Bagikan...

Qona'ah, Perbendaharaan Seluas Samudra

  • Oleh: Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc. hafizhahullah
  • [Pembina Ponpes Al-Ihsan Gowa]

Hidup di zaman modern ini, kebanyakan manusia cenderung membutuhkan banyak fasilitas dan sarana yang dapat membahagiakan dirinya, sehingga sebagian orang merasa sempit hatinya saat melihat orang-orang yang diberi karunia oleh Allah berupa berbagai macam harta benda dan fasilitas.

Dia pun menyangka bahwa itulah kekayaan yang hakiki. Sebaliknya, ia menyangka dirinya yang tidak memiliki semua itu adalah miskin dan fakir.

Benarkah semua itu? Tentu saja ini tak benar, sebab kekayaan hakiki bukanlah dengan banyaknya harta benda, tapi kelapangan hati yang dimiliki oleh seorang hamba. Itulah yang kita kenal dalam agama dengan sifat QONA’AH (merasa puas dan cukup dengan pemberian Allah)

Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda kepada Abu Dzarr –radhiyallahu anhu-,

يا أبا ذر ، أترى كثرة المال هو الغنى ؟ قلت : نعم يا رسول الله . قال : فترى قلة المال هو الفقر ؟ قلت : نعم يا رسول الله . قال : إنما الغنى غنى القلب ، و الفقر فقر القلب

“Wahai Abu Dzarr, apakah engkau mengira bahwa banyaknya harta adalah kekayaan?” Aku (Abu Dzarr) katakan, “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda lagi, “Apakah engkau mengira bahwa sedikitnya harta benda adalah kefakiran?”. Aku (Abu Dzarr) katakan, “Ya wahai Rasulullah”. Beliau bersabda, “Hanyalah kekayaan itu (hakikatnya) adalah kekayaan hati dan kefakiran itu (hakikatnya) adalah kefakiran hati”. [HR. Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (685), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (4/327/no. 7929) dan Ath-Thobroniy dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (1643) serta yang lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (827)]

Kemiskinan hati dan kefakirannya, itulah hakikat kefakiran. karena orang yang berhati fakir selalu merasakan dirinya kurang dunianya, sehingga iapun selalu merasa untuk selalu butuh kepada harta benda dunia dan bersandar padanya.

Para pembaca yang budiman, kefakiran hati hakikatnya adalah kosongnya hati dari rasa selalu butuh kepada Allah dalam segala kondisinya dan jauhnya hati dari melihat kebutuhannya yang sempurna kepada Allah –Ta’ala– dari segala sisi. [Lihat Madarij As-Salikin (2/36)]

Orang-orang seperti ini akan diperbudak oleh dunia. Jika dunia pergi dan hilang, maka ia pun pusing, sakit dan lemah. Seakan dunia itulah segalanya. Padahal dunia bukanlah segalanya. Dunia berada dalam kekuasaan Allah –Azza wa Jalla-.

Jika seorang hamba menyadari hal ini, maka kesempitan hatinya akan sirna. Sebab, ia tahu bahwa segala sesuatu ada dalam ketentuan dan pengaturan Pencipta. Segala kebutuhan hamba telah diatur oleh Allah. Dia-lah yang memberi dan Dia pula yang menahan sesuatu dari hamba-Nya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy rahimahullah– berkata, “Kekayaan jiwa dengan kayanya hati, dengan cara butuhnya hati kepada Robb-nya dalam segala urusannya, sehingga ia pun meyakini bahwa Dia-lah Yang Maha Memberi dan Menahan. Karenanya, ia pun ridho dengan ketentuan-Nya dan bersyukur atas segala nikmat-Nya serta kembali kepada-Nya dalam menyingkap segala kesusahannya. Akhirnya, dari kefakiran (kebutuhan) hatinya kepada Robb-nya, timbullah ketidakbutuhan kepada selain Robb-nya -Ta’ala-“. [Lihat Fathul Bari (11/273)]

Disinilah rahasianya orang-orang sholih dahulu, mereka selalu meminta dan mengharap kepada Allah.

Kita semua butuh kepada Allah. Apa saja yang kita inginkan, maka mintalah kepada Allah, jangan merengek kepada makhluk.

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ  [فاطر : 15]

“Hai manusia, kalianlah yang fakir (butuh) kepada Allah; dan Allah, Dia-lah Yang Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji”. (QS. Fathir : 15)

Jika hakikat ini diketahui oleh seorang hamba, maka ia akan merasakan kelapangan hati dan berbahagia. Sebab, ia telah memiliki qona’ah (perasaan kecukupan) dengan pemberian yang ia peroleh dari Allah. Sifat qona’ah (puas dengan pemberian Allah) laksana samudra luas tak bertepi. Siapa yang memilikinya, maka hatinya akan lapang seluas samudra, dan semurah samudra yang banyak mengandung ikan dan permata berharga bagi manusia.

Seorang yang berhias qona’ah tak akan iri, benci dan marah kepada orang-orang yang lebih dari dirinya. Bahkan ia akan selalu bersyukur atas apa yang ada di sisinya.

Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاه

“Sungguh telah beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezki yang pas-pasan dan Allah berikan kepadanya rasa cukup (qona’ah) pada (nikmat) yang Allah berikan kepadanya”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1054)]

Al-Imam Abul Abbas Al-Qurthubiy –rahimahullah– berkata, “Maknanya hadits ini bahwa barangsiapa yang tercapai baginya hal-hal itu, maka sungguh ia telah meraih cita-citanya dan mendapatkan sesuatu yang ia harapkan di dunia dan akhirat”. [Lihat Ad-Dibaj Syarh Shohih Muslim Ibnil Hajjaj (3/137) karya As-Suyuthiy]

Inilah kekayaan hati dan kelapangannya. Hati tidaklah memerintahkan pemiliknya untuk rakus dan loba terhadap harta benda dunia, sehingga ia pun akhirnya tidak puas dengan pemberian Allah –Ta’ala-.

Seorang yang tak pernah puas dan bersyukur atas karunia Allah yang ia dapatkan, maka ia akan merasakan kemiskinan hati dan kesempitan. Barangsiapa yang puas dengan karunia dan nikmat yang diberikan kepadanya –walaupun itu sedikit-, maka ia adalah manusia yang paling kaya hatinya!!

Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,

مَنْ يَأْخُذُ عَنِّي هَؤُلاَءِ الكَلِمَاتِ فَيَعْمَلُ بِهِنَّ أَوْ يُعَلِّمُ مَنْ يَعْمَلُ بِهِنَّ ؟ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ : فَقُلْتُ : أَنَا يَا رَسُولَ اللهِ ، فَأَخَذَ بِيَدِي فَعَدَّ خَمْسًا وَقَالَ : اتَّقِ الْمَحَارِمَ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ ، وَارْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ ، وَأَحْسِنْ إِلَى جَارِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا ، وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُسْلِمًا ، وَلاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ القَلْبَ

“Siapakah yang mau mengambil kalimat-kalimat itu lalu ia amalkan ataukah ia ajarkan kepada orang yang mau mengamalkannya?” Abu Hurairah berkata, “Aku pun katakan, “Saya, wahai Rasulullah!!” Beliau memegang tanganku seraya menyebutkan lima perkara dan bersabda,

“Jauhilah perkara-perkara yang diharamkan, niscaya kamu akan menjadi manusia yang paling taat; ridhoilah sesuatu yang Allah bagikan kepadamu, niscaya kamu akan menjadi manusia yang paling kaya; berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya kamu akan menjadi mukmin; cintailah bagi manusia sesuatu yang engkau cintai untuk dirimu, niscaya kamu akan menjadi muslim; dan janganlah engkau memperbanyak tertawa. Karena, banyak tertawa akan mematikan hati”. [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (no. 2305). Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami’ Ash-Shoghier (no. 100)]

“Sesungguhnya barangsiapa yang merasa puas (dengan pemberian Allah), maka pasti ia kaya (tak butuh kepada harta benda orang lain). Kekayaan itu (hakikatnya) bukanlah karena banyaknya harta benda. Akan tetapi kekayaan itu adalah kekayaan hati.

Qona’ah (puasnya) hati (dengan pemberian Allah) adalah kekayaan dan kemuliaan karena Allah. Lawannya adalah kefakiran dan kehinaan di hadapan orang lain.

Barangsiapa yang tidak qona’ah (merasa cukup dan puas dengan pemberian Allah), maka ia tak akan pernah merasa kenyang selamanya.

Jadi, di dalam qona’ah terdapat kemuliaan, kekayaan dan kebebasan. Di saat hilangnya qona’ah, akan timbul kehinaan dan perbudakan kepada selain Allah.

Celakalah hamba dunia dan hamba dinar. Jadi, haruslah bagi setiap orang yang berakal untuk mengetahui bahwa rezki itu berdasarkan pembagian, bukan berdasarkan ilmu dan pikiran manusia”. [Lihat Faidhul Qodir (1/124)]

Disinilah seorang hamba tak boleh berputus asa dari mencari rezki yang halal dan tidak boleh merasa sombong bahwa segala jerih payahnya adalah hasil pikiran dan ilmu yang miliki.

Apa yang yang kita dapatkan, maka itulah rezki yang kita harus ridhoi dan syukuri. Apa saja yang tidak bisa kita jangkau setelah berusaha, maka kita berbaik sangka kepada Allah bahwa itulah bagian yang telah Dia tetapkan.