Hati manusia selalu membutuhkan nasihat. Karena hati itu ibarat tanah yang tandus; ia akan kering tanpa nasihat. Nah, untuk menghidupkannya, maka ia memerlukan siraman nasihat yang berisi arahan dan peringatan yang membuahkan kebaikan bagi pemiliknya.
Lantaran itu, setiap muslim –siapapun orangnya- hendaknya selalu memberi nasihat kepada orang lain yang membutuhkannya. Boleh jadi sekeping dan sepotong nasihat, menjadi sebab perubahan bagi orang lain dari keburukan dan kelalaian menuju kepada kebaikan dan ketaatan kepada Allah –azza wa jalla-.
Berapa banyak orang-orang yang dahulunya dikenal sebagai orang fasik dan buruk, tapi ia berubah setelah mendapatkan nasihat dari seseorang yang prihatin kepadanya.
Disana, ada sebuah kisah indah nan menarik tentang seorang pemuda yang malas belajar ilmu agama dan kerjanya hanya menghabiskan waktunya untuk bermain bola. Namun setelah ia mendapatkan nasihat dari seorang alim, haluan hidupnya berubah total dari keadaan sebelumnya.
Anak muda itu di kemudian hari menjadi seorang ulama di negerinya pada masa hidupnya. Beliau adalah Al-Imam Al-Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Auf bin Sufyan Ath-Tho’iy Al-Himshiy, seorang perawi hadits yang tsiqoh.
Al-Khollal –rahimahullah- berkata,
“هو إمام حافظ في زمانه معروف بالتقدم في العلم والمعرفة.” اهـ من تهذيب التهذيب (9/ 384)
“Dia (Muhammad bin ‘Auf Ath-Tho’iy) adalah seorang imam hafizh (penghafal hadits) di zamannya; dikenal tentang keterdepanannya dalam ilmu dan pengetahuan.” [Lihat Tahdzib At-Tahdzib (9/384), karya Ibnu Hajar]
Sekarang ada baiknya kita kisahkan cerita hidup beliau dan awal perubahan haluan hidup beliau, sehingga menjadi seorang ulama besar dan hafizh (penghafal hadits) yang dikenal ke-tsiqoh-annya, sekaligus ahli tajwid.
Al-Imam Al-Hafizh Abu Abdillah Adz-Dzhabiy –rahimahullah- membawakan kisah beliau di dalam Siyar A’lam An-Nubala’ (12/614-615) :
Muhammad bin ‘Auf -rahimahullah- berkata,
“كُنْتُ أَلعب فِي الكَنِيْسَة بِالكرَة وَأَنَا حَدَّث، فَدَخَلتِ الكرَة، فَوَقَعت قرب المُعَافَى بن عِمْرَانَ الحِمْصِيّ، فَدَخَلت لأَخذهَا، فَقَالَ: ابْنُ مَنْ أَنْتَ؟
قُلْتُ: ابْن عَوْف بن سُفْيَان.
قَالَ: أَمَا إِنَّ أَبَاك كَانَ مِنْ إِخْوَاننَا، فَكَانَ___مِمَّنْ يَكْتُب مَعَنَا الحَدِيْث وَالعِلْم، وَالَّذِي كَانَ يُشْبِهُك أَنْ تتبع مَا كَانَ عَلَيْهِ وَالِدك.
فَصِرْتُ إِلَى أُمِّي، فَأَخبرتهَا، فَقَالَتْ: صدق، هُوَ صَدِيْق لأَبيك.
فَأَلبستَنِي ثوبَا وَإِزَاراً، ثُمَّ جِئْت إِلَى المعَافَى، وَمَعِي محبرَة وَورق، فَقَالَ لِي: اكْتُبْ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيْلُ بنُ عَيَّاشٍ، عَنْ عبد رَبّهُ بنُ سُلَيْمَانَ، قَالَ: كتبت لِي أُمّ الدَّرْدَاء فِي لَوْحِي: اطلبُوا العِلْم صِغَاراً، تَعْمَلُوا بِهِ كِبَاراً، فَإِنَّ لِكُلِّ حَاصد مَا زرع.” اهـ من سير أعلام النبلاء ط الرسالة (12/ 614_615)
“Dahulu aku pernah bermain bola di sebuah gereja, sedangkan (waktu itu) aku masih muda. Kemudian bola itu pun masuk (ke sebuah majelis ilmu), lalu terjatuh di dekat Al-Mu’afa bin ‘Imron Al-Himshiy (seorang ulama hadits dari Himsh) .
Kemudian aku pun masuk mengambilnya. Beliau (Al-Mu’afa bin ‘Imron) bertanya, “Anak siapakah engkau?”
Aku (Muhammad bin ‘Auf) katakan, “Anaknya ‘Auf bin Sufyan.”
Beliau (Al-Mu’afa bin ‘Imron) berkata, “Ingatlah, sungguh ayahmu dahulu termasuk kawan-kawan kami dari kalangan orang-orang yang menulis hadits dan ilmu bersama kami. Nah, perkara yang pantas bagimu adalah engkau mengikuti jejak ayahmu.”
Akhirnya, aku pun segera menuju ibuku, seraya mengabari beliau (tentang nasihat Al-Mu’afa).
Ibuku berkata, “Beliau (Al-Mu’afa) telah benar. Beliau memang sahabat ayahmu.”
Kemudian ibuku mengenakan pakaian dan sarung kepadaku, lalu aku datang kepada Al-Mu’afa, sedang bersamaku pena dan kertas.
Beliau (Al-Mu’afa) berkata kepadaku, “Tulislah : ‘Telah menceritakan kepadaku Isma’il bin ‘Ayyasy dari Abdu Robbih bin Sulaiman, ia berkata, ‘Ummud Darda’ pernah menuliskan untukku di sebuah papan : “
“اطلبُوا العِلْم صِغَاراً، تَعْمَلُوا بِهِ كِبَاراً، فَإِنَّ لِكُلِّ حَاصد مَا زرع“
“Carilah ilmu agama semasa kecil, niscaya engkau akan mampu beramal dengan ilmu semasa tua. Karena, setiap orang yang memanen akan memperoleh apa yang ia dahulu tanam.”
Subhanallah, sebuah nasihat ringkas yang tertanam kuat di hati dan pikiran Muhammad bin ‘Auf Ath-Tho’iy –rahimahullah- semasa muda; nasihat yang mengubah haluan hidup yang hanya gemar bermain bola, selanjutnya menjadi pemacu semangat beliau untuk belajar ilmu agama kepada ulama-ulama di masa beliau, sampai beliau menjadi salah satu di antara deretan perawi hadits yang akan abadi nama dan sejarahnya sepanjang masa sampai kiamat tegak, insya Allah.
Di antara murid-murid beliau yang terkenal adalah Al-Imam Abu Dawud As-Sijistaniy (Penulis Sunan Abi Dawud), Abu Zur’ah Ar-Roziy, Abu Hatim Ar-Roziy, An-Nasa’iy (dalam Musnad Ali), Abu Zur’ah Ad-Dimasyqiy, Ibnu Abi Dawud, dan Ibnush Sho’id, Ibnu Abi ‘Ashim Asy-Syaibaniy, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Ishaq Ash-Shoghoniy, dan lain-lainnya.
Pelajaran & Ibroh dari Kisah ini :
1). Nasihat adalah perkara penting dalam kehidupan bermasyarakat.
2). Dengan nasihat, terbangun sebuah bangsa yang bermartabat.
3). Kehidupan setiap orang bisa berubah dari keburukan kepada kebaikan. Karena itu, jangan pernah kita berputus asa dalam mengusahakan kebaikan bagi saudara dan kawan kita.
4). Sekeping nasihat amat berharga bagi seorang hamba dalam membentuk karakter dan haluan hidupnya pada masa depan.
5). Terkadang hidayah itu datang dari arah yang tak disangka. Karena itu, jadilah penyebab terbukanya hidayah bagi orang lain melalui arahan-arahan dan bimbinganmu.
6). Pentingnya orang tua membantu dan mengarahkan anaknya kepada kebaikan saat muncul pada diri anak kecenderungan kepada kebaikan serta selalu mendoakannya.
7). Keutamaan dan pentingnya seorang anak diingatkan tentang jejak pendahulu dan orang tuanya dalam kebaikan.
—————————————————————————–