Salah satu diantara keindahan Islam, syariatnya memberikan kelonggaran dalam perkara yang sulit dan berat untuk dilakukan.
Keindahan ini akan tampak bila kita membuka lembaran hadits-hadits nabawiyyah. Itulah syariat yang mudah lagi terjangkau.
Bila seseorang memiliki udzur, maka ia berusaha melakukan sesuatu dari syariat ini dengan semampunya, yakni berusaha mendekati yang diharapkan, jangan sampai teledor dan meninggalkan ketaatan.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا
“Sesungguhnya agama ini adalah mudah. Tak ada yang mempersulit agama, kecuali ia terkalahkan. Karena itu, berlaku luruslah (tepat) dan berusahalah mendekati (yang diperintahkan)”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 39)]
Al-Imam Abu Bakr As-Suyuthiy –rahimahullah– berkata,
”سَمَّاهُ يُسْرًا مُبَالَغَةً بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْأَدْيَانِ قَبْلَهُ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى رَفَعَ عَنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ الْإِصْرَ الَّذِي كَانَ عَلَى مَنْ قَبْلَهُمْ وَمِنْ أَوْضَحِ الْأَمْثِلَةِ لَهُ أَنَّ تَوْبَتَهُمْ كَانَتْ بِقَتْلِ أَنْفُسِهِمْ وَتَوْبَةُ هَذِهِ الْأُمَّةِ بِالْإِقْلَاعِ_والعزم والندم.” حاشية السندي على سنن النسائي (8/ 121_122)
“Beliau menamai agama ini dengan kemudahan -sebagai bentuk penjelasan serius- dibandingkan dengan agama-agama sebelumnya. Karena Allah -Ta’ala- telah menghilangkan dari umat ini segala beban berat yang ada dipundak umat-umat sebelum mereka. Contoh yang paling gamblang untuk hal ini, tobat mereka (umat-umat terdahulu) adalah dengan cara bunuh diri, sedang tobatnya umat ini dengan cara meninggalkan dosa, berkeinginan kuat meninggalkannya dan menyesalinya”. [Lihat Hasyiyah As-Sindiy ala Sunan An-Nasa’iy (8/121), tahqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah, cet. Maktab Al-Mathbu’at Al-Islamiyyah, 1406 H]
Dengarlah seorang sahabat yang mulia, Abu Nujaid Imron bin Husain Al-Khuza’iy -radhiyallahu anhu- berkata,
كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Dulu aku terkena penyakit bawasir (ambeien). Karenanya, aku bertanya kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tentang sholat. Beliau bersabda, “Sholatlah dengan posisi berdiri. Jika tak mampu (dengan posisi berdiri), maka sholatlah dengan posisi duduk. Jika tak mampu juga, maka sholatlah dengan berbaring”. [HR. Al-Bukhoriy dalam shohih-nya (no. 1117)]
Hadits ini menunjukkan bahwa bila seseorang memiliki penyakit yang menyebabkan beratnya seseorang sholat secara normal dan sempurna, maka boleh baginya sholat sambil duduk.
Bila penyakitnya lebih parah sehingga duduk pun tak bisa, maka jalan terakhir ia berbaring. Inilah rukhshoh (keringanan) bagi yang tak mampu dan memiliki udzur sebagai bentuk kasih sayang dan kemudahan dari Allah -Azza wa Jalla-.
Para pembaca yang budiman, rukhsoh dan kemudahan seperti ini kadang ditinggalkan dan tidak diperhatikan oleh sebagian kaum muslimin sehingga kadang ia memaksakan diri saat beribadah dan sholat kepada Allah -Ta’ala-.
Sebagian orang saat ia sakit, ia mengambil bantal, lalu ia bersujud di atasnya. Ada juga yang menggunakan benda lain, misalnya kain atau kapas yang lilit di kepala sehingga saat sujud, ia tak terlalu merasakan sakit kepala yang berlebihan atau rasa dingin pada lantai yang ia tempati bersujud.
Semua ini adalah bentuk ghuluw (berlebihan) dalam beragama. Bila tak mampu sujud, hendaknya seseorang menggerakkan kepala dan mengisyaratkannya. Kejadian seperti ini pernah terjadi di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Abdullah bin Umar -radhiyallahu anhuma– berkata,
عَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلا مِنْ أَصْحَابِهِ مَرِيضًا , وَأَنَا مَعَهُ , فَدَخَلَ عَلَيْهِ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى عُودٍ , فَوَضَعَ جَبْهَتَهُ عَلَى الْعُودِ , فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَطَرَحَ الْعُودَ وَأَخَذَ وِسَادَةً , فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:دَعْهَا عَنْكَ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَسْجُدَ عَلَى الأَرْضِ , وَإِلا فَأَوْمِئْ إِيمَاءً , وَاجْعَلْ سُجُودَكَ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوعِكِ
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah menjenguk seorang lelaki dari kalangan sahabatnya yang sakit, sedang aku menyertai beliau. Beliau masuk menemui orang itu, sedang ia dalam keadaan sholat pada sebuah batang kayu, lalu ia meletakkan dahinya di atas kayu tersebut. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- memberikan isyarat kepadanya (agar ia membuang kayu itu), lalu ia pun membuangnya dan mengambil sebuah bantal. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Jauhkan bantal itu darimu, bila engkau mampu bersujud di atas tanah. Jika tidak, maka berisyaratlah dengan suatu isyarat dan jadikan sujudmu lebih rendah dibandingkan rukukmu”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (13082). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (323)]
Mayoritas ulama membenci seorang yang bersujud di atas sesuatu yang diangkat ke dahinya berupa bantal, batang kayu dan sejenisnya.
Al-Imam Malik bin Anas Al-Ashbahiy –rahimahullah– berkata tentang orang sakit yang tak mampu bersujud,
“ولا يرفع إلى جبهته شيئاً يسجد عليه، ولا ينصب بين يديه شيئاً يسجد عليه،.” اهـ من التهذيب في اختصار المدونة (1/ 245) لخلف بن أبي القاسم محمد، الأزدي القيرواني، المعروف بأبي سعيد ابن البراذعي المالكي
“Dia tak boleh mengangkat sesuatu apapun ke dahinya dan tak pula memasang bantal di depannya, serta tidak pula sesuatu yang ia tempati bersujud”. [Lihat At-Tahdzib fi Ikhtishor Al-Mudawwanah (1/93/no. 152)]
Seorang yang sakit saat bersujud tidak dianjurkan mengangkat sesuatu ke dahinya, sedang sesuatu tersebut tidak bersentuhan dengan tanah.
Al-Imam Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata,
“وَلَا يَرْفَعُ إلَى جَبْهَتِهِ شَيْئًا لِيَسْجُدَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يُقَالُ لَهُ سَاجِدٌ حَتَّى يَسْجُدَ بِمَا يَلْصَقُ بِالْأَرْضِ.” اهـ من الأم (1/ 100) لمحمد بن إدريس بن العباس بن عثمان بن شافع بن عبد المطلب بن عبد مناف المطلبي القرشي (المتوفى: 204هـ)
“Dia (si sakit) tak boleh mengangkat ke dahinya sesuatu apapun agar ia bisa bersujud di atasnya, karena ia tak dinamai orang yang bersujud sehingga ia bersujud pada sesuatu yang menyentuh tanah”. [Lihat Al-Umm (1/100), cet. Dar Al-Fikr, 1403 H]
Jadi, seorang yang sakit tidaklah memaksakan diri saat sholat. Bila ia mampu bersujud, maka ia bersujud di atas lantai, namun tanpa menggunakan bantal atau kayu untuk memudahkan gerakan sujudnya.
Sebab perkara seperti ini tak ada contohnya dari para salaf (pendahulu) kita dari kalangan sahabat dan pengikutnya.
Apalagi bila bantal, kayu, tanah atau benda lainnya diangkat dan disentuhkan ke dahi saat sujud sehingga benda-benda itu tak bersentuhan dengan tanah.
Sebagian orang ada yang berpendapat bahwa boleh menggunakan bantal selama tak diangkat dari tanah.
Namun pendapat ini lemah karena hadits di atas tidaklah mengisyaratkan bolehnya hal itu, bahkan melarang menggunakan bantal, walaupun menyentuh tanah.
Karena, semua itu menunjukkan adanya sikap memaksakan diri dan meninggalkan rukhsoh. Bila tak mampu, bersujud langsung ke tanah, sebaiknya berisyarat saja dengan badan dan kepala. Wallahu a’lam.
Umar bin Muhammad berkata,
“Kami pernah masuk menemui Hafsh bin Ashim demi menjenguknya karena suatu penyakit. Dia (Umar) berkata, “Lalu ia menceritakan (sebuah hadits) seraya berkata, “Pamanku, Abdullah bin Umar pernah masuk menemuiku”. Dia (Hafsh) berkata, “Dia mendapatiku telah memotong sebuah bantalku”. Dia (Hafsh) berkata, “Aku hamparkan di atasnya suatu tikar kecil, lalu aku bersujud di atasnya. Beliau (Abdullah bin Umar) berkata kepadaku,
يَا ابْنَ أَخِي، لا تَصْنَعْ هَذَا، تَنَاوَلِ الأَرْضَ بِوَجْهِكَ، فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْعَلَى ذَلِكَ فَأَوْمِئْ بِرَأْسِكَ إِيمَاءً
“Wahai keponakanku, jangan kamu lakukan ini, sentuhkanlah wajahmu ke tanah. Jika kamu tak mampu melakukan hal itu, maka berisyaratlah dengan kepalamu”. [HR. Abu Awanah dalam Al-Mustakhroj (2/338/no. 1879)]
Sahabat Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu anhu- pernah masuk menemui saudaranya yang bernama Utbah demi menjenguknya yang waktu itu sedang sakit.
Beliau mendapatinya sedang bersujud di atas sebuah batang kayu, lalu beliau membuang kayu itu seraya berkata,
إنَّ هذا شَيْءٌ عَرَضَ بِهِ الشَّيْطَانُ ضَعْ وَجْهَكَ عَلَى اْلأَرْضِ فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَأَوْمِئْ إِيْمَاءً
“Sesungguhnya ini adalah sesuatu yang didatangkan oleh setan. Letakkanlah wajahmu di atas tanah. Jika kamu tak mampu, maka berisyaratlah dengan suatu isyarat”. [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (no. 3829) dan Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnaf (2/472)]
Inilah perkara yang sejalan dengan kemudahan Islam, sebab Islam datang untuk menghilang kesusahan dan sesuatu yang memberatkan dari seorang yang sakit dalam sholatnya.
Sementara Allah tidaklah membebani suatu jiwa, kecuali yang ia mampui.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah menjelaskan dalam perbuatan dan sabdanya, terhilangkannya sesuatu yang memberatkan bagi orang yang sakit dalam sholatnya dan ia boleh duduk.
Namun ia tidak boleh mengangkat sesuatu dari tanah lalu ia tempati bersujud. Beliau telah memerintahkan para sahabat bila seorang diantara mereka sakit agar ia sholat sesuai kemampuan.
Bahkan beliau melarang para sahabatnya bersujud di atas batang kayu, dan bantal.
Tak ragu lagi bahwa sujud di atas bebatuan, batang kayu, bantal dan sejenisnya, di dalamnya terdapat keserupaan dengan para penyembah berhala, arca, dan para ahli bid’ah dan ahli khurofat, seperti kaum Syi’ah yang mengada-ada dalam hal bersujud di atas lempengan tanah yang mereka ambil dari tanah Karbala’ di Irak.
Terakhir, perlu kami jelaskan, pembahasan ini jangan dipahami bahwa agama melarang sholat di atas tikar.
Tidak demikian, boleh saja sebagaimana Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah sholat di atas tikar. Anas -radhiyallahu anhu- berkata,
فَبَسَطَ لَهُ حَصِيرًا وَنَضَحَ طَرَفَ الْحَصِيرِ صَلَّى عَلَيْهِ رَكْعَتَيْن
“Lalu orang itu menghamparkan tikarnya dan memerciki ujung tikar. Beliau (Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) sholat di atasnya dua raka’at”. [HR. Al-Bukhoriy (670)]
Jangan pula dipahami bahwa tak boleh menutupi dahi dengan songkok, sehingga saat sujud songkok didorong ke belakang. Ini keliru!!
Faedah:
Orang yang tak mampu bersujud, namun ia mampu berdiri, maka ia harus berdiri saat ia membaca Al-Fatihah dan surah setelahnya. Sebab, seseorang tak dimaafkan dari perkara yang ia mampu lakukan.
Demikian pula, bila seseorang susah berdiri karena sudah lanjut usia, maka ia boleh duduk saat membaca surah, namun bila mau rukuk, maka ia berdiri.
A’isyah -radhiyallahu anhu– berkata,
أَنَّهَا لَمْ تَرَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي صَلَاةَ اللَّيْلِ قَاعِدًا قَطُّ حَتَّى أَسَنَّ فَكَانَ يَقْرَأُ قَاعِدًا حَتَّى إِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَقَرَأَ نَحْوًا مِنْ ثَلَاثِينَ آيَةً أَوْ أَرْبَعِينَ آيَةً ثُمَّ رَكَعَ (يَرْكَعَ)
“Bahwa ia tak pernah melihat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- sholat malam dalam keadaan duduk sampai beliau lanjut usia. Akhirnya, beliau membaca sambil duduk sampai bila beliau mau rukuk, beliau berdiri. Lalu beliau membaca sekitar 30 atau 40 ayat, lalu rukuk”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 1118)]