Bagikan...

Menyombongkan Diri telah Membinasakanmu

  • Oleh: Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc. hafizhahullah
  • [Pembina Ponpes Al-Ihsan Gowa]

Suatu perkara yang membuat sebagian orang jauh dari kebenaran dan tak mau rujuk kepadanya, adanya sifat sombong pada dirinya. Kesombongan itu telah bercokol dalam dirinya karena dilatari oleh beberapa sebab, seperti ia melihat dirinya lebih tinggi dan mulia, sedang orang lain lebih hina dan rendah di matanya!!

Lebih miris lagi, bila kesombongan menjadi pendorong bagi kita dalam membela kebatilan dan para pelakunya, seperti yang dilakukan oleh sebagian orang munafikin Indonesia; rela menolak kebenaran demi membela kekafiran dan pemeluknya. Di lain sisi, ketika Islam dan Al-Qur’an dilecehkan, malah ia tenang dan hatinya yang membatu tidak bergeming sedikitpun, bahkan memberikan pembelaan kepada kaum penghina Al-Qur’an, lalu selanjutnya berusaha dengan gigihnya menjatuhkan kredibilitas dan kedudukan tinggi para ulama umat.

Wahai si sombong sayangilah dirimu!! Sikapmu yang arogan tidak akan menolongmu di sisi Allah -Tabaroka wa Ta’ala-, sebagaimana Iblis dan Fir’aun justru hina akibat kesombongannya.

Kesombongan sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dalam sabdanya,

الْكِبْرُ: بَطْرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan memandang remeh orang lain”. [HR.Muslim dalam Shohih-nya (91)]

Menolak kebenaran dan memandang remeh orang lain lahir dari kesombongan, bahkan ia adalah kesombongan itu sendiri.

Kesombongan membuat orang jauh dari petunjuk Allah -Azza wa Jalla-. Itulah sebabnya Iblis membangkang perintah Allah untuk bersujud kepada Adam –alaihissalam-, sebab ia memandang remeh dan hina Nabi Adam dari sisi asal penciptaan.

Allah –Ta’ala– berfirman dalam mengisahkan kesombongan Iblis,

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ (75) قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ (76) قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ (77) وَإِنَّ عَلَيْكَ لَعْنَتِي إِلَى يَوْمِ الدِّينِ (78) قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (79) قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ (80) إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ (81) قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (82) إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ (83)  [ص/75-83]

“Allah berfirman: “Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu bersujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”.  Iblis berkata, “Aku lebih baik daripadanya. Karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah”.  Allah berfirman, “Maka keluarlah kamu dari surga; Sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk.  Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan”. Iblis berkata, “Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan”. Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat)”.  Iblis menjawab, “Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis (diberi keikhlasan) di antara mereka”. (QS. Shood : 75-83)

Lihatlah Iblis yang memandang remeh Nabi Adam dengan dalih aqli yang masih bisa dipatahkan dengan mudah. Tapi karena kesombongan di hatinya, maka ia lebih memilih tak bersujud sehingga ia pun diusir.

Ketika Iblis diusir, ia tak bertobat, bahkan ia menjadi-jadi dalam pembangkangan dan kesombongannya dalam menentang perintah dan petunjuk Allah –Azza wa Jalla-.

Subhanallah, demikianlah sifat orang-orang sombong, ia enggan menerima nasihat dan arahan, walapun ia jelas-jelas salah dan menentang kebenaran.

Sebaliknya, Adam saat bersalah, ia bertobat di hadapan Tuhan-nya sebagaimana yang Allah abadikan dalam Al-Qur’an,

قَالا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ  [الأعراف/23]

“Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Al-A’raaf : 23)

Demikianlah sifat orang yang diberi hidayah, ia bertobat dan meminta ampunan dosanya selama ini serta bersegera rujuk kepada kebenaran.

Para pembaca yang budiman, kesombongan adalah penyakit berbahaya yang dapat menjangkiti semua kalangan, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah.

Hendaknya setiap orang berusaha dan membiasakan diri menerima kebenaran dari siapa saja, baik dari orang yang lebih mulia, maupun dari orang yang lebih rendah darinya.

Semua kalangan, mungkin untuk dijangkiti penyakit sombong, baik itu pemerintah, maupun rakyat atau ustadz yang berilmu, maupun santri.

Ketahuilah kesombongan jangan dianggap remeh!! Seorang jangan tertipu bahwa dirinya adalah seorang ustadz atau ulama, lalu ia tak akan terjangkiti penyakit berbahaya ini. Tidaklah demikian, bahkan yang sering terjangkiti penyakit ini adalah orang-orang yang diberi kelebihan ilmu, atau harta benda, atau kedudukan, atau kekuasaan!!

Alangkah banyaknya orang-orang yang berilmu dari kalangan ulama dan ustadz yang menyangka dirinya memiliki segudang ilmu, namun di saat ia diuji dengan kebenaran yang datang dari orang yang lebih rendah daripada dirinya dari sisi ilmu, maka ia serta-merta menolak kebenaran, walapun nyata-nyata ia salah. Sikap meremehkan orang lain, membuatnya gengsi menerima dan rujuk kepada al-haqq (kebenaran).

Al-Imam Sufyan bin Uyainah Al-Kufiy rahimahullah– berkata, 

ليس العاقل الذي يعرف الخير والشر، وإنما العاقل الذي إذا رأى الخير اتبعه وإذا رأى الشر اجتنبه” (الحلية) (8 / 339)

“Bukanlah orang yang berakal itu adalah orang yang sekedar mengetahui kebaikan dan keburukan. Hanyalah orang yang berakal itu adalah orang yang bila melihat kebenaran, maka ia mengikutinya; jika ia melihat keburukan, maka ia jauhi”. [Lihat Hilyah Al-Auwliya’ (8/339)]

Orang-orang yang berilmu seperti ini kadang tidak menyadari dirinya telah terjerumus dalam kubang kesombongan, sehingga ia pun berusaha mendatangkan berbagai argumen dan dalih yang amat lemah demi menguatkan pendapatnya.

Selayaknya orang yang berilmu, semakin tawadhu di saat ilmu bertambah, bukan semakin sombong. Inilah tanda kebahagiaan seorang hamba.

Hanya saja sebagian orang-orang yang binasa dengan kesombongannya, bila ia diberi ilmu tentang Al-Kitab dan Sunnah, maka iapun semakin tinggi hati, sombong dan congkak, sehingga ia tak mau menerima nasihat dan kebenaran dari orang lain.

Ini adalah tanda kesengsaraan seorang hamba. Orang sombong seperti ini biasanya berlagak layaknya seorang nabi yang tak pernah salah.

Orang yang sombong dengan ilmunya,  jika ia keliru, maka ia akan berusaha mencari-cari dalil bagi pendapat batilnya, bukan malah rujuk kepada pendapat yang haqq (benar).

Prinsipnya, semua pendapat orang salah, kecuali yang bersesuaian dengan pendapatnya. Subhanallah, orang yang lebih baik saja daripada dirinya tak pernah berkata demikian.

Ya, demikianlah kesombongan menguasai hatinya dan merusaknya sehingga yang haqq, ia anggap batil, lalu yang batil ia anggap haqq.

Al-Imam Abu Abdillah Ibnu Qoyyim Al-Jawziyyah -rahimahullah- berkata dalam kitabnya Al-Fawa’id,

من علامات السعادة والفلاح: أنَّ العبد كُلَّما زيدَ في عِلْمِه زِيْدَ في تواضعهِ ورَحْمَتِهِ، وكُلَّما زِيدَ في عملهِ زِيدَ في خَوْفِهِ وحذَرِهِ، وكُلَّما زِيدَ في عمرهِ نَقَصَ مِنْ حِرْصِهِ، وكُلَّما زِيدَ في مالهِ زِيْدَ في سَخَائِهِ وبذلهِ، وكُلَّما زيدَ في قَدْرِهِ وَجَاهِهِ زيدَ في قُرْبِهِ مِنَ النَّاسِ وقضاءِ حوائجهم والتَّواضع لهم.

“Diantara tanda-tanda kebahagian dan keberuntungan bahwa seorang hamba, setiap kali diberi tambahan ilmu, maka ia pun diberi tambahan tawadhu’ dan kasih sayangnya. Setiap kali diberi tambahan ilmu, maka ia pun diberi tambahan sifat takut dan waspada. Setiap kali diberi tambahan umur, maka sikap rakusnya berkurang. Setiap kali ia diberi tambahan harta, maka diberi tambahan sifat pemurah dan berkorban. Setiap kali ia diberi tambahan kemuliaan dan kedudukan, maka ia diberi tambahan kedekatan kepada manusia dan ia semakin memenuhi hajat-hajat manusia serta tawadhu’ (rendah diri) kepada mereka.

Tanda-tanda kesengsaraan (bagi seorang hamba) adalah setiap kali diberi tambahan ilmu, maka ia diberi tambahan kesombongan dan kesesatan. Setiap kali ia diberi tambahan amalan, maka ia diberi tambahan kebanggaan dan perendahan terhadap manusia serta berbaik sangka pada diri sendiri. Setiap kali diberi tambahan umur, maka ia diberi tambahan kerakusan. Setiap kali ia diberi tambahan harta benda, maka ia diberi tambahan kebakhilan dan penahanan harta. Setiap kali ia diberi tambahan kemuliaan dan kedudukan, maka ia diberi tambahan kesombongan dan kesesatan.

Perkara-perkara ini adalah ujian dan cobaan dari Allah yang Allah menguji dengannya para hamba-Nya. Lantaran itu, berbahagialah karenanya beberapa kaum dan sengsara karenanya beberapa kaum”. [Lihat Al-Fawa’id (hal. 155), oleh Ibnul Qoyyim, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1393 H]

Berbangga dengan ilmu yang diperoleh merupakan tanda kesombongan pada diri seorang penuntut ilmu. Penyakit ini banyak menimpa para penuntut ilmu syar’i.

 

Semua itu menunjukkan tanda kejahilannya. Walaupun banyak ilmu yang ia tulis, dengar dan hafal, namun hakikatnya ia adalah orang yang jahil. Apalah gunanya seorang bergelar “Al-Ustadz” atau “Al-Faqih” dan “Al-Muhaddits”, sementara ia direndahkan oleh sifat hina pada dirinya berupa sifat sombong, takjub dan bangga diri dengan ilmunya?!