Kekuasaan dan ketenaran adalah dua perkara yang banyak mencelakakan manusia. Kekuasaan akan mendorong manusia untuk memperbanyak dan memperkuat pengikut. Sedangkan ketenaran akan menyeret seseorang untuk menjilat dan mencari-cari perhatian manusia dalam beramal.
Akibatnya, dua penyakit ini membuat para pencintanya akan melakukan segala hal dalam meraih keduanya. Orang-orang yang haus kekuasaan dan ketenaran akan memuaskan hawa nafsu dan tendensi hinanya dengan melakukan segala cara demi meraih hal itu!! Hanya saja caranya kadang halus sekali sehingga tak ada yang tahu, kecuali dia dan Allah –Azza wa Jalla-.
Penyakit cinta kekuasaan dan ketenaran ini, bukan hanya menyerang orang-orang jahil diantara manusia, bahkan ia juga menyerang orang-orang berilmu.
Lantaran itu, setiap orang berilmu dari kalangan ulama, ustadz, dan penuntut ilmu agama, harus waspada dan selalu memeriksa segala perbuatan hatinya. Sebab, penyakit cinta kekuasaan dan ketenaran ini adalah golongan penyakit yang merasuki hati.
Ketahuilah bahwa penyakit cinta kekuasaan dan ketenaran ini merupakan penyakit yang sangat sulit disembuhkan dan diusir dari hati orang yang berilmu, apalagi orang jahil tentang agama!!
Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibiy –rahimahullah– berkata,
آخر الأشياء نزولاً من قلوب الصَّالحين: حبُّ السُّلطة والتَّصدر
“Perkara yang paling terakhir turun (yakni, keluar) dari hati orang-orang sholih adalah cinta kekuasaan dan ketenaran”. [Lihat Ma’alim fi Thoriq Tholab Al-Ilm (hal. 20), karya Syaikh Abdul Aziz As-Sadhan –hafizhahullah-, cet. Dar Ibnil Haitsam]
Di dalam ucapan Asy-Syathibiy –rahimahullah– ini terdapat isyarat bahwa penyakit cinta kekuasaan dan ketenaran adalah dua penyakit yang amat susah hilang dan keluar dari hati orang-orang sholih, apalagi orang-orang yang bejat dan buruk.
Ishaq bin Kholaf Az-Zahid –rahimahullah– berkata,
والله الذي لا إله إلا هو لإزالة الجبال الرواسي أيسر من إزالة الرياسة.
“Demi Allah Yang tak ada ilah (sembahan) yang haqq, kecuali Dia, sungguh menghilangkan gunung-gunung yang kokoh lebih mudah dibandingkan menghilangkan (cinta kepada) kekuasaan”. [Atsar Riwayat Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Al-Ilm wa Fadhlih (no. 976), dengan tahqiq Abul Asybal Az-Zuhairiy, cet. Dar Ibnil Jauzi]
Bayangkan saja gambaran Az-Zahid di atas, bagaimana susahnya mengatasi dan mengobati penyakit cinta kekuasaan.
Saking susahnya hilang sampai sebagian ulama salaf menganggap bahwa penyakit cinta kekuasaan bagaikan penyakit yang tak ada obatnya.
Seorang diantara mereka berkata,
حبُّ الرِيَاسَةِ داءٌ لاَ دَوَاءَ لَهُ وَقَلَّ مَا تَجِدُ الرَّاضِيْنَ بِالقَسْمِ
“Cinta kekuasaan adalah penyakit yang tak ada obatnya. Jarang anda menemukan orang-orang yang ridho (rela) dengan pembagian (dari Allah)”.
[Lihat kedua atsar ini dalam Jami’ Bayan Al-Ilm wa Fadhlih (1/286-287) karya Ibnu Abdil Barr Al-Qurthubiy, cet. Mu’assasah Ar-Royyan dan Dar Ibni Hazm, 1424 H]
Para penuntut ilmu –secara khusus- harus menyadari bahwa cinta kepada kekuasaan akan membuat pelakunya rakus terhadap keinginan-keinginan dunia yang rendah. Kadang seorang penuntut ilmu hasad kepada temannya, karena dunia. Kadang karena cinta kekuasaan, seorang penuntut ilmu rela memutuskan persahabatannya dengan sahabat karibnya. Nas’alullahal afiyah was salamah.
Ini disebabkan karena ia tidaklah mencari ilmu demi mengamalkannya, tapi ia cari agar dijadikan hiasan dan kebanggaan di depan manusia.
Seorang ulama tabi’in di zamannya, Abu Yahya Malik bin Dinar Al-Bashriy -rahimahullah- berkata,
مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِلْعَمَلِ كَسَرَهُ، مَنْ تَعَلَّمَهُ لِغَيْرِ الْعَمَلِ زَادَهُ فَخْرًا
“Barangsiapa yang mempelajari ilmu agama untuk diamalkan, maka ilmu itu akan meredakannya. Barangsiapa yang mempelajarinya bukan untuk diamalkan, maka ilmu akan memberinya tambahan keangkuhan”. [HR. Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al-Ilm wa Fadhlih (1/288)]
Disinilah sisi keterkaitan antara cinta kekuasaan dan cinta ketenaran. Keduanya menyeret seseorang untuk beramal demi selain Allah.
Cinta ketenaran akan membuat pelakunya susah menghadirkan keikhlasan dalam hatinya. Dalam beramal, ia tak jujur kepada Allah. Sebab, ia mau beramal jika ada sesuatu yang dapat mengangkat namanya demi mencapai ketenaran.
Jika suatu amalan tak bisa membuat dirinya masyhur dan dikenal oleh orang, maka ia malas melangkah dalam melakukan amalan itu.
Sebuah contoh, seorang ulama atau dai –misalnya-, ia tak mau bersabar tinggal di rumah atau pesantrennya untuk mengajari para santrinya tentang ilmu agama.
Sementara itu, ia lebih senang berkeliling kampung, kota dan propinsi dalam “berdakwah” menurutnya, dibandingkan berdakwah di kampungnya. Semua ini ia gemar lakukan demi mencapai popularitas.
Sebagian penuntut ilmu ada yang terkena cinta ketenaran ini dari arah dunia tulis-menulis. Ia rajin menulis di majalah, koran, buletin, situs, dan berbagai media lainnya demi mencapai popularitas. Rajin sih rajin. Hanya saja ia tak menjauhkan hatinya dari penyakit ini.
Kelompok dai lain, ada yang lebih lihai dalam mencari popularitas dan ketenaran dengan mengumpulkan manusia sebanyak-banyaknya dalam majelis, lalu ia pun tampakkan dirinya sebagai manusia yang paling berilmu.
Dia pun mengondisikan masyarakat agar mereka mengakui bahwa dirinyalah yang paling berilmu. Adapun dai-dai selainnya, maka mereka lebih rendah dibandingkan dirinya.
Ia tak ingin ada orang yang berbicara tentang ilmu, kecuali dirinya. Orang-orang pun berdecak kagum dalam hati sambil bergumam, “Inilah dai dan ustadz yang paling top dan hebat!!”
Orang seperti ini tak sadar bahwa dirinya telah terjangkiti oleh penyakit cinta ketenaran. Sungguh ia tak jujur kepada Allah dalam beramal; bukan pahala yang ia inginkan, bahkan pujian dan sanjungan manusia.
Abu Ishaq Ibrahim bin Adham Al-Ijliy -rahimahullah- berkata,
مَا صَدق َاللهَ عَبدٌ أَحَبَّ الشُّهْرَةَ
“Seorang hamba yang mencintai ketenaran tak akan berlaku jujur kepada Allah”. [HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (9/35), Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (6/317-318) dan Ibnu Abid Dun-ya dalam Al-Uzlah wa Al-Infirod (no. 132 & 137)]
Para pembaca yang budiman, jika seseorang sudah demikian halnya, yakni ia amat mencintai ketenaran, maka ia akan susah menerima nasihat dari orang lain yang ada di bawahnya.
Apalagi jika ia pandai bersilat lidah sehingga semua hujjah yang ditujukan kepada dirinya, maka ia mentahkan dengan silat lidahnya dan ia tampakkan dirinya tak salah. Padahal ia sudah tahu bahwa dirinya bersalah dan hujjah telah tegak baginya.
Sekali lagi, penyakit cinta kekuasaan dan ketenaran bukan hanya mengenai orang jahil. Bahkan biasanya juga mengenai kaum berilmu.
Walaupun seorang yang berilmu merasa dirinya ikhlash dalam berdakwah, ia harus tetap mewaspadai hal ini!!!
Al-Imam Al-Hafizh Abu Abdillah Adz-Dzahabiy –rahimahullah– berkata,
((عَلاَمَة ُالمُخلِصِ الذي قد يُحِبُّ شُهرَةً، ولا يشعرُ بها، أنّه إذا عُوتب في ذلك لا يَحْرَدُ ولا يُبَرِّئُ نفسَهُ، بل يعترف ويقول: رحمَ الله من أهدى إليَّ عُيوبي، ولا يَكُنْ مُعْجباً بنفسِه؛ لا يشعرُ بعيوبها، بل لا يشعر أنّه لا يشعر، فإنّ هذا داءٌ مزمنٌ))
“Tanda orang ikhlash yang terkadang mencintai ketenaran –sedang ia tak merasakannya- bahwa jika ia dicela dalam hal itu, maka ia tak marah dan tidak pula membersihkan dirinya. Bahkan ia mengakui (hal itu) seraya berkata, “Semoga Allah merahmati orang menunjukkan kepadaku aib-aibku”.
Orang ini tak bangga diri. Cuma dia tak menyadari aib (kekurangan) dirinya, bahkan ia tak merasa bahwa dirinya tak merasa (bersalah). Sesungguh hal ini adalah penyakit yang kronis”. [Lihat Siyar A’lam An-Nubalaa’ (7/393)]
Orang seperti ini jika ada yang menasihati dan mengeritiknya, maka lisannya berterima kasih, namun hatinya tak menerima, bahkan kadang kesal. Wallahul musta’an.
Ini penyakit cinta ketenaran!! Adapun penyakit cinta kekuasaan, maka penyakit ini pun tak kalah bahayanya. Ia juga menyerang berbagai kalangan, tanpa terkecuali ulama dan ustadz.
Realita nyata telah membuktikan hal itu di lapangan, sehingga mudah saja bila kita ingin membawakan sebagian bukti dan fakta nyata di lapangan!!
Di sebagian daerah, ada sebagian dai yang merasa dirinya paling senior, sehingga menganggap dirinya yang patut didengar dan mengatur semua urusan dakwah. Semua dai yang baru datang dalam medan dakwah, maka ia anggap junior dan tak ada nilainya.
Si dai senior ini yang ingin menentukan semua urusan dakwah. Karena itu, tak boleh ada yang berceramah di “daerah kekuasaannya”, tanpa ada izin darinya. Jika tidak, maka dai pendatang dari luar, ia anggap dai sempalan, atau minimal kurang ajar dan kurang beradab.
Subhanallah, padahal si “dai senior” ini bukanlah seorang pemerintah yang berhak mengatur dakwah disana-sini.
Lebih para lagi, jika si dai senior ini memiliki jaringan berupa dai-dai baru (junior) yang siap menjilat dan tunduk di depannya demi menjaga harga diri dan kedudukannya dari cercaan si dai senior. Sungguh ini adalah penyakit cinta kekuasaan.
Warna lain dari dunia dai, ada diantara mereka memperjuangkan Islam dan mendakwahkannya melalui ajang politik dan demokrasi, sehingga ia pun menghinakan diri masuk dalam parlemen dengan dalih “dakwah”.
Begini hinakah Islam sampai anda harus memperjuangkannya melalui cara yang tak dibenarkan agama?! Sungguh semua ini adalah kehancuran.
Jika mereka berdalih bahwa mereka terpaksa dan darurat ikut dalam hal itu. Kita katakan bahwa bukankah telah ada yang mewakili anda dalam urusan itu dari kalangan kaum muslimin?!
Al-Imam Abu Nu’aim Ashbahaniy –rahimahullah– berkata,
“والله ما هلك مَنْ هلكَ إلاَّ بحبِّ الرِّئاسة” (جامع بيان العلم) (1 / ص 286)
“Demi Allah, tidaklah binasa orang yang binasa, kecuali karena sebab kekuasaan”. [Baca Jami’ Bayan Al-Ilm (1/286)]
Banyak orang yang mengetahui hakikat kebenaran. Namun ia enggan meninggalkan kesesatan dan kebatilan yang selama ini ia lakukan dan perjuangkan.
Ia susah rujuk kepada kebenaran, akibat cinta dan haus kekuasaan. Ia rela hancur dalam kebatilan dan kesesatan bersama dengan pengikut atau kelompoknya, karena takut kehilangan kekuasaan dan kedudukan di mata pengikut atau kelompoknya.
Inilah yang dialami oleh seorang Kaisar Romawi dan Raja Kostantinopel yang bernama Heraklius. Ia rela di atas kekafiran setelah nyatanya kebenaran baginya, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 7) dan Muslim dalam Shohih-nya (1773)]
Terakhir kita memohon kepada Allah –Tabaroka wa Ta’ala– agar kita dibersihkan dan dijauhkan dari sebab-sebab yang menumbuhkan cinta dunia dan ketenaran dalam jiwa kita. Amiin.