian dari kaum muslimin telah menegakkannya, maka gugurlah kewajiban yang lain.
Ini yang nampak dari mazhab Ahmad, dan ucapan sekelompok dari Hanafiah dan Syafi’iah.


Mereka berdalil dengan dalil-dalil yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, mereka mengatakan fardhu kifayah karena dua alasan:
Pertama: Karena tidak disyariatkan padanya adzan maka ini bukanlah fardhu ‘ain sebagaimana halnya shalat jenazah.
Kedua: Seandainya diwajibkan secara fardhu ‘ain maka akan diwajibkan khutbah dan diwajibkan untuk mendengarkannya, sebagaimana halnya shalat Jum’at.

Pendapat ketiga: Shalat ‘Ied adalah sunnah muakkadah, dan ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas ulama).


Mereka berdalil dengan hadits Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:
يا رَسولَ اللَّهِ أخْبِرْنِي مَاذَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنَ الصَّلَاةِ؟ فَقالَ: الصَّلَوَاتِ الخَمْسَ إلَّا أنْ تَطَّوَّعَ
Artinya:
“Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku apa saja yang Allah wajibkan kepadaku dari shalat? Beliau bersabda: ‘Shalat lima waktu dalam sehari semalam’.
Maka orang tersebut bertanya:
هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟
“Apakah ada selain dari itu?”

Beliau menjawab:
لَا. إلَّا أنْ تطَوُّعَ.
“Tidak, kecuali yang sunnah”. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy dan Muslim).

Dan pendapat yang paling kuat dari tiga pendapat di atas adalah pendapat yang pertama yang mengatakan bahwa shalat ‘Ied hukumnya fardhu ‘ain. Dan inilah yang dikuatkan oleh Syeikh Al-Utsaimin rahimahullah dalam Syarhul Mumti’.


Wallahu a’lam.

(Lihat, Kitab Miskul Khitaam Syarah Umdatul Ahkam, Syarhul Mumti’ dan Bugyatul Mutathawwi’ fii Shalatit Tathawwu’).

 

SUNNAH-SUNNAH ‘IED

1. Shalat ‘Ied disunnahkan untuk dilakukan di Mushalla (tanah lapang).
Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu dia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّی اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَی إِلَی الْمُصَلَّی…
Artinya:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari raya ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha keluar ke tanah lapang…” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy dan Muslim).

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang keutamaan shalat di Masjid beliau (Masjid Nabawiy) bahwa:
صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيْمَا سِوَاهُ إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ.
Artinya:
“Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawiy) lebih baik daripada seribu kali shalat di masjid selainnya, kecuali Masjidil Haram.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy dan Muslim).


Bersamaan dengan keutamaan yang besar ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan masjid beliau dan keluar ke tanah lapang. Hal ini menunjukkan keutamaan shalat di tanah lapang.
Syeikh Al-Baniy rahimahullah memiliki kitab tersendiri dengan judul “Shalatul ‘Iedain fiil Mushalla hiyas sunnah”.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Sunnahnya adalah melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang.” (Al-Mughniy, Juz II, hal. 229-230).

 

Namun, apabila ada udzur seperti hujan atau tanah lapangnya yang basah atau udzur syar’i yang lain, maka boleh melaksanakan shalat ‘Ied di masjid.

2. Berangkat dan pulang dari Mushalla melalui jalan yang berbeda.

Di antara sunnah yang pada hari raya ‘Ied adalah berangkat dan pulang dari Mushalla (tempat shalat) melalui jalan yang berbeda.


Hal ini berdasarkan perkataan Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّی اللهُ علَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْعِيْدِ خَالَفَ الطّرِيْقِ.
Artinya:
“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hari raya ‘Ied, beliau menempuh jalan yang berbeda.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy).
Maksudnya bahwa beliau berangkat melalui jalan yang satu dan pulang melalui jalan yang lain.


Banyak hikmah yang disebutkan oleh para ulama tentang masalah ini, di antaranya adalah apa yang disebutkan oleh Al-Imama Ibnul Qayyim rahimahullah yaitu: ” Untuk menebarkan salam kepada manusia di dua jalan tersebut. Ada juga yang mengatakan untuk mendapatkan keberkahan jalan yang dilaluinya. Ada juga yang mengatakan untuk menuanikan keperluan orang yang memiliki keperluan pada dua jalan tersebut. Dan ada yang berpendapat bahwa untuk menampakkan Syi’ar Islam di jalan-jalan.” (Zaadul Ma’ad, Juz I, hal. 202).

 

Dan mencontoh apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itulah yang terbaik.

3. Memperbanyak Takbir

Di antara sunnah yang dianjurkan pada hari raya ‘Ied adalah memperbanyak takbir, baik pada hari raya ‘Iedul Adha maupun hari raya ‘Iedul Fitri.


Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلِتُكْمِلُ الْعِدَّةَ ولِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَی مَاهَدَكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
Artinya:
“Hendaklah kamu menggenapkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (Surah Al-Baqarah, ayat 185).

Dan juga disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila keluar untuk melaksanakan shalat ‘Ied, maka beliau bertakbir hingga sampai ke Mushalla (tempat shalat), dan apabila shalat selesai dilaksanakan maka beliau juga menghentikan takbir.


Ini pada hari raya ‘Iedul Fitri.

Adapun untuk takbir pada hari raya ‘Iedul Fitri
Dalam Kitab Majmu’ Al-Fatawa, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata bahwa: “Pendapat yang benar tentang takbir, dan yang merupakan pendapat jumhur fuqaha dari kalangan Sahabat dan imam-imam, bahwa waktu bertakbir dimulai dari waktu fajar hari Arafah hingga akhir hari-hari Tasyriq, di setiap selesai shalat. Dan disyariatkan bagi setiap individu untuk mengeraskan takbir ketika keluar ke tempat shalat. Dan ini merupakan kesepakatan imam empat.”
Ini terkait dengan takbir muqyyad.

 

Tata cara takbir
Disebutkan beberapa riwayat dari sahabat terkait dengan tata cara takbir pada hari raya ‘Ied. Di antaranya:
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
اللهُ أكبر الله أكبر٬ لا إله الله والله أكبر٬ الله أكبر ولله الحمد.
“Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah. Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, dan segala puji bagi Allah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah).


Adapun takbir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
ألله أكبر الله أكبر ألله أكبر ولله الحمد, الله أكبر وأجل ألله أكبر على ماهدانا.
“Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, segala puji hanyalah milik Allah, Allah Mahabesar lagi Mahaagung, Allah Mahabesar atas petunjuknya kepada kita.” (Diriwayatka oleh Al-Bahaqiy).

Salman radhiyallahu ‘anhu berkata: “Bertakbirlah kalian dan ucapkanlah:”
ألله أكبر, ألله أكبر, ألله أكبر كبيرا.
“Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar dengan sebasar-besarnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy).

 

4. Makan Sebelum Shalat ‘Iedul Fitri dan Sesudah Shalat ‘Iedul Adha
Di antara sunnah shalat ‘Ied adalah makan sebelum berangkat shalat ‘Iedul Fitri dan makan setelah pulang dari shalat ‘Iedul Adha.
Hal ini berdasarkan hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّی اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّی يَأْكُلُ تَمَرَاتٍ.
Artinya:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari raya ‘Iedul Fitri hingga beliau makan beberapa buah kurma.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhariy, at-Tirmidziy).


Dan juga dalam hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
كَانَ النَّبِيُ صَلَّی اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّی يَطْعَمَ وَيَوْمَ النَّهْرِ لَايَأْكُلُ حَتَْی يَرْجِعَ فَيَأْكُلُ مِنْ نَسِيْكِتِهِ.
Artinya:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari raya ‘Iedul Fitri hingga beliau makan, dan pada hari raya ‘Iedul Adha, beliau tidak makan hingga pulang dari tempat shalat lalu beliau makan daging kurbannya.”(Diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidziy dan Ibnu Majah).

Dari dua keterangan di atas, maka jelaslah bahwa pada hari raya ‘Iedul Fitri dianjurkan untuk makan sebelum berangkat ke tempat shalat (Mushalla). Adapun pada hari raya ‘Iedul Adha, maka dianjurkan untuk mengakhirkan makan hingga pulang dari tempat shalat (Mushalla).

 

Adapun hikmahnya disebutkan oleh para ulama bahwa dianjurkan untuk makan sebelum berangkat ke tempat shalat pada hari raya ‘Iedul Firtri agar tidak ada lagi sangkaan bahwa hari itu masih hari puasa. Sementara pada hari raya ‘Iedul Adha, pada hari tersebut disyariatkan penyembelihan hewan kurban, sehingga seseorang kembali dari tempat shalat (Mushalla) dan bisa menikmati hewan kurbannya. Wallahu a’lam.
(Silahkan dibaca keterangan selengkapnya dalam Kitab Nailul Authar oleh Imam Asy-Syaukaniy, Zadul Ma’ad oleh Imam Ibnul Qayyim, Fathul Baariy oleh Imam Ibnu Hajar).

 

5. Mandi
Di antara sunnah ‘Ied adalah mandi sebelum berangkat ke Mushalla (tempat shalat).
Dari Nafi’ maula Ibnu Umar rahimahullah berkata:
أن ابن عمر كان يغتسل يوم الفطر قبل أن يغدو إلى المصلى.
“Sesungguhnya Ibnu Umar biasa mandi pada hari raya ‘Iedul Fitri sebelum berangkat ke tempat shalat.”(Diriwayatkan oleh al-Baghawiy dalam Syarhus Sunnah, Malik dalam al-Muwaththa).

 

Imam al-Baghawiy rahimahullah berkata: “Dan sunnah mandi pada hari raya ‘Ied, diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu:
أنه كان يغتسل يوم العيد.
“Bahwasanya beliau (Ali) mandi pada hari raya ‘Ied.” (Syarhus Sunnah, Juz III, hal. 79).

Diriwayatkan dari Sa’id bin Musayyab rahimahullah berkata: “Sunah dalam ‘Iedul Fitri ada tiga: 1). Berjalan kaki ke tempat shalat, 2). Makan sebelum berangkat, 3). Mandi.

Sebagaimana halnya pada hari Jum’at, kita disunnahkan untuk mandi, maka pada hari raya ‘Ied pun disunnahkan karena perkumpulan manusia lebih banyak dan untuk menghindari bau tidak sedap yang dapat mengganggu orang lain.

 

SIFAT (TATA CARA) SHALAT ‘IED

Shalat ‘Ied dua rakaat yang sempurna tanpa diqashar. Hal ini berdasarkan keterangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun tata caranya adalah sebagai berikut:
1. Dimulai dengan takbiratul ihram, sebagaimana shalat-shalat yang lain.

2. Kemudian bertakbir dengan tujuh kali takbir. Berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
التَّكْبِيْرُ فِي الْفِطْرِ وَالْأضْحَى فِي الأوْلَى سَبْعُ تَكْبِرَاتٍ, وَفِي الثَّانِيَةِ خَمْسُ تَكْبِيْرَاتٍ سِوَى تَكْبِيْرَتَيْ الرُّكُوْعِ.
Artinya:
“Takbir pada shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha pada rakaat pertama tujuh kali takbir, dan pada rakaat kedua lima kali takbir selain takbir rukuk.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud).
Tidak ada riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengangkat tangan di setiap takbir. Namun telah shahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa belaiu mengangkat kedua tangannya di setiap takbir. (Zaadul Ma’ad, Juz I, hal. 199).


Demikian juga bacaan yang dibaca di antara takbir-takbir tersebut, telah shahih dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu bahwa, yang dibaca di antara takbir tersebut adalah pujian dan sanjungan kepada Allah serta shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Zaadul Ma’ad, Juz I, hal. 199).

3. Kemudian disunnahkan membaca istiadzah pada rakaat pertama.

4. Kemudian membaca surah Al-Fatihah dan surah Qaf pada rakaat pertama, dan surah Al-Fathihah dan surah Al-Qamar pada rakaat kedua. Atau surah Al-Fatihah dan surah Al-A’la pada rakaat pertama dan surah Al-Ghasyiyah pada rakaat kedua.


Sebagaimana dalam hadits
أنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [فِي الْأضْحَى وَالْفِطْرِ], كَانَ يَقْرَأُ فِي الْأُولَى بِ: قٓ. وَالْقُرْآنِ الْمَجِيْدِ. وَفِي الثَّانِيَةِ: اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ.
Artinya:
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada Idul Adha dan Idul Fitri) membaca pada rakaat pertama Surah Qaf dan pada rakaat kedua Surah Al-Qama.” (Diriwayatkan oleh Muslim).
Dan dalam hadits yang lain:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ يَقْرَأُ فِي الْعِيْدَيْنِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأعْلَى) وَ (هَلْ أَتَٰكَ حَدِيْثُ الْغَاشِيَةِ)
Artinya:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Surah Al-A’la dan Al-Ghasyiah pada dua hari Raya.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah).

5. Kemudian melakukan gerakan dan bacaan seperti shalat-shalat yang lain.

6. Kemudian pada rakaat kedua, melakukan takbir lima kali.

7. Kemudian membaca surah Al-Fatihan dan surah Al-Qamar (lihat poin 4).

8. Kemudian melakukan gerakan dan bacaan sebagaimana shalat yang lain.

9. Kemudian ditutup dengan salam.

 

Wallahu a’lam

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *