Bagikan...

Dua Jalan Pengantar Menuju Keindahan Surga

  •  (Mutiara Faedah dari Syaikh Abdul Hadi Al-Umairiy)

  • Oleh: Ust. Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc. hafizhahullah
  • [Pembina Ponpes Al-Ihsan Gowa]

Tabligh Akbar Ulama 2016, Makassar, Sulsel, baru saja berlalu bersama kita dengan tema “Sakinah bersama Sunnah”. Tabligh Akbar ini, selain menyisakan banyak kenangan, juga banyak menyisakan ilmu bagi kita kaum muslimin Indonesia.

Salah satu ilmu yang terngiang-ngiang di telinga kami, sebuah hadits yang dinukilkan oleh Syaikh Abdul Hadi Al-‘Umairiy –hafizhahullah– dari sahabat Abu Hurairah –radhiyallahu anhu-,

قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى نَبِيِّ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا نَبِيَّ اللهِ، دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ دَخَلْتُ الْجَنَّةَ، وَلَا تُكْثِرْ عَلَيَّ، قَالَ: ” لَا تَغْضَبْ “،

وَأَتَاهُ رَجُلٌ آخَرُ، فَقَالَ: يَا نَبِيَّ اللهِ، دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ دَخَلْتُ الْجَنَّةَ، قَالَ: ” كُنْ مُحْسِنًا “، فَقَالَ: كَيْفَ أَعْلَمُ أَنِّي مُحْسِنٌ ؟ قَالَ: ” سَلْ جِيرَانَكَ، فَإِنْ قَالُوا: إِنَّكَ مُحْسِنٌ، فَإِنَّكَ مُحْسِنٌ، وَإِنْ قَالُوا: إِنَّكَ مُسِيءٌ، فَإِنَّكَ مُسِيءٌ “

“Seorang laki-laki yang pernah datang kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, seraya berkata,

“Wahai Nabiyyullah, tunjukilah aku kepada suatu amalan yang bila aku mengerjakannya, niscaya aku akan memasuki surga, dan jangan memperbanyak (hal itu) bagiku.”

Beliau (Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) bersabda, “Janganlah kamu marah.”

Seorang laki-laki yang pernah datang kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, seraya berkata,

“Wahai Nabiyyullah, tunjukilah aku kepada suatu amalan yang bila aku mengerjakannya, niscaya aku akan memasuki surga.”

Beliau (Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-) bersabda,

“Jadilah engkau seorang yang muhsin (berkelakuan baik).”

Orang itu bertanya, “Bagaimana aku bisa mengetahui bahwa aku adalah seorang yang berkelakuan baik?”

Beliau (Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-) menjawab,

“Tanyailah para tetanggamu. Jika mereka bilang, “Sesungguhnya engkau adalah orang yang berkelakuan baik, maka (berarti) engkau adalah orang yang berkelakuan baik. Jika mereka bilang, “Sesungguhnya engkau adalah orang yang musii’ (berkelakuan buruk), maka (berarti) engkau adalah orang yang berkelakuan buruk”.

[HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrok ala Ash-Shohihain (1/378), dan Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (no. 8278 & 9567). Hadits ini dinilai shohih oleh Aiman bin Sholih bin Sya’ban dalam takhrij At-Targhib wa At-Targhib (no. 871) karya Abul Qosim Al-Ashbahaniy, cet. Darul Hadits, Kairo][1]

……………………………………………………….

Jalan Pertama Pengantar menuju Surga:

Menahan Marah yang Tercela

Di dalam hadits ini, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mengabarkan kepada kita tentang dua hal yang amat berharga. Ternyata menahan marah merupakan sebuah jalan pengantar menuju surga! Subhanallah, bagaimana tidak, sebab menahan marah tidak mungkin akan mampu dilakukan oleh seorang hamba, melainkan pada dirinya terdapat ketaqwaan dan kesabaran yang tinggi.

Inilah yang pernah dijelaskan oleh Allah –Azza wa Jalla– di dalam firman-Nya,

أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)  [آل عمران/133-134]

(Surga itu) disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menginfakkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imraan : 133-134)

Orang yang mampu menahan marahnya akan diberi keutamaan lain saat ia memasuki surga. Disana ia diberi kebebasan dalam memilih bidadari-bidadari cantik yang ia sukai.

Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يُنَفِّذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الخَلاَئِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ فِي أَيِّ الحُورِ شَاءَ.

“Barang siapa yang menahan amarahnya –padahal ia mampu untuk melampiaskannya-, niscaya Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di atas kepala para makhluk, sampai Allah memberinya pilihan pada bidadari-bidadari yang ia kehendaki.” [HR. Abu Dawud, At-Tirmidziy dan Ibnu Majah. Dinyatakan hasan oleh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (no. 2753)]

Orang yang terbiasa menahan marahnya, akan diberi kelapangan jiwa, sehingga dimanapun ia berada hatinya senantiasa dipenuhi keridhoan. Di saat ia marah, jiwanya terkontrol dan tidak terseret oleh amarahnya kepada perkara yang tercela, sehingga pada gilirannya akan merasakan kebahagiaan besar. Sebab alangkah banyaknya manusia yang memperturutkan amarahnya, namun pada akhirnya, ia menyesal dan hatinya sempit saat ia melihat dan merasakan akibat buruk marahnya yang ia lampiaskan.

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambaliy -rahimahullah- berkata saat mengomentari hadits Abu Huroiroh di atas,

فهذا يدلُّ على أنَّ الغضب جِماعُ الشرِّ ، وأنَّ التحرُّز منه جماعُ الخير

“Ini menunjukkan bahwa marah adalah pengumpul keburukan dan menjaga diri dari marah adalah pengumpul kebaikan.” [Lihat Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam (hal. 144), cet. Darul Ma’rifah, 1408 H]

Diantara kebaikan menahan marah dan menjaga diri darinya, akan lahir perasaan tenang dan keridhoan pada diri seorang hamba. Keridhoan itu akan ia raih di dunia dan di akhirat, insya Allah.

Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,

وَمَنْ كَظَمَ غَيْظَهُ -وَلَوْ شَاءَ أَنْ يُمْضِيَهُ، أَمْضَاهُ- مَلأَ اللهُ قَلْبَهُ رِضًا

“Barangsiapa yang menahan amarahnya –padahal andai ia mau melampiaskannya, maka ia dapat melampiaskannya-, niscaya Allah akan memenuhi hatinya dengan keridhoan.” [HR. Ibnu Abid Dun-ya dalam Qodho’ Al-Hawa’ij (no. 36), tahqiq Majdi As-Sayyid Ibrahim, cet. Maktabah Al-Qur’an, Kairo-Mesir; dan Al-Husain bin Isma’il Al-Jurjaniy Asy-Syajariy dalam Kitab Al-Amaali (3/177), cet. Alam Al-Kutub. Dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami’ (no. 176)]

…………………………………………………..

Jalan Kedua Pengantar menuju Surga

Berkelakuan Baik kepada Para Tetangga

Tetangga ibarat cermin bagi tetangga yang ada di sekitarnya. Tetangga merupakan manusia yang paling mengetahui seluk-beluk seorang hamba selaku tetangga baginya.

Pertemanan dan muamalah harian dapat dinilai oleh tetangga pada diri seorang yang menjadi tetangganya. Tidak ada yang lebih diharapkan oleh seorang tetang, melainkan dari saudaranya yang di sekitarnya. Keluar-masuknya seseorang ke dalam rumahnya, diketahui oleh tetangga yang ada di depan dan sekitarnya.

Seseorang yang telah lama hidup dalam jalinan pertetanggaan dengan orang lain, akan memiliki bias dan pengadruh dalam kehidupannya. Jika ia adalah seorang tetangga yang memiliki perangai yang baik, maka akan tampak darinya sifat-sifat dan akhlak terpuji berupa mahabbah (kecintaan), ihtimam (perhatian terhadap keadannya), al-badzl (kebiasaan berbagi dan memberi), dan kebiasaan-kebiasaan yang terpuji lainnya.

Tetangga adalah cermin bagi diri kita selaku tetangganya. Nah, jika ia menilai kita sebagai seorang yang “muhsin” (berkelakuan dan berperilaku baik), karena selama ini ia telah lama merasakan berbagai warna kebaikan kita, maka itu adalah tanda bahwa diri kita adalah seorang yang baik di sisi Allah -Tabaroka wa Ta’ala-.

Sebaliknya, apabila para tetangga kita menilai kita sebagai seorang “musii'” (berkelakuan dan berperilaku buruk), karena memang selama ini yang muncul dari kita adalah keburukan-keburukan yang mereka rasakan pahitnya, maka ketahuilah bahwa semua itu adalah alamat kesialan dan keburukan serta kebinasaan kita. Na’udzu billahi min dzalik.

Inilah sebabnya Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda di dalam hadits di atas,

“Tanyailah para tetanggamu. Jika mereka bilang, “Sesungguhnya engkau adalah orang yang muhsin (berkelakuan baik), maka (berarti) engkau adalah orang yang berkelakuan baik. Jika mereka bilang, “Sesungguhnya engkau adalah orang yang musii’ (berkelakuan buruk), maka (berarti) engkau adalah orang yang berkelakuan buruk”.

Al-Imam Abdur Rouf Al-Munawiy –rahimahullah– berkata,

ومحصوله إذا ذكرك صلحاء جيرانك بخير فأنت من أهله وإذا ذكروك بسوء فأنت من أهله فإنهم شهداء الله في الأرض

فأحدث في الأول شكرا وفي الثاني توبة واستغفارا،

فحسن الثناء وضده علامة على ما عند الله تعالى للعبد

وإطلاق ألسنة الخلق التي هي أقلام الحق بشيء في العاجل عنوان ما يصير إليه في الآجل

والثناء بالخير دليل على محبة الله تعالى لعبده حيث حببه لخلقه فأطلق الألسنة بالثناء عليه

“Intinya, jika para tetanggamu yang sholih (baik) menyebutmu dengan kebaikan, maka engkau termasuk orang yang baik. Namun jika mereka menyebutmu dengan kebururkan, maka engkau termasuk orang yang buruk. Karena, mereka adalah para saksi Allah di bumi.

Lantaran itu, tumbuhkanlah pada (kondisi) yang pertama suatu kesyukuran, dan pada (kondisi) yang kedua sebuah tobat dan istighfar (permohonan ampunan kepada Allah).

Jadi, baik-tidaknya pujian adalah tanda tentang sesuatu yang ada di sisi Allah bagi seorang hamba.

Ungkapan lisan manusia yang merupakan pena-pena Allah tentang sesuatu yang ada di dunia merupakan alamat dan petunjuk tentang sesuatu yang akan dituju oleh hamba itu di akhirat.

Pujian baik (dari para tetangga) adalah dalil (yang menunjukkan) tentang kecintaan Allah kepada hamba-Nya, dimana Allah membuat orang itu dicintai oleh para makhluknya, sehingga Allah membiarkan lisan-lisan manusia dalam memujinya.” [Lihat Faidhul Qodir (1/244)]

Disini akan tampak bagi kalian pentingnya menjaga hubungan pertetanggaan dengan akhlak yang baik berupa senyuman wajah, berbagi sesuatu yang ma’ruf kepada mereka, dan mencegah segala bentuk bahaya, keburukan dan kerusakan yang akan menimpa mereka, demi mengharap pahala di sisi Allah.

Inilah hakikat keimanan kepada Allah dan hari akhir, serta kecintaan kepada orang-orang beriman.

Seorang tetangga yang baik, selalu berusaha melihat saudaranya dalam kebaikan. Adapun tetangga yang buruk, maka ia gembira bila melihat saudaranya jauh dari kebaikan dan jatuh dalam keterpurukan.

Tetangga yang baik adalah mereka yang selalu meluangkan perhatiannya kepada saudara-saudaranya yang ada di sekelilingnya.

Allah –Tabaroka wa Ta’ala– mengingatkan kita tentang pentingnya berbuat baik kepada tetangga dalam firman-Nya,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (36) الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا (37) [النساء/36، 37]

“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal dalam safar yang baik), dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,

(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir (yakni, orang yang ingkar nikmat) siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisaa’ : 36-37)

Kemudian, di akhir risalah ini, kami ingin mengingatkan bahwa baiknya kita kepada para tetangga, bukan karena kita ingin pujian mereka. Tapi kita ingin meraih pahala di sisi Allah.

[1] Hadits ini memiliki syawahid. Lihat Ash-Shohihah (1327).