Seorang doktor keluaran Amerika pernah memberikan sebuah ceramah di depan kaum muslimin dengan penuh semangat ia mengelu-elukan dan membanggakan kemajuan Amerika dan negara barat lainnya, yang notabenenya adalah kaum kafir yang ingkar kepada Islam.
Dia membanggakan kaum kafir, karena semata kemajuan dunianya. Sebaliknya, dengan nada dan pandangan sinis, ia merendahkan kaum muslimin karena kemunduran dan keterbelakangan dalam urusan dunia.
Ini adalah sebuah realitas ketertipuan sebagian kaum cendekiawan muslim terhadap kemajuan kaum kafir.
Dia tertipu karena melihat, merasakan dan terpukau dengan gemerlapnya kemajuan kaum kafir barat, tanpa melihat sudut pandang kedudukan mereka di sisi Allah –Azza wa Jalla– sebagai makhluk yang paling buruk.
Sementara itu, sang Doktor lupa bahwa kaum beriman adalah sebaik-baik makhluk di sisi Allah –tabaroka wa ta’ala-.
Allah –Subhanahu wa Ta’ala– berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ (6) إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ (7) [البينة : 6 ، 7]
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk”. (QS. Al-Bayyinah : 6-7)
Imam Ahli Tafsir, Abu Ja’far Ath-Thobariy –rahimahullah– berkata saat membahasakan dan menafsirkan ayat ini,
يقول تعالى ذكره: إن الذين كفروا بالله ورسوله محمد صلى الله عليه وسلم، فجحدوا نبوّته، من اليهود والنصارى والمشركين جميعهم ( فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ) يقول: ماكثين لابثين فيها (أَبَدًا) لا يخرجون منها، ولا يموتون فيها( أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ).” تفسير الطبري – (24 / 542)
“Allah –ta’ala dzikruh- berkata, “Sesungguhnya orang-orang kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-, lalu mereka pun mengingkari kenabian beliau dari kalangan kaum Yahudi dan Nasrani serta seluruh kaum musyrikin.
Mereka ini di neraka Jahannam dalam keadaan kekal selama-lamanya. Mereka tak akan keluar darinya dan tidak akan mati di dalamnya. Mereka ini adalah seburuk-buruk makhluk”. [Lihat Jami’ Al-Bayan (24/542) oleh Ath-Thobariy, dengan tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, cet. Mu’assasah Ar-Risalah, 1420 H]
Kaum kafir memang diberikan banyak kenikmatan oleh Allah –azza wa jalla- di dunia ini, agar mereka semakin lalai dan ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya.
Namun banyaknya kenikmatan dan harta benda yang diperoleh oleh kaum kafir, jangan menjadi sebab kita bangga dan tertipu dengan gaya hidup dan agama mereka.
Dunia mereka memang hebat dan serba canggih, namun akhirat mereka hancur berantakan.
Kemajuan mereka dalam hal dunia janganlah menyedihkan kita, apalagi sampai tertipu dengannya sehingga kita pun membanggakan dan mencintai mereka atau menjadikannnya sahabat dan orang kepercayaan.
Allah –Ta’ala– berfirman mengingatkan kita,
لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ (196) مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ (197) [آل عمران : 196 – 198]
“Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya”. (QS. Ali Imraan : 196-197)
Ahli Tafsir Jazirah Arab, Al-Imam Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diy –rahimahullah– berkata,
“وهذه الآية المقصود منها التسلية عما يحصل للذين كفروا من متاع الدنيا، وتنعمهم فيها، وتقلبهم في البلاد بأنواع التجارات والمكاسب واللذات، وأنواع العز، والغلبة في بعض الأوقات، فإن هذا كله { متاع قليل } ليس له ثبوت ولا بقاء، بل يتمتعون به قليلا ويعذبون عليه طويلا.” اهـ من تيسير الكريم الرحمن للسعدي – (1 / 162)
“Ayat ini maksudnya adalah hiburan (bagi kaum beriman) karena adanya sesuatu yang diraih oleh kaum kafir berupa harta benda dunia dan bersenang-senangnya mereka di dunia serta bebasnya mereka bergerak di negeri-negeri dengan berbagai macam bentuk perdagangan, usaha, kejayaan dan kemenangan pada sebagian kesempatan. Karena, semua itu hanyalah kesenangan sementara yang tak memiliki kestabilan dan keabadian. Mereka hanya bersenang-senang dengannya dalam waktu sementara dan kelak akan disiksa dalam waktu yang panjang”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 162) oleh As-Sa’diy, dengan tahqiq Abdur Rahman Al-Luwaihiq, cet. Mu’assasah Ar-Risalah, 1420 H]
Kenikmatan duniawi yang diraih oleh kaum kafir dan musyrikin, bukanlah ukuran yang menunjukkan bahwa mereka adalah manusia terbaik di sisi Allah, bahkan mereka buruk di sisi Allah disebabkan kekafiran mereka kepada Islam, risalah agung para nabi dan rasul yang ditutup oleh Nabi kita Muhammad –Shallallahu alaihi wa sallam-.
Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,
إِذَا رَأَيْتَ اللهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ، فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ
“Bila engkau melihat Allah memberikan kepada seorang hamba sesuatu yang ia cintai berupa dunia atas perbuatan-perbuatan maksiatnya, maka itu adalah istidroj (tipuan) belaka (baginya)”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/145). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam dalam Shohih Al-Jami’ (561)]
Dunia yang didapatkan oleh orang-orang kafir bukanlah nikmat pada hakikatnya, bahkan ia terkadang menjadi tipuan agar terus lalai dan menjadi sebab datangnya azab bagi mereka, sebagaimana yang dialami umat-umat kafir terdahulu.
Dunia dibukakan bagi mereka, sehingga mereka memperoleh apa saja mereka inginkan, sebab mereka dalam memperolehnya menempuh segala macam cara, tanpa memperhatikan halal dan haramnya.
Bahkan kebanyakan harta benda mereka diperoleh dengan cara yang haram. Tentunya perolehan harta benda seperti ini adalah pelanggaran dan maksiat yang mendatangkan murka dan siksa Allah. Inilah yang menyebabkan tercabutnya berkah dari usaha dan harta benda mereka.
Mereka dalam memperoleh harta benda tidak memperhatikan syariat Allah, yang berisi batasan dan aturan-aturan dalam berusaha dan bermuamalah.
Tapi demikianlah kaum kafir terus tenggelam kelalaian dari mengingat Allah -Tabaroka wa Ta’ala- dan hari perjumpaan dengan-Nya.
Allah –Azza wa Jalla– berfirman,
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ [الأنعام : 44]
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong. Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”. (QS. Al-An’aam : 44)
Dunia bukanlah segalanya bagi seorang mukmin. Dia hanya mengambil dunia sekedar bekal yang mengantarkan dirinya kepada Allah.
Seorang mukmin tak dilalaikan oleh dunia beserta perhiasannya. Segala sesuatu yang ia dapatkan berupa harta benda digunakan kepentingan Islam dan akhiratnya.
Dia tak diperhambakan oleh rupiah dan dolar, sehingga ia pun memperhatikan dari mana datangnya harta yang ia dapatkan. Jika halal, maka ia ambil dengan cara yang baik dan ia gunakan dalam kebaikan.
Harta dunia bukanlah menjadi kebanggaan yang menipu dirinya. Sebab ia sadar bahwa dunia hanya sementara.
Begitulah seorang mukmin, ia tidak memburu dunia dengan segala nafasnya. Apa yang ia dapatkan berupa rezeki halal yang telah ditetapkan baginya, maka ia syukuri.
Bila ia tak diberi rezeki setelah berusaha mendapatkannya, maka ia bersabar, bersyukur, dan tidak melampaui batas dalam mengusahakannya.
Beda halnya dengan kaum kafir!! Mereka memperolehnya tanpa memperhatikan batasan Allah.
Ketika mendapatkannya, maka si kafir tak bersyukur dalam menggunakannya, bahkan ia gunakan dalam kekafiran dan kemaksiatannya atau dalam perkara sia-sia, tanpa manfaat.
Sekali lagi, dunia bukanlah segalanya menjadi barometer bagi mulia dan majunya seseorang di sisi Allah, baik di dunia, maupun di akhirat. Bahkan seringkali dunia melalaikan dan membinasakan seseorang dan menghancurkan agamanya.
Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,
فَوَاللهِ لاَ الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوْهَا كَمَا تَنَافَسُوْهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas diri kalian. Tapi aku khawatirkan kalau dibukakan dunia bagi kalian sebagaimana telah dibukakan bagi orang-orang (kafir) sebelum kalian, lalu kalian pun berlomba-lomba meraihnya sebagaimana mereka berlomba-lomba meraihnya; (aku juga khawatirkan) kalau dunia itu akan membinasakan kalian sebagaimana dunia telah membinasakan mereka”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3158, 4015 & 6425), dan Muslim dalam Shohih-nya (2961)]
Al-Imam Badruddin Al-‘Ainiy Al-Hanafiy –rahimahullah– berkata,
“وَفِيه: أَن المنافسة فِي الدُّنْيَا قد تجر إِلَى هَلَاك الدّين.” اهـ من عمدة القاري شرح صحيح البخاري – (15 / 81)
“Di dalamnya terdapat (keterangan) bahwa berlomba-lomba dalam dunia terkadang menyeret kepada kehancuran agama.” [Lihat Umdah Al-Qori (15/81)]
Kemajuan kaum kafir dari kalangan Ahlul Kitab dan kaum musyrikin, bukan hanya terjadi di zaman ini, bahkan jauh hari di zaman Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dan para sahabat.
Di zaman kenabian, kemajuan peradaban dan dunia Kerajaan Bizantium dan Persia telah diakui.
Namun semua itu tidaklah menyilaukan mata Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabat yang bersama beliau.
Karenanya, hari inipun tak perlu kita silau dengan kemajuan barat dalam hal dunia. Kita harus gembira dan bersyukur dengan keislaman kita, walaupun dunia yang kita dapatkan jauh di bawah kaum kafir!!!
Allah -Ta’ala- berfirman,
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (139) إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ (140) [آل عمران : 139 ، 140]
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kalianlah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim”. (QS. Ali Imraan : 139-140)
Al-Imam Jamaluddin Al-Qosimiy –rahimahullah– berkata,
“والحال أنكم الأعلون الغالبون دون عدوكم، فإن مصير أمرهم إلى الدمار حسبما شاهدتم من عاقبة أسلافهم.” اهـ من تفسير القاسمي = محاسن التأويل – (2 / 416)
“Keadaan (yang ada) bahwa kalian adalah yang lebih tinggi dan menang di depan musuh kalian. Karena, kesudahan mereka menuju kepada kehancuran sebagaimana yang kalian saksikan berupa akibat dan kesudahan para pendahulu mereka.” [Lihat Mahasin At-Ta’wil (2/416)]
Jadi, ketinggian dan kemuliaan itu adalah milik Allah -Tabaroka wa Ta’ala- yang Dia anugerahkan kepada kaum beriman, berkat keimanan dan amal sholih mereka, sebagai cerminan ketaqwaan mereka kepada Allah.