oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah hafizhahullah [Pembina Ponpes Al-Ihsan Gowa]
“Tauhid” adalah mengesakan Allah dan mengkhususkan-Nya dalam ibadah.
Seorang yang men-tauhid-kan Allah bila ia hanya mempersembahkan semua bentuk ibadahnya kepada Allah, baik itu berupa ibadah qolbiyyah (yang berkaitan dengan amalan hati), maupun fi’liyyah (yang berhubungan dengan amalan anggota badan).
Diantara bentuk kesempurnaan tauhid, seorang hamba mencegah semua jalan (perbuatan atau ucapan) yang mengarah kepada lawan tauhid, yaitu syirik.
Lantas apa itu “syirik”?!
Syirik adalah menyekutukan Allah dalam beribadah, yakni seorang hamba, selain ia beribadah kepada Allah, ia juga beribadah kepada makhluk, sehingga ia telah dianggap mengangkat sekutu bagi Allah dalam ibadahnya.
Para pembaca yang budiman, Allah –azza wa jalla- telah menganugerahkan kepada kita seorang rasul yang bernama Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muththolib bin Hasyim Al-Qurosyi.
Ia datang untuk membacakan ayat-ayat Allah, membersihkan hati kita dari segala macam penyakit hati (seperti, syirik, riya’, sum’ah, hasad dan lainnya), serta mengentaskan kita menuju cahaya ilmu.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
{لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ } [آل عمران: 164]
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Ali Imraan : 164)
Sang Rasul ketika ia datang, maka ia datang dengan sifat-sifat terpuji. Beliau adalah manusia yang memiliki martabat yang tinggi dan nasab yang jelas lagi mulia.
Rasul ini amat peduli kepada umatnya. Karenanya, beliau membawa syariat yang mudah dan gampang diamalkan.
Bila ada yang susah bagi mereka, maka beliau meminta kepada Robb-nya agar diberi keringanan.
Dia amat ingin semua orang mendapatkan hidayah dan ia juga menjelaskan jalan-jalan keselamatan yang mendatangkan kemashlahatan umat dan menjauhkan mereka dari segala madhorot (bahaya dan kerugian), baik di dunia, maupun di akhirat. [Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (4/241-243) oleh Ibnu Katsir –rahimahullah-]
Ketika Allah mengutusnya, maka Allah berpesan bahwa berdakwah adalah pekerjaan berat yang membutuhkan kesabaran dan keuletan.
Karenanya, saat melihat ada diantara umat manusia yang tak mau beriman, maka hendaknya bersabar dan mengembalikan segala urusan kepada Pemiliknya, yakni Allah.
Allah -Ta’ala- berfirman,
{لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (128) فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (129)} [التوبة: 128، 129]
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), Maka Katakanlah: “Cukuplah Allah bagi-Ku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya Aku bertawakkal dan dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung”. (QS. At-Taubah : 128-129)
Diantara belas kasih dan sayangnya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- kepada umatnya, beliau melarang mereka dari segala jalan yang merusak tauhid dan iman mereka kepada Allah, sebagaimana yang akan kami utarakan di sela hadits-hadits berikut :
ÿ Dari Abu Hurairah –radhiyallahu anhu– berkata, “Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah kalian menjadikan rumah kalian sebagai kuburan dan jangan menjadikan kuburku sebagai ied (tempat kumpul yang selalu dikunjungi untuk ibadah). Ber-sholawat-lah kalian, karena sholawat kalian akan sampai kepadaku dimana pun kalian berada”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/367) dan Abu Dawud dalam Kitabul Manasik, bab: Ziyaroh Al-Qubur (2042)]
Di dalam hadits ini terdapat empat faedah yang harus kita cermati:
(1) Rumah kita hendaknya dihidupkan dengan ibadah (sholat sunnah, membaca Al-Qur’an dan dzikir) agar kita jangan termasuk orang lalai dan rumah kita tak mirip dengan kuburan yang kosong dari ibadah.
(2) Kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan kubur lainnya bukanlah tempat untuk melakukan ritual ibadah, seperti, membaca Al-Qur’an (Surah Yasin atau lainnya), sholat, i’tikaf (tirakatan), berdzikir dan lainnya.
Sebab kubur tidaklah memiliki keistimewaan untuk ibadah yang dikerjakan di dalamnya, bahkan seorang lebih utama mengerjakan ibadahnya di masjid dan di rumah.
(3) Oleh karenanya, bila ada diantara kita yang hendak ber-sholawat kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan mendoakan kebaikan bagi beliau, maka tak perlu mendatangi kubur beliau.
Sebab, sholawat dan salam kita bagi beliau akan sampai kepada beliau.
Kebiasaan mendatangi kubur beliau, bukanlah petunjuk beliau, bahkan beliau melarang hal itu dalam hadits ini.
Disinilah letak kesalahan sebagian jama’ah haji kita; saat mereka di Madinah, maka mereka berulang kali ke kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- untuk berziarah, bahkan ada yang berdoa dan memohon kepada beliau!!
Subhanallah, ini adalah kesyirikan!!!
(4) Di dalam hadits di atas, juga terdapat isyarat tentang larangan melakukan safar untuk mengunjungi kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- atau kubur wali dan lainnya.
Karenanya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلىَ ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وِمَسْجِدِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ومَسْجِدِ اْلأَقْصَى
“Tidak boleh bersafar, kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam- (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsho”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (1189), dan Muslim dalam Shohih-nya (1397)]
Jika seseorang ingin bersafar ke Madinah, maka ia niatkan untuk mengunjungi Masjid Nabawi demi memperbanyak mengerjakan sholat di dalamnya, bukan niatnya pergi ziarah kubur.
Walaupun sesampainya di Madinah, ia boleh berziarah ke kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Tapi tujuan utama safar kita kesana, bukan ziarah kubur!!
Jadi, bersafar dalam rangka beribadah, mencari pahala, dan keutamaan, tidak boleh dilakukan pada selain tiga tempat itu.
Dari sini, kita mengetahui kesalahan sebagian kaum muslimin yang melakukan safar untuk mengunjungi kubur orang yang dianggap wali atau orang sholeh, seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahil di Jawa; mereka melakukan “Tour Keliling Wali Songo”.
Kekeliruan seperti ini juga mulai menjangkit ke Sulsel, dengan adanya sebagian orang-orang diantara mereka yang melakukan safar dari tempat lain menuju kubur Syaikh Yusuf, Gowa.
Ini jelas adalah kesalahan yang menyelisihi petunjuk Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang terdapat di dalam hadits di atas dan hadits berikut !!!
Dari Ali bin Husain -radhiyallahu anhu-, ia berkata,
أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً يَجِيْءُ إِلَى فُرْجَةٍ كَانَتْ عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَيَدْخُلُ فِيْهَا فَيَدْعُوْ ، فَنَهَاهُ ، فَقَالَ : أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ حَدِيْثًا سَمِعْتُهُ مِنْ أَبِيْ ، عَنْ جَدِّيْ ، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : « لاَ تَتَّخِذُوْا قَبْرِيْ عِيْدًا ، وَلاَ بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا ، فَإِنَّ تَسْلِيْمَكُمْ يَبْلُغُنِيْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ »
“Ada seorang laki-laki yang pernah datang ke sebuah celah (lubang) yang terdapat di sisi kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Lalu orang itu pun masuk di dalamnya sambil berdoa. Karenanya Ali bin Husain melarangnya seraya berkata, “Maukah engkau kukabarkan tentang suatu hadits yang aku dengarkan dari bapakku, dari kakekku, dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, beliau bersabda, “Janganlah engkau menjadikan kuburku sebagai ied (tempat kumpul yang selalu dikunjungi untuk ibadah), dan jangan pula menjadikan rumahmu sebagai kuburan. Karena salam kalian akan sampai kepadaku dimana pun kalian berada”. [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (2/268), Abu Ya’laa dalam Al-Musnad (no. 48) dan Adh-Dhiyaa’ Al-Maqdisiy dalam Al-Mukhtaaroh (1/154). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Tahdzir As-Sajid (hal. 128), cet. Maktabah Al-Ma’arif, 1422 H]
Para pembaca yang budiman, diantara usaha Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam- dalam menjaga kemurnian tauhid, larangan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- kepada sebagian sahabat yang berlebihan memuji beliau sebagaimana dalam hadits berikut :
ÿ Dari Anas bin Malik –radhiyallahu anhu– berkata,
أَنَّ رَجُلاً قَالَ :
“يَا مُحَمَّدُ، يَا سَيِّدَنَا، وَابْنَ سَيِّدِنَا، وَخَيْرَنَا، وَابْنَ خَيْرِنَا.”
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ _صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ_ :
“يَا أَيُّهَا النَّاسُ، عَلَيْكُمْ بِتَقْوَاكُمْ، وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ،
أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ،
وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِي اللَّهُ _عَزَّ وَجَلَّ_”.
“Ada seorang laki-laki pernah berkata, “Wahai Muhammad, wahai pemimpin kami, anak pemimpin kami, orang terbaik di antara kami dan anak orang terbaik diantara kami”. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pun bersabda, “Wahai manusia, lazimilah ketaqwaan kalian dan jangan sekali-kali setan menggoda kalian. Aku adalah Muhammad bin Abdillah, hamba dan rasul-Nya. Demi Allah, aku tak menyenangi kalau kalian mengangkat aku melebihi kedudukanku yang Allah telah menempatkan aku padanya”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (3/241), Abdur Rozzaq Ash-Shon’aniy dalam Al-Mushonnaf (11/272) dan Al-Bukhoriy dalam Al-Adab Al-Mufrod (no. 875). Syaikh Ahmad Syakir men-shohih-kan hadits ini dalam Syarh Al-Musnad (no. 3904)]
Syaikh Isma’il Ibn Abdil Ghoniy Ad-Dahlawiy –rahimahullah– berkata,
“وقد أمر النبي _صلى اللَّه عليه وسلم_ في هذا الحديث بالاقتصاد والتوسط، وتحري الدقة، في مدح من يعتقد فيهم الفضل، وأن لا يتخطى في ذلك حدود البشرية فيلحقه بالله، وأن لا يكون كفرس جموح لا يملكه فارس، ولا يضبطه زمام، فيسيء بذلك الأدب مع اللَّه ويتورط فيما لا يحمد عقباه.” اهـ من رسالة التوحيد المسمى بـ تقوية الإيمان (ص: 170)
“Sungguh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- memerintahkan dalam hadits ini untuk bersikap lurus dan pertengahan serta berusaha jeli dalam memuji orang yang ia yakini padanya ada keutamaan agar di dalam hal itu ia tidak melangkahi batasan derajat kemanusiaan, lalu menyamakannya dengan Allah dan agar tidak seperti kuda liar yang tak mampu dikuasai oleh seorang penunggang kuda dan tidak pula dikendalikan oleh seutas tali. Akhirnya, dengan sebab itu, ia pun melakukan adab yang buruk kepada Allah dan ia terjun kepada perkara yang tak terpuji akibatnya”. [Lihat Taqwiyah At-Tauhid (hlm. 170), karya Isma’il bin Abdil Ghoni Al-Dahlawiy, cet. Dar Wahyil Qolam, 2003 M, Suriah]
Para pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa kata as-sayyid (السَّيِّدُ) yang bermakna “pemimpin” memiliki dua makna. Pertama: “as-sayyid” bermakna pemimpin yang menguasai semua urusan secara mutlak dan ia tak tunduk kepada seorang pun.
“As-sayyid” dengan makna seperti ini, tak boleh disandangkan kepada Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-. Lafazh seperti ini hanya digunakan bagi Allah.
Kedua: as-sayyid, maksudnya adalah pemimpin kabilah, sesepuh kampung dan pemimpin terdepan.
Berdasarkan makna ini, maka semua nabi adalah sayyid (pemimpin) di kalangan kaumnya; semua imam adalah terdepan atas pengikutnya; semua mujtahid adalah contoh bagi orang yang berteladan kepadanya.
Sebab, mereka melaksanakan perintah-perintah Allah pada diri mereka, lalu mengajarkannya kepada orang-orang yang ada di bawah mereka.
Jadi, Nabi kita -Shallallahu alaihi wa sallam- berdasarkan makna ini adalah sayyid.
Namun beliau membenci gelar-gelar seperti ini disematkan kepadanya. Sebab, penyematan gelar seperti itu terkadang mengantarkan kepada sikap ghuluw (berlebihan), sehingga ada diantara manusia yang akan memuji beliau sebagai “sayyid” dengan makna yang salah bahwa beliau pemimpin yang mengatur alam semesta dan segala hajat makhluk secara mutlak.
Beliau tak senang dengan semua ini, sebab itu hanya layaknya disematkan kepada Allah!!
Beliau lebih senang disebut dengan “nabi”, “rasul” atau “abdullah” (hamba Allah).
Beliau tak senang bila disifati dengan sifat-sifat yang mengarah kepada pengkultusan.
Nah, dari sinilah kita mengetahui kekeliruan sebagian orang yang mengaku sebagai ahlul bait, lalu lebih senang menggelari dirinya dengan “sayyid”, sementara kakek mereka (yaitu, Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-) telah melarangnya.
Karena, hal itu akan mengantarkan kepada ghuluw (sikap berlebihan) dalam memuji dan menempatkan beliau!!!
Oleh karenanya, beliau pernah bersabda,
لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani pada Isa bin Maryam. Aku ini hanyalah seorang hamba. Lantaran itu, katakalah, “(Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-) hamba Allah dan rasul-Nya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3445), dan Muslim dalam Shohih-nya (1691)]
Diantara penyebab kehancuran agama, dunia dan akhirat umat-umat terdahulu, mereka bersikap ghuluw dalam beragama; sesuatu yang tak pernah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, lalu mereka menetapkannya tanpa hujjah.
Allah menetapkan wajibnya men-tauhid-kan (mengesakan dan menunggalkan) Allah dalam ibadah.
Hanya saja banyak diantara manusia malah melakukan amalan-amalan yang mengantarkan kepada kesyirikan, bahkan melakukan kesyirikan itu sendiri!!
Sungguh ini adalah kehancuran agama!!!
…………………………………………..
Diedit ulang 8 Syawwal 1439 H, di rumah kami, Perumahan Tanwirus Sunnah.