Niat Adalah Syarat Sah Puasa
Tidak diragukan lagi bahwa niat merupakan syarat sah puasa dan seluruh jenis ibadah lain sebagaimana penegasan Rasululllah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Umar bin Khaththab radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَىَ
“Sesungguhnya, setiap amalan hanyalah bergantung kepada niatnya, dan setiap orang hanyalah mendapatkan sesuai hal yang ia niatkan.”
Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya benar-benar memperhatikan masalah niat ini, yang merupakan tolak ukur penerimaan amalan yang ia kerjakan.
Selain itu, tatkala akan berpuasa, seorang muslim hendaknya berniat dengan sungguh-sungguh, dan bertekad untuk berpuasa secara ikhlash karena Allah Ta’âla.
Letak Niat
Niat tempatnya di dalam hati dan tidak dilafazhkan menurut kesepakatan ulama fiqih dan bahasa. Hal ini dapat dipahami dari hadits di atas.
Waktu Pelaksanaan Niat
Dalam hal ini, ada tiga perkara yang perlu diperhatikan:
Pertama, orang yang akan berpuasa diwajibkan untuk berniat semenjak malam hari, yaitu setelah matahari terbenam sampai fajar Shubuh terbit.
Kedua, kewajiban berniat sejak malam hari ini merupakan hal umum terhadap puasa wajib maupun puasa sunnah menurut pendapat yang lebih kuat dari kalangan ulama.
Ketiga, berniat sekali saja untuk sebulan tidak dibenarkan, tetapi harus berniat setiap malam menurut pendapat yang lebih kuat.
Tiga hal di atas berdasarkan nash tegas,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak berniat puasa sejak malam hari, tidak ada puasa baginya.” [1]
Hukum terhadap Seseorang yang Terlambat Menerima Berita Masuknya Ramadhan
Apabila masuknya 1 Ramadhan telah pasti dan beritanya tidak diterima, kecuali pada pertengahan hari, seseorang hendaknya segera berpuasa sampai maghrib, walaupun telah makan atau minum sebelumnya, dan tidak ada kewajiban qadha atasnya. Hal tersebut sebagaimana dalam hadits Salamah Ibnul Akwa’ radhiyallâhu ‘anhu, riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, bahwa beliau berkata,
بَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَأَمَرَهُ أَنْ يُؤْذِنَ فِي النَّاسِ مَنْ كَانَ لَمْ يَصُمْ فَلْيَصُمْ وَمَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ صِيَامَهُ إِلَى اللَّيْلِ
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang laki-laki dari suku Aslam pada hari Asyura (10 Muharram,-pent.) dengan hal memerintahkannya untuk mengumumkan kepada manusia bahwa barangsiapa yang belum berpuasa, hendaknya ia berpuasa, dan barangsiapa yang telah makan, hendaknya dia menyempurnakan puasanya sampai malam hari.”
Hadits di atas berlaku juga pada puasa Ramadhan karena puasa Âsyura, pada 10 Muharram, adalah puasa wajib kaum muslimin sebelum puasa Ramadhan diwajibkan terhadap mereka.
[1] Diriwayatkan secara marfu’ dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang lemah, namun telah tetap dengan sanad yang shahih dari perkataan Ibnu Umar dan Hafshah radhiyallâhu ‘anhumâ, dan konteksnya mempunyai hukum marfu’, yaitu hukumnya sama dengan hadits yang diucapkan langsung oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.