Nabi Muhammad –Shallallahu alaihi wa sallam– diutus oleh Allah –Azza wa Jalla– kepada umat manusia untuk menjelaskan yang haq dan batil.
Perkara haq (kebenaran) adalah semua perkara yang dibenarkan oleh Allah –Azza wa Jalla– dalam kitab-kitab-Nya atau melalui penjelasan para rasul-Nya.
Sebaliknya, perkara kebatilan adalah semua perkara yang dingkari dan dilarang oleh syariat, walaupun dianggap “baik” oleh kaum jahiliah!!! Inilah yang kita kenal dengan “perkara jahiliah” yang dahulu dilakoni oleh kaum jahiliah Quraisy dan lainnya dari kalangan kaum kafir.
Kebiasaan jahiliah ini dilarang oleh Allah untuk diikuti oleh kaum muslimin, sebab ia adalah kebatilan yang menyebabkan kerugian di dunia dan akhirat.
Allah –Azza wa Jalla– berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ [آل عمران : 149]
“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kalian ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kalian orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imraan : 149)
Al-Imam Abul Fida’ Muhammad bin Isma’il Ad-Dimasyqiy –rahimahullah– berkata, “Allah -Ta’ala- mengingatkan para hamba-Nya yang beriman dari bahaya taat kepada orang-orang kafir dan munafiq. Sebab, taat kepada mereka akan mewariskan kerendahan di dunia dan akhirat”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/131), cet. Dar Thoybah, 1421 H]
Di dalam banyak hadits, Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– men-tahdzir (mengingatkan) agar umatnya tidak mengikuti mereka dengan menyebutkan beberapa kebiasaan jahiliah.
Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,
أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ
“Empat perkara di kalangan umatku diantara urusan jahiliah yang mereka tak tinggalkan: berbangga pada kedudukan, mencela nasab (keturunan), menyandarkan hujan kepada bintang dan meratap”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 934)]
Di dalam hadits ini ada empat perkara jahiliah yang diharamkan dalam syariat, walaupun dianggap “baik” oleh kaum jahiliah.
Empat kebiasaan ini amat menjamur dan berakar kuat di masyarakat jahiliah sehingga memberikan pengaruh kepada mereka. Saking kuatnya, sebagian kaum muslimin pun akhirnya mengikuti kebiasaan-kebiasaan buruk ini!!
Empat kebiasaan buruk ala jahiliah ini adalah:
& Berbangga pada Kedudukan
Pertama: Berbangga pada Kedudukan (الفخر في الأحساب). Kebiasaan ini tergambar pada kebiasaan mereka saat menyebutkan kedudukan mereka, maka mereka merasa mulia dan bangga dengan kemuliaan dan kedudukan nenek moyangnya, walaupun mereka (si anak-cucu) jauh dari kemuliaan dan keutamaan. Bahkan mereka bergelimang dengan segala macam kehinaan dan dosa-dosa. Mereka pun menghinakan orang lain dan merendahkannya. [Lihat Taisir Al-Aziz Al-Hamid (hal. 377) oleh Syaikh Sulaiman bin Abdillah An-Najdiy, dengan tahqiq Muhammad Aiman Asy-Syabrowiy, cet. Alam Al-Kutub, 1419 H]
Kebiasaan ini tampak pada orang-orang yang berasal dari kalangan bangsawan, pejabat, dan ningrat. Mereka memandang orang lain dengan sebelah mata, seakan-akan orang lain adalah budak dan binatang hina.
Orang seperti ini tak mau bergaul dengan rakyat jelata. Makan dan minum harus di tempat tertentu dan jauh dari orang-orang miskin. Baginya, lebih mulia untuk melajang dan menua, dibandingkan harus menikahi selain bangsawan.
Walaupun para bangsawan sudah berkurang di zaman ini, kebiasaan jahiliah ini masih saja tetap ada dan menjangkiti kaum borjuis, hartawan, dan pejabat yang bergaya hidup glamor.
Orang-orang miskin dan kaum marginal rendahan tersingkir dalam kehidupan mereka. Ini terlihat dalam kegiatan-kegiatan yang mereka adakan.
Lihat saja saat mereka adakan resepsi pernikahan. Yang hadir hanyalah yang selevel dengan mereka dari kalangan hartawan dan pejabat. Orang miskin dan rendahan tak ada kursi baginya!!
Abu Hurairah –radhiyallahu anhu– berkata,
بئسَ الطَّعَامُ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ يُدْعَى إِلَيْهِ الأغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ
“Seburuk-buruk makanan adalah makanan resepsi yang diundang kepadanya orang-orang kaya dan ditinggalkan (yakni, tidak diundang) orang-orang miskin”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 1432)]
Kemuliaan yang hakiki hanyalah diukur pada ketaqwaan seseorang, bukan pada kemuliaan dan kedudukan orang tua.
& Mencela Nasab (keturunan)
Sebuah kebiasaan buruk yang menyebar di masyarakat muslim di zaman ini, kebiasaan jelek dalam mencela nasab (الطَّعْنُ فِي اْلأَنْسَابِ). Mereka melakukan hal itu dengan menuduh orang lain sebagai sundala’ (anak zina), anak kotor, dan menuduh orang lain berzina. Tergolong juga dalam hal ini mencela orang dengan menyebutnya sebagai anak monyet, sapi dan lain sebagainya!!
Abu Dzarr –radhiyallahu anhu– berkata,
إِنِّي سَابَبْتُ رَجُلًا فَعَيَّرْتُهُ بِأُمِّهِ فَقَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا ذَرٍّ أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ
“Sungguh aku telah mencaci maki seseorang, lalu aku pun mencelanya dengan ibunya. Akhirnya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda kepadaku, “Wahai Abu Dzarr, apakah engkau mencelanya karena ibunya. Sesungguhnya pada dirimu ada kebiasaan kaum jahiliah”. [HR. Al-Bukhoriy (30) dan Muslim (1661)]
Di dalam hadits ini terdapat sebuah isyarat bahwa kebiasaan mencela orang dengan mengaitkan kerendahan dan kekurangan yang ada pada orang tuanya adalah kebiasaan yang dilakukan kaum jahiliah, misalnya : seseorang mencela orang lain dengan berkata, “Anak zina”, “anak budak”, “anak orang jelek” dan lainnya.
Itulah sebabnya Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– menegur sahabat Abu Dzarr dengan keras agar beliau tahu bahwa perkara itu terlarang.
Al-Imam Badruddin Al-Ainiy –rahimahullah– berkata, “Mencela orang karena ibunya adalah masalah besar di sisi mereka (yakni, kaum jahiliah). Karena, mereka dulu berbangga-bangga dengan nasab mereka. Ini (sikap mencela) adalah pelanggaran maksiat yang besar. Karenanya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mengingkari dengan memakai lafazh yang menunjukkan kerasnya pengingkaran”. [Lihat Umdah Al-Qori (2/49)]
& Menyandarkan Hujan kepada Bintang
Menurunkan hujan adalah salah satu diantara tugas khusus bagi Allah sebagaimana dalam firman-Nya,
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ [لقمان : 34]
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Luqman : 34)
Tak boleh bagi seseorang menyandarkan hujan kepada selain Allah dengan meyakini –misalnya- bahwa bintang tertentu yang menurunkan hujan atau bintang itu adalah sebab turunnya hujan.
Jelas ini adalah keyakinan batil, sebab bintang itu bukanlah pencipta dan pengatur alam semesta. Itu hanyalah tugas Allah.
Muncul atau hilangnya bintang, bukanlah sebab turunnya hujan, sebab tak ada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya yang menjelaskan bahwa bintang adalah sebab bagi turunnya hujan!!
Sangkaan batil seperti ini adalah kebiasaan kaum jahiliah dari kalangan Bangsa Arab Jahiliah, Yunani Kuno, Romawi, Babilonia dan lainnya.
& Meratapi Mayat (النِّيَاحَةُ)
Kebiasaan ini muncul saat terjadinya musibah kematian. Dahulu kaum jahiliah Quraisy bila kematian, maka mereka meraung-raung atas musibah itu, menyebut-nyebut kebaikan dan jasanya dimana-mana demi menunjukkan penyesalan atas kematian keluarga mereka, mendatangi pintu-pintu rumah sambil mengeluh dan menyebutkan keutamaan mayat seakan tak ridho dengan kepergiannya.
Diantara mereka ada yang menyiksa diri, merobek kerah baju, merusak barang-barang dan sebagainya. Biasa juga mereka kumpul bersama tetangga atau keluarga dalam melakukan acara duka cita dengan menyembelih hewan dan membuat makanan. Semua perkara ini adalah bentuk niyahah (ratapan) atas mayat.
Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda dalam mengecam perbuatan ini,
وَقَالَ : النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Orang yang meratap jika tidak bertobat sebelum matinya, maka akan dibangkitkan pada hari kiamat, sedang pada dirinya ada pakaian yang terbuat dari ter (aspal) dan pakaian dalam yang terbuat dari kudis”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 934)]
Al-Imam Zainuddin Al-Iroqiy –rahimahullah– berkata saat menjelaskan hikmah dan rahasia adanya siksaan keras lagi menghinakan ini, “Rahasia hal itu bahwa penyakit kudis adalah penyakit yang rasa sakitnya cepat, karena terlukanya kulit. Sedang ter (aspal) membuat nyala api semakin kuat”. [Lihat At-Taisir bi Syarh Al-Jami’ Ash-Shoghir (2/894) karya Al-Munawiy]
Tentu adanya siksaan seperti ini menunjukkan bahwa dosa ini besar di sisi Allah. Tak heran jika para ulama kita sepakat menyatakan haramnya niyahah (merapati mayat).
Al-Imam An-Nawawiy –rahimahullah– berkata, “Di dalam hadits ini terdapat dalil tentang haramnya niyahah dan itu disepakati atasnya”. [Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim (6/236), cet. Dar Ihya’ At-Turots Al-Arobiy, 1392 H]
Ini sebagian kebiasaan jahiliah yang harus kita jauhi, walaupun disana masih banyak diantara kebiasaan-kebiasaan buruk. Namun kami tak sempat menyebutkan semuanya, semoga nanti dalam pembahasan lain kami akan mengangkat hal itu, insya Allah. Kita berharap semoga kita dijauhkan dari kebiasaan buruk mereka.
—————————————————————————–