Di zaman ini manusia sering keliru dalam menempatkan rasa takutnya.
Kadang ia takut kepada sesuatu yang tak mesti ditakuti. Sebaliknya, kadang tak takut kepada sesuatu yang harusnya ditakuti.
Mungkin anda pernah melihat ada orang yang datang ke kubur orang-orang dianggap “wali” untuk ber-nadzar bahwa bila ia selamat atau sembuh, maka ia datang ke kubur itu kedua kalinya untuk menyembelih sapi, kambing dan lainnya.
Dia amat takut melanggar nadzar dan janjinya tersebut, dengan alasan takut kualat bila ia tak memenuhinya. Takut bila si penghuni kubur marah kepadanya!!
Inilah takut ibadah, yakni ibadah kepada selain Allah. Takut semacam ini merupakan kesyirikan.
Takut seperti inilah yang sering dihembuskan oleh para jin kepada para penyembah dan pengagungnya.
Dahulu orang-orang Arab Jahiliah ketika melewati suatu tempat menyeramkan –menurut mereka-, maka mereka pun berlindung dan berdoa kepada jin yang diyakini oleh mereka sebagai penguasa tempat itu.
Semua itu mereka lakukan, karena alasan takut kepada jin sehingga menyeret mereka ke dalam penyembahan jin dengan adanya doa dan sembelihan untuk para jin.
Inilah yang pernah dikisahkan oleh Allah dalam firman-Nya,
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا [الجن/6]
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan”. (QS. Al-Jin : 6)
Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy –rahimahullah– berkata,
“يَعُوذُونَ بِعَظِيمِ ذَلِكَ الْمَكَانِ مِنَ الْجَانِّ، أَنْ يُصِيبَهُمْ بِشَيْءٍ يَسُوؤُهُمْ كَمَا كَانَ أَحَدُهُمْ يَدْخُلُ بِلَادَ أَعْدَائِهِ فِي جِوَارِ رَجُلٍ كَبِيرٍ وَذِمَامِهِ وَخَفَارَتِهِ، فَلَمَّا رَأَتِ الْجِنُّ أَنَّ الْإِنْسَ يَعُوذُونَ بِهِمْ مِنْ خَوْفِهِمْ مِنْهُمْ، {فَزَادُوهُمْ رَهَقًا} أَيْ: خَوْفًا وَإِرْهَابًا وَذُعْرًا، حَتَّى تَبْقَوْا أَشَدَّ مِنْهُمْ مَخَافَةً وَأَكْثَرَ تَعَوُّذًا بِهِمْ، كَمَا قَالَ قَتَادَةُ: {فَزَادُوهُمْ رَهَقًا} أَيْ: إِثْمًا، وَازْدَادَتِ الْجِنُّ عَلَيْهِمْ بِذَلِكَ جَرَاءَةً.” اهـ من تفسير ابن كثير، ت سامي سلامة (8/ 239)
“Mereka (Arab Jahiliah) memohon perlindungan kepada penguasa tempat itu dari kalangan jin agar para jin tidak menimpakan kepada mereka sesuatu yang menyakiti mereka sebagaimana halnya mereka (bangsa Arab Jahiliah) bila seorang diantara mereka memasuki negeri musuh-musuh mereka, maka ia berada dalam perlindungan (suaka politik) dari seorang pembesar (penguasa negeri itu). Tatkala para jin melihat manusia memohon perlindungan kepada mereka karena takutnya, maka para jin pun menambahi perasaan takut dan gentar manusia, sehingga mereka selalu takut kepada para jin dan senantiasa memohon perlindungan kepada mereka”. [Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (8/239) karya Ibnu Katsir, dengan tahqiq Saami Salamah, cet. Dar Thoybah, 1420 H]
Dengan takut ini membuat mereka semakin berdosa, karena takut itulah yang membuat mereka melakukan banyak pelanggaran, seperti berdoa kepada jin, mempersembahkan sesajen kepada mereka dan lainnya.
Para pembaca yang budiman, mungkin juga anda pernah melihat orang yang takut kepada binatang buas atau api dan penjahat ataukah penguasa yang zhalim, sehingga lari darinya.
Takut seperti ini disebut dengan takut tabiat. Takut yang merupakan kewajaran dan memang ada pada setiap manusia.
Oleh karena itu, Allah tidak mencela Nabi Musa -Shallallahu alaihi wa sallam- saat beliau melarikan diri dari kejaran Fir’aun.
Allah -Ta’ala- berfirman,
فَأَصْبَحَ فِي الْمَدِينَةِ خَائِفًا يَتَرَقَّبُ فَإِذَا الَّذِي اسْتَنْصَرَهُ بِالْأَمْسِ يَسْتَصْرِخُهُ قَالَ لَهُ مُوسَى إِنَّكَ لَغَوِيٌّ مُبِينٌ [القصص/18]
“Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya). Maka tiba-tiba orang yang meminta pertolongan kemarin berteriak meminta pertolongan kepadanya. Musa Berkata kepadanya: “Sesungguhnya kamu benar-benar orang sesat yang nyata (kesesatannya)”. (QS. Al-Qhoshosh : 18)
Takut ini tak terlarang, kecuali jika seseorang takut dengan alasan yang tidak masuk akal, misalnya takut kepada ular, karena meyakini punya kekuatan gaib.
Contoh lain, takut kepada makhluk halus atau mayat, sehingga ia takut melewati pekuburan, dengan alasan takut bila diganggu oleh si mayat atau makhluk halus yang menyeramkan.
Ini bukan lagi takut tabiat yang dibolehkan, bahkan berubah menjadi takut sirr (tersembunyi) yang tidak diketahui sebabnya secara jelas.
Sebab ia takut hanya karena alasan yang tak masuk akal dan timbul dari imajinasi saja.
Takut seperti ini kadang timbul dalam hati sebagian orang karena terpengaruh dengan film-film horor yang menyeramkan, semisal Zombie, Gondoruwo, Sundel Bolong, Kuntilanak, Mak Lampir, Ghost Buster, dan lainnya.
Mungkin juga karena mendengarkan sandiwara horor, atau cerita rakyat yang tidak memiliki asal-usul yang jelas. Akibatnya timbul rasa takut kepada jin, mayat, tempat gelap, rumah kosong, kuburan dan lainnya.
Realita seperti ini kadang mengundang tawa dan senyum dengan penuh keheranan, saat kita melihat ada orang yang takut pulang ke rumahnya yang bertetangga dengan kubur, takut bermalam di rumah kematian, takut masuk ke rumahnya sendiri saat ia sendiri, takut berjalan sendiri di tengah kegelapan malam.
Bulu kuduk dan bulu romanya terasa berdiri tegak saat ia melewati rumah atau pohon yang ia anggap keramat dan menyeramkan.
Semua ini muncul dari imajinasi yang bersumber dari keyakinan yang salah tentang hal-hal tersebut. Inilah takut sembarangan!!
Di sudut lain, ada orang tidak takut kecuali kepada Allah -Azza wa Jalla-. Takut ini adalah terpuji di sisi Allah. Takutnya adalah takut yang baik, sebab rasa takutnya membuat ia semakin terdorong dan bersemangat dalam ketaatan.
Karena, ia sadar bahwa menghadapi hari hisab butuh bekal berupa amal sholih. Bila ia tak berbekal dengannya, maka ia akan disiksa oleh Allah.
Dengan takutnya ia banyak mempersiapkan bekal amal sholihnya. Takut ini juga membuat dirinya jauh dari maksiat dan segala macam bentuk kedurhakaan.
Sebab, ia paham bahwa gara-gara maksiat dan dosa, ia akan binasa di dunia dan akhirat dengan mendapatkan balasan berat yang setimpal dengan dosa dan maksiatnya saat ia berada di dunia.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman dalam memuji orang-orang yang takut kepada-Nya,
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ [التوبة/18]
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. At-Taubah : 18)
Mufassir Jazirah Arab, Syaikh Ibnu Nashir As-Sa’diy –rahimahullah– berkata menerangkan ayat ini,
“أي قصر خشيته على ربه، فكف عما حرم الله، ولم يقصر بحقوق الله الواجبة.
فوصفهم بالإيمان النافع، وبالقيام بالأعمال الصالحة التي أُمُّها الصلاة والزكاة، وبخشية الله التي هي أصل كل خير، فهؤلاء عمار المساجد على الحقيقة ” اهـ من تيسير الكريم الرحمن (ص: 331)
“Maksudnya, orang itu membatasi rasa takutnya hanya kepada Robb-nya. Karenanya, ia menahan diri dari sesuatu yang Allah haramkan dan tidak bersikap teledor terhadap hak-hak Allah yang wajib. Itulah sebabnya Allah menyifati mereka dengan keimanan yang bermanfaat dan perealisasian amal-amal sholih yang terpentingnya adalah sholat dan zakat. Orang itu juga merealisasikan rasa takutnya kepada Allah yang merupakan pokok setiap kebaikan. Jadi, mereka itulah para pemakmur masjid pada hakikatnya”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Mannan (hal. 331)]
Orang yang senantiasa takut kepada Allah dalam setiap keadaannya akan mendapatkan naungan di Padang Mahsyar.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَدْلٌ (عَادِلٌ) وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ
“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah -Ta’ala- dalam naungan-Nya pada hari tak ada naungan, kecuali naungan-Nya: …Seorang lelaki yang diajak (untuk berzina) oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan. Lelaki itupun berkata, “Aku takut kepada Allah”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (660 & 1423) dan Muslim dalam Kitab Az-Zakaah (1031)
Al-Imam Abul Abbas Al-Qurthubiy –rahimahullah– berkata,
إِنَّمَا يَصْدُرُ ذَلِكَ عَنْ شِدَّةِ خَوْفٍ_مِنَ اللَّهِ تَعَالَى وَمَتِينِ تَقْوَى وَحَيَاءٍ.” اهـ من تحفة الأحوذي (7/ 58_59)
“Hal itu (yakni, ucapan lelaki itu) muncul karena amat takutnya kepada Allah -Ta’ala- serta mantapnya rasa taqwa dan malunya”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (7/58), cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah]
Perhatikanlah bagaimana kuatnya pengaruh rasa takut kepada Allah dalam membentengi seseorang dari maksiat dalam kondisi cobaan dan godaan amat berat. Wajarlah bila pemiliknya dinaungi di akhirat.
—————————————————————————–