oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah hafizhahullah [Pembina Ponpes Al-Ihsan Gowa]
Bila pikiran anda melancong, dan menerawang ke dunia penyembahan dan peribadahan umat manusia, maka anda akan menemukan banyak keanehan.
Disana anda akan melihat semua penganut agama selain Islam; tak ada diantara mereka, kecuali memperhambakan diri dan menyembah makhluk!
Pemeluk Buddha menyembah Sidarta Gautama. Penganut Hindu menyembah Brahma, Siwa, Krisna, dan lainnya. Konghuchu menyembah pendirinya. Yahudi Menyembah Uzair, manusia yang disangka oleh mereka sebagai anak Allah. Nasrani (Kristen) menyembah Nabi Isa –shallallahu alaihi wa sallam-, dan para pendeta atau orang-orang sholih diantara mereka.
Pemeluk agama Shinto menyembah Dewa Matahari. Kaum paganisme lainnya (seperti kafir Quraisy dan lainnya) menyembah arca-arca, rumah, pepohonan, bebatuan, dan orang sholih.
Masih banyak lagi agama-agama lain yang menyembah makhluk, seperti ada yang menyembah keris, malaikat, jin, setan, Nyi Roro Kidul, Wali Songo, Syaikh Yusuf, dan lainnya diantara manusia yang dikultuskan oleh orang-orang jahil.
Pendek kata, tak ada agama di dunia ini, kecuali ia menyembah makhluk dengan berbagai macam dan warnanya!
Adapun Islam yang dahulu dibawa oleh Nabi –Shollallahu alaihi wa sallam– dan terwariskan sampai hari ini, maka Islam mengajarkan umatnya agar mereka hanya menyembah Allah –Ta’ala-, Penguasa langit dan bumi.
Allah –Tabaroka wa Ta’ala– berfirman,
{أَيُشْرِكُونَ مَا لَا يَخْلُقُ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ (191) وَلَا يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًا وَلَا أَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ } [الأعراف: 191-192]
“Apakah mereka mempersekutukan (Allah) dengan sesuatu (sembahan) yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan sembahan-sembahan itu sendiri diciptakan (oleh Allah). Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan”. (QS. Al-A’raaf : 191-192)
Al-Hafizh Ibnu Katsir –rahimahullah– berkata,
“هَذَا إِنْكَارٌ مِنَ اللَّهِ عَلَى الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ عَبَدُوا مَعَ اللَّهِ غَيْرَهُ، مِنَ الْأَنْدَادِ وَالْأَصْنَامِ وَالْأَوْثَانِ، وَهِيَ مَخْلُوقَةٌ لِلَّهِ مَرْبُوبَةٌ مَصْنُوعَةٌ، لَا تَمْلِكُ شَيْئًا مِنَ الْأَمْرِ، وَلَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ، وَلَا تَنْصُرُ وَلَا تَنْتَصِرُ لِعَابِدِيهَا، بَلْ هِيَ جَمَادٌ لَا تَتَحَرَّكُ وَلَا تَسْمَعُ وَلَا تُبْصِرُ، وَعَابِدُوهَا أَكَمُلُ مِنْهَا بِسَمْعِهِمْ وَبَصَرِهِمْ وَبَطْشِهِم.” اهـ من تفسير ابن كثير ت سلامة (3/ 529)
“Ini merupakan pengingkaran dari Allah kepada kaum musyrikin yang menyembah selain Allah bersama-Nya berupa tandingan-tandingan, arca-arca, dan berhala-berhala.Padahal semua itu adalah makhluk ciptaan Allah, yang dikuasai dan diciptakan (oleh Allah). Sesembahan itu tidak memiliki kekuasaan untuk (menentukan) suatu urusan, tak mampu memberi bahaya, dan manfaat. Sesembahan itu tak akan tertolong, dan tak akan menolong para penyembahnya. Bahkan sesembahan itu merupakan benda mati yang tak dapat bergerak; tak dapat mendengar dan melihat. Padahal para penyembahnya lebih sempurna dibandingkan sesembahan itu sendiri dengan adanya pendengaran, penglihatan, dan hukuman mereka”. [Lihat Tafsir Ibn Katsir (3/529)]
Penyembahan kepada makhluk merupakan kebatilan terbesar dan pelanggaran terhebat terhadap hak Allah –Azza wa Jalla-.
Mestinya seluruh makhluk menyembah Allah -Tabaroka wa Ta’ala-. Tapi malah ada sebagian besar umat manusia yang memperhambakan dan menghinakan diri kepada makhluk yang lemah seperti dirinya, bahkan boleh jadi lebih lemah dibandingkan diri penyembahnya!!
Seseorang jika ingin berpikir dan mempelajari sifat-sifat kekurangan yang ada pada sesembahan kaum kafir dan musyrikin, maka ia pasti akan menyatakan kebatilan agama kekafiran mereka.
Bukankah sesembahan mereka, baik berupa makhluk hidup atau pun benda mati; semuanya tak berdaya menolong para penyembahnya.
Sesembahan itu tak dapat mendengar dan melihat para penyembahnya.
Anggaplah bahwa sesembahan mereka dapat melihat dan mendengar para penyembahnya saat mengajukan dan memohon segala hajatnya.
Namun ketahuilah bahwa sesembahan batil itu tak dapat mengabulkan doa dan permohonan mereka. Yang mengabulkan doa dan memberi pertolongan bagi para hamba, hanyalah Allah ‘Pemilik dan Penguasa alam semesta’!
Allah –Ta’ala– berfirman,
{وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ (13) إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ (14)} [فاطر: 13، 14]
“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari biji korma. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui (Allah)”. (QS. Faathir: 13-14)
Syaikh Sholih bin Abdillah Al-Fauzan –hafizhahullah– berkata dalam Syarh Kitab At-Tauhid,
“يُشترط في المدعُو ثلاثة شروط:
الأول: أن يكون مالكاً لما يطلب منه.
الثاني: أن يكون يسمع الداعي.
الثالث: أن يكون يقدر على الإجابة.
وهذه الأمور لا تتّفق إلاّ في الله سبحانه وتعالى، فإنه المالك، السميع، القادر على الإجابة،
أما هذه المعبودات فهي أولاً : فقيرة، ليس لها ملك. ثانياً: لا تسمع من ودعاها. وثالثاً: لو سمعت فإنها لا تقدر على الإجابة.” اهـ من إعانة المستفيد بشرح كتاب التوحيد (1/ 207)
“Dipersyaratkan tiga syarat pada sesuatu yang diseru (disembah). Pertama: Sesembahan itu memiliki sesuatu yang diminta darinya. Kedua: Sesembahan itu mendengarkan si pemohon. Ketiga: Sesembahan itu mampu mengabulkan permohonan. Semua perkara ini tak ada yang cocok (pas), kecuali Allah -subhanahu wa ta’ala- . Karena Dia-lah Pemilik segala sesuatu, Maha Mendengar, dan Maha Kuasa untuk mengabulkan permohonan. Adapun sembahan-sembahan ini, maka pertama ia faqir, kedua: ia tak mampu mendengarkan orang yang menyerunya. Ketiga: Andaikan ia mampu mendengar, maka sesungguhnya ia tak mampu mengabulkan permohonan”. [Lihat I’anatul Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid (1/207), karya Syaikh Sholih bin Abdillah bin Fauzan Al-Fauzan, cet. Mu’assasah Ar-Risalah, 1423 H]
Kesempurnaan sifat, kekuasaan serta keagungan Allah, lalu lemahnya kondisi para makhluk merupakan argumen dan hujjah yang terkuat bahwa tak ada diantara makhluk yang berhak dan layak diibadahi dan diseru, serta dimintai pertolongan. Hanya Allah saja yang berhak disembah dan dimintai oleh jin, manusia, dan semua makhluk.
Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diy –rahimahullah– berkata,
“فالمتفرد بالخلق والتدبير، والمتوحد في الكمال المطلق من جميع الوجوه هو الذي لا يستحق العبادة سواه.
وكذلك من براهين التوحيد معرفة أوصاف المخلوقين ومن عبد مع الله، فإن جميع ما يعبد من دون الله من ملك وبشر ومن شجر وحجر وغيرها كلهم فقراء إلى الله، عاجزون ليس بيدهم من النفع مثقال ذرة، ولا يخلقون شيئا وهم___يخلقون، ولا يملكون ضرا ولا نفعا ولا موتا ولا حياة ولا نشورا، والله تعالى هو الخالق لكل مخلوق وهو الرازق لكل مرزوق، المدبر للأمور كلها، الضار النافع، المعطي المانع، الذي بيده ملكوت كل شيء، وإليه يرجع كل شيء، وله يقصد ويصمد ويخضع كل شيء.
فأي برهان أعظم من هذا البرهان الذي أعاده الله وأبداه في مواضع كثيرة من كتابه وعلى لسان رسوله، فهو دليل عقلي فطري كما أنه دليل سمعي نقلي على وجوب توحيد الله وأنه الحق، وعلى بطلان الشرك.
وإذا كان أشرف الخلق على الإطلاق لا يملك نفع أقرب الخلق إليه وأمسهم به رحما فكيف بغيره؟ فتبا لمن أشرك بالله وساوى به أحدا من المخلوقين، لقد سلب عقله بعدما سلب دينه.
فنعوت الباري تعالى وصفات عظمته وتوحده في الكمال المطلق أكبر برهان على أنه لا يستحق العبادة إلا هو. وكذلك صفات المخلوقات كلها، وما هي عليه من النقص والحاجة والفقر إلى ربها في كل شئونها، وأنه ليس لها من الكمال، إلا ما أعطاها ربها من أعظم البراهين على بطلان إلهية شيء منها.
فمن عرف الله وعرف الخلق اضطرته هذه المعرفة إلى عبادة الله وحده، وإخلاص الدين له والثناء عليه، وحمده وشكره بلسانه وقلبه وأركانه، وانصرف تعلقه بالمخلوقين خوفا ورجاء وطمعا، والله أعلم.” اهـ من القول السديد شرح كتاب التوحيد ط النفائس (ص: 64_65)
“Sifat-sifat Allah Sang Maha Pencipta -Ta’ala-, sifat-sifat keagungan-Nya, dan tunggalnya Allah dalam kesempurnaan muthlaq merupakan bukti terbesar bahwa tak ada yang berhak diibadahi, selain Dia (Allah). Demikian pula sifat-sifat makhluk seluruhnya, dan sesuatu yang ada padanya berupa kekurangan, hajat, dan kebutuhan mereka kepada Penciptanya dalam seluruh urusannya, dan bahwa makhluk-makhluk itu tak memiliki kesempurnaan, kecuali sesuatu yang Penciptanya (Allah) berikan kepadanya. Semua ini merupakan bukti terbesar tentang kebatilan penyembahan sesuatu diantara makhluk-makhluk itu. Barangsiapa yang mengenal Allah, dan menggenal makhluk-Nya, maka pengenalan ini akan mendorong dirinya untuk menyembah Allah saja, memurnikan ketaatan kepada-Nya, memuji dan bersyukur kepada-Nya dengan lisan, hati, dan anggota badannya, serta akan sirna ketergantungannya kepada makhluk, karena takut, mengharap, dan menginginkan (sesuatu pada Allah), Wallahu A’lam”. [Lihat Al-Qoul As-Sadid (hlm. 64-65), karya As-Sa’diy, cet. Majmu’ah At-Tuhaf An-Nafa’is Ad-Dauliyyah, dengan tahqiq Al-Murtadho Az-Zain Ahmad]
Di Tangan Allah-lah segala urusan makhluk. Dia yang mengatur rejeki, ajal, jodoh, kehidupan para hambanya.
Oleh karenanya, minta dan mohonlah hajat dan segala keperluanmu kepada Allah –Azza wa Jalla-.
Apa saja yang dibutuhkan oleh makhluk, berupa hidayah, keselamatan, perlindungan dan kebaikan di dunia atau di akhirat, maka janganlah meminta semua itu kepada makhluk, walaupun makhluk itu adalah makhluk yang paling mulia di sisi Allah -Ta’ala-.
Mintalah kepada Allah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Dia-lah Yang memiliki dan mengatur alam semesta ini beserta hajat, ajal, rezeki mereka, serta hal-hal lainnya yang terkait dengan dunia dan akhirat mereka.
Yang menentukan bahagia tidaknya seorang hamba adalah Allah. Persoalan seorang hamba mendapatkan hidayah ataukah tidak mendapatkan hidayah, maka urusannya kembali kepada Allah, bukan kepada makhluk!
Lantaran itu, mintalah hidayah kepada Allah agar hatimu ditegarkan di atas petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah. Itulah jalan lurus yang selalu kita minta kepada Allah setiap kali kita membaca Suroh Al-Fatihah dalam sholat.
Allah –tabaroka wa ta’ala- berfirman,
{لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (128)} [آل عمران: 128]
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu. (Bersabarlah) sampai Allah menerima taubat mereka, atau menyiksa mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (QS. Ali Imraan : 128)
Disebutkan dalam hadits-hadits tentang sebab turunnya ayat ini bahwa Nabi Muhammad –shallallahu alaihi wa sallam– berdoa kepada Allah agar membinasakan sebagian pemuka-pemuka musyrikin, serta beberapa kabilah setelah perang Uhud dan peristiwa Sumur Ma’unah.
[Lihat Al-Istii’aab fi Bayan Al-Asbaab (1/290-292) karya Salim Al-Hilaliy & Muhammad bin Musa Alu Nashr, cet. Dar Ibn Al-Jauziy, 1425 H]
Lalu turunlah ayat ini sebagai teguran bagi Nabi –Shollallahu alaihi wa sallam– sebagaimana dalam sebuah hadits dari Anas –radhiyallahu anhu– berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَشُجَّ فِي رَأْسِهِ فَجَعَلَ يَسْلُتُ الدَّمَ عَنْهُ وَيَقُولُ كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ :
(لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ)
“Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- gigi serinya patah pada waktu perang Uhud, dan terluka kepalanya. Kemudian mulailah beliau mengusap darah dari kepalanya seraya bersabda, “Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melukai nabinya, dan mereka mematahkan gigi serinya. Padahal nabi itu mengajak mereka kepada (agama) Allah. Kemudian Allah -Azza wa Jalla- menurunkan ayat (kemudian beliau menyebutkan ayat di atas)”.[HR. Muslim dalam Kitab Al-Jihad (no. 4621)]
Dari Abdullah bin Umar –radhiyallahu anhuma-,
أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ مِنْ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِنْ الْفَجْرِ يَقُولُ اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا وَفُلَانًا بَعْدَ مَا يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ:
({لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُون} [آل عمران: 128])
“Bahwa ia pernah mendengar Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam-; apabila beliau mengangkat kepalanya dari raka’at terakhir pada sholat Shubuh, maka beliau berdoa, “Ya Allah, Laknatlah fulan, fulan, dan fulan”, setelah beliau mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah, rabbana wa lakal hamdu”. Lalu Allah menurunkan ayat, (lalu Anas menyebutkan ayat di atas)”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Al-Maghozi (no. 4069)]
Urusan makhluk, seperti memberikan hidayah kepada makhluk; semuanya kembali kepada Allah –azza wa jalla-.
Nabi –Shollallahu alaihi wa sallam– saja tak mampu memberikan hidayah (taufiq) kepada mereka. Beliau hanya mampu memberikan bimbingan berupa ilmu kepada mereka. Adapun hidayah taufiq, maka itu hanyalah di Tangan Allah –tabaroka wa ta’ala-.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin –rahimahullah– berkata usai menjelaskan hal ini,
“فإذا كان الأمر كذلك؟ فما بالك بمن سواه؟ فليس لهم من الأمر شيء” كالأصنام، والأوثان، والأولياء، والأنبياء، فالأمر كله لله وحده”. اهـ من القول المفيد على كتاب التوحيد (1/ 290)
“Jika permasalahannya demikian, maka bagaimanakah pandangan kalian tentang selain beliau (Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam-)? Maka tak ada campur tangan dalam urusan makhluk bagi siapa saja, seperti arca-arca, berhala-berhala, para wali, dan para nabi. Urusan makhluk semuanya kembali kepada Allah saja“. [Lihat Al-Qoul Al-Mufid (1/290) karya Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, cet. Dar Ibnil Jauziy, 1424 H]
Jadi, Nabi –Shollallahu alaihi wa sallam– tak punya campur tangan dalam urusan makhluk, seperti memberi hidayah, menyelamatkan manusia dari siksa neraka, atau memasukkan mereka ke dalam surga.
Semua ini adalah urusan Allah!
Oleh karenanya, Nabi –Shollallahu alaihi wa sallam– pernah mendakwahi kerabatnya dan mengabarkan kepada mereka bahwa beliau tak mampu menolong dan menyelamatkan mereka di hari kiamat, jika mereka berbuat syirik.
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu anhu– berkata,
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ _صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ_ حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ _عَزَّ وَجَلَّ_ :
({وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ } [الشعراء: 214])،
قَالَ: يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ -أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا- اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا, يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا, يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا, وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا, وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي, لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا
“Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bangkit ketika Allah -Azza wa Jalla- menurunkan ayat (yang artinya),
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”. (QS. Asy-Syu’araa : 214),
seraya beliau bersabda,
“Wahai orang-orang Quraisy –atau kalimat semisal itu–, belilah (bebaskanlah) diri kalian dari (siksa) Allah. Aku tak mampu memberikan manfaat (pertolongan) bagi kalian dari (siksa) Allah sedikitpun. Wahai Bani Abdi Manaf, aku tak mampu memberikan manfaat (pertolongan) bagi kalian dari (siksa) Allah sedikitpun. Wahai Abbas bin Abdil Muththolib, aku tak mampu memberikan manfaat (pertolongan) bagimu dari (siksa) Allah sedikitpun. Wahai Shofiyyah, Bibi Rasulullah, aku tak mampu memberikan manfaat (pertolongan) bagi kalian dari (siksa) Allah sedikitpun. Wahai Fathimah Puteri Muhammad, mintalah kepadaku sesuatu berupa hartaku, aku tak mampu memberikan manfaat (pertolongan) bagi kalian dari (siksa) Allah sedikitpun”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Al-Washoyaa (no. 2753), dan Muslim dalam Al-Iman (no. 503)]
Nabi –Shollallahu alaihi wa sallam– menjelaskan kepada umatnya bahwa tak ada yang menyelamatkan mereka dari siksa neraka, dan tak ada yang memasukkan mereka ke dalam surga, kecuali Allah, sebagai rahmat dari-Nya. [Lihat Taisir Al-Aziz Al-Hamid (hal. 207)]
Dari sini, tampaklah kebatilan para penipu yang menjanjikan kepada manusia keselamatan dari siksa neraka dan kesempatan masuk surga. Si penipu itu berkata kepada pengikutnya, “Jamin duniaku, niscaya aku jamin akhiratmu.”
Jelas pernyataan ini keliru. Nabi –Shollallahu alaihi wa sallam– tidak mampu menyelamatkan keluarganya dari api neraka atau memasukkan mereka ke dalam surga. Nah, apalagi si penipu ini! Jelas ia lebih tidak mampu melakukan semua itu!!
Hadits ini juga membantah Ja’far Al-Barzanji saat ia berkata dalam Qoshidah-nya (pada Du’a Al-Qiyam),
يَا بَشِيْرُ يَا نَذِيْرُ *** أَغِثْنِيْ وَأَجِرْنِيْ
“Wahai Pemberi kabar gembira dan ancaman (yakni, Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam-), tolonglah aku di kala susah, dan lindungilah aku”
Berdoa dan meminta pertolongan di kala susah kepada Nabi –Shollallahu alaihi wa sallam– dalam perkara yang tidak mampu beliau lakukan, atau meminta perlindungan dari marabahaya kepada Nabi –Shollallahu alaihi wa sallam– merupakan syirik akbar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam dan di akhirat kelak ia akan kekal dalam neraka.