Bagikan...

Singkirkan Pakaian Bergambar

  • Oleh: Ust. Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc. hafizhahullah
  • [Pembina Ponpes Al-Ihsan Gowa]

Kerinduan kepada Bulan Romadhon di sisi para salaf (Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-, para sahabat, tabi’in dan pengikut setia mereka), bagaikan api yang membara, tak akan padam oleh badai sekencang apapun.

Diantara mereka, ada yang menangis saat mengenang Bulan Romadhon yang baru saja berlalu. Mereka menangis disebabkan karena khawatir apa yang mereka kerjakan di Bulan Romadhon yang baru saja berlalu, tidak diterima di sisi Allah -Azza wa Jalla-.

Mereka juga khawatir jangan sampai ajal menjemput sebelum ia berjumpa dengan Bulan Romadhon.

Jauh hari sebelum datangnya Bulan Romadhon, mereka senantiasa berdoa kepada Allah -Tabaroka wa Ta’ala- agar dipertemukan lagi dengan Bulan Romadhon.

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambaliy –rahimahullah– berkata,

قَالَ بَعْضُ السَّلَفُ : كَانُوْا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ، ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ

“Sebagian salaf berkata, “Dahulu mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama 6 bulan agar mereka disampaikan kepada Bulan Romadhon. Kemudian mereka juga berdoa selama 6 bulan agar Allah menerima (amal-amal sholih di bulan suci itu) dari mereka.” [Lihat Latho’if Al-Ma’arif (hal. 232)]

 

Penghulu orang-orang bertaqwa (Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-) pernah memberi kabar gembira kepada para sahabat –radhiyallahu anhum-.

Kegembiraan ini beliau sampaikan kepada mereka, sebab mereka kedatangan tamu istimewa ‘Bulan Berkah’.

Itulah Romadhon, momen dalam meninggikan derajat taqwa, memperbanyak bekal amal sholih, dan kesempatan bersimpuh di hadapan Allah, Sang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

Dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-, ia berkata,

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ: ” قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، افْتَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ، وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ، فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ “

“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda demi memberi kabar gembira kepada para sahabatnya,

“Telah datang kepada kalian Romadhon, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup padanya. Setan-setan dibelenggu padanya. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.” [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/385). Dinilai shohih oleh Al-Arna’uth dalam Takhrijul Musnad (8991)]

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambaliy –rahimahullah– berkata saat memetik faedah indah dari hadits ini,

قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ : 
هَذَا الْحَدِيْثُ أَصْلٌ فِيْ تَهْنِئَةِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا بِشَهْرِ رَمَضَانَ، 
كَيْفَ لاَ يُبَشَّرُ الْمُؤْمِنُ بِفَتْحِ أَبْوَابِ الْجِنَانِ؟ 
كَيْفَ لاَ يُبَشَّرُ الْمُذْنِبُ بِغَلْقِ أَبْوَابِ النِّيْرَانِ؟ 
كَيْفَ لاَ يُبَشَّرُ الْعَاقِلُ بِوَقْتٍ يُغَلُّ فِيْهِ الشَّيَاطِيْنُ؟ 
مَنْ أَيْنَ يُشْبِهُ هَذَا الزَّمَانَ زمانٌ؟!

“Sebagian ulama berkata, ‘Hadits ini adalah dasar (dalil) tentang (bolehnya) ucapan selamat sebagian mereka kepada yang lain dengan (kedatangan) Bulan Romadhon. Bagaimana mungkin seorang mukmin tidak diberi kabar gembira tentang terbukanya pintu-pintu surga?! Bagaimana mungkin seorang yang berdosa tidak diberi kabar gembira tentang tertutupnya pintu-pintu neraka?! Bagaimana mungkin seorang yang berakal tidak diberi kabar gembira tentang sebuah waktu yang di dalamnya para setan dibelenggu. Dari (sisi) manakah ada suatu waktu menyamai waktu (Romadhon) ini?! [Lihat Latho’if Al-Ma’arif (hlm. 148)

Kebahagiaan menyambut Romadhon, terpancar dari wajah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- saat beliau melihat hilal (bulan sabit). Di saat itu, beliau memanjatkan doa kepada Allah -Azza wa Jalla- agar dibukakan pintu-pintu rahmat-Nya berupa keberkahan, keimanan, keselamatan dan keislaman.

Tholhah bin Ubaidillah –radhiyallahu anhu– berkata dalam menuturkan hal itu,

“Jika Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– melihat hilal (bulan sabit), beliau berdoa,

اللهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالْإِيمَانِ، وَالسَّلامَةِ وَالْإِسْلامِ، رَبِّي وَرَبُّكَ اللهُ

“Ya Allah tampakkanlah hilal (bulan sabit) kepada kami dengan membawa berkah, keimanan, keselamatan dan Islam. Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.” [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (3451). Hadits ini dinyatakan shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1816)]

Para salaf amat menyadari dari lubuk hati mereka yang paling dalam bahwa Romadhon adalah bulan yang Allah siapkan bagi mereka untuk berbenah diri, menata hidup dan memperbaiki sesuatu yang luput di hari-hari yang telah berlalu dari perjalanan hidup mereka.

Mereka amat khawatir terkena sabda Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam- yang menjelaskan alangkah celakanya seorang yang ditaqdirkan berjumpa dengan ROMADHON, namun ia sendiri tidak memetik manfaat dan faedah darinya, disebabkan kelalaian jiwanya dari menghidupkan Romadhon dengan amal-amal sholih, atau bahkan mengisi Romadhon dengan dosa-dosa dan maksiat yang menodai kesucian Bulan Romadhon. Na’udzu billahi min dzalik…

Di dalam sebuah hadits, Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ، دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ، ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ

“Alangkah hinanya seseorang yang Bulan Romadhon masuk padanya, lalu Romadhon itu pergi sebelum ia (orang itu) diberi ampunan.” [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (3545). Syaikh Al-Albaniy menilai hadits ini “shohih” dalam Shohih Al-Jami’ (no. 3510)]

Kekhawatiran akan luputnya kebaikan dan keberkahan di Bulan Romadhon melanda lubuk hati para salaf, menyebabkan mereka berdoa selama enam bulan sebelum Romadhon.

Ketika Romadhon masuk, mereka tetap berdoa agar diberi kebaikan pada bulan itu.

Karena, mereka telah menyaksikan banyaknya manusia yang lalai dari memetik buah demi buah manis berupa pahala-pahala melimpah dari amal-amal sholih pada bulan itu.

Kita Lihat Mak-hul Asy-Syamiy –rahimahullah-, ia berdoa bila Romadhon telah masuk,

اللَّهُمَّ سَلِّمْنِيْ لِرَمَضَانَ وَسَلِّمْ رَمَضَانَ لِيْ وَتَسَلَّمْهُ مِنِّيْ مُتَقَبَّلاً

“Ya Allah, sampaikanlah aku ke Bulan Romadhon dan cerahkanlah Romadhon untukku, dan terimalah amalan Romadhon itu dariku dengan sepenuhnya.” [HR. Ath-Thobroniy dalam Ad-Du’a’ (913) dengan sanad yang hasan sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Dr. Muhammad Sa’id Al-Bukhoriy dalam tahqiq-nya terhadap Kitabud Du’a’ (hlm. 1227), cet. Darul Basya’ir Al-Islamiyyah, 1407 H]

Seorang pembesar tabi’ut tabi’in, Abdul Aziz bin Abir Rowwad Al-Azdiy Al-Makkiy (wafat 159 H) –rahimahullah– berkata,

كان المسلمون يدعون عند حضرة شهر رمضان:

اللَّهُمَّ أَظَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ وَحَضَرَ، فَسَلِّمْهُ لِي وَسَلِّمْنِي فِيهِ وَتَسَلَّمْهُ مِنِّي،

اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي صِيَامَهُ وَقِيَامَهُ صَبْرًا واحتِسَابًا،

وَارْزُقْنِي فِيهِ الْجدّ والاجتِهَادَ وَالْقُوَّةَ وَالنَّشَاطَ،

وَأَعِذْنِي فِيهِ مِنَ السآمَةِ وَالفَتْرة وَالْكِسَلِ وَالنُّعَاسِ،

وَوَفِّقْنِي فيهِ لِلَيْلَةِ الْقَدْرِ، وَاجْعَلْهَا خَيْرًا لِي مِنْ أَلْفِ شَهْرِ

“Dahulu kaum muslimin berdoa di saat Bulan Romadhon tiba,

‘Ya Allah, Romadhon telah menghadap dan hadir. Karenanya, cerahkanlah Romadhon untukku, dan sampaikanlah aku kepadanya, dan selamatkanlah aku (dari segala penghalang darinya) di Bulan Romadhon, serta terimalah amal-amal Romadhon dariku.

Ya Allah, anugerahilah aku berpuasa padanya, dan sholat malam padanya, karena sabar dan mencari pahala. Anugerahilah aku padanya kegigihan, kesungguhan, kekuatan, dan semangat.

Lindungilah aku padanya dari rasa bosan, lemah semangat, malas, dan mengantuk.

Berilah aku taufik pada bulan itu untuk mendapatkan Lailatul Qodar, dan jadikanlah malam itu lebih baik bagiku dibandingkan 1000 bulan.”

[HR. Ath-Thobroniy dalam Ad-Du’a’ (no. 914), Abul Qosim Al-Ashbahaniy dalam At-Targhib wa At-Tarhib (no. 1784), dan Abdul Ghoni Al-Maqdisiy dalam Akhbar Ash-Sholah (no. 129), dengan sanad yang hasan sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Dr. Muhammad Sa’id Al-Bukhoriy dalam tahqiq-nya terhadap Kitabud Du’a’ (hlm. 1227), cet. Darul Basya’ir Al-Islamiyyah, 1407 H]

Dari Abu Amer Al-Auza’iy –rahimahullah– berkata dalam menceritakan bagaimana kegembiraan gurunya menyambut Bulan Romadhon,

كَانَ يَحْيَى بْنُ أَبِيْ كَثِيْرٍ يَدْعُوْ حَضْرَةَ شَهْرِ رَمَضَانَ :

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنِيْ لِرَمَضَانَ، وَسَلِّمْ لِيْ رَمَضَانَ، وَتَسَلَّمْهُ مِنِّيْ مُتَقَبَّلاً

“Dahulu Yahya bin Abi Katsir berdoa saat Bulan Romadhon tiba,

“Ya Allah, sampaikanlah aku kepada Bulan Romadhon, dan cerahkanlah Bulan Romadhon untukku, serta terimalah amal-amal Romadhon dariku.” [Atsar Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ (3/69)]

Kegembiraan dan kebahagiaan menyambut Romadhon menggelora di hati para salaf “Generasi Terbaik Umat ini”, sampai dahulu mereka amat mendambakan kehadiran Bulan Romadhon dalam lembaran-lembaran hidup mereka, agar menjadi catatan dan memori abadi yang akan menjadi saksi bagi mereka di Hari Hisab.

Ma’laa bin Al-Fadhl Al-Azdiy Al-Bashriy –rahimahullah– berkata,

((كانوا يدعون الله -عز وجل- ستة أشهر أن يبلغهم شهر رمضان ويدعون الله ستة أشهر أن يتقبل منهم)).

“Dahulu mereka berdoa kepada Allah -Azza wa Jalla- selama 6 bulan agar mereka disampaikan (dipertemukan) dengan Bulan Romadhon, dan mereka berdoa kepada Allah -Azza wa Jalla- selama 6 bulan agar Allah menerima (amal-amal sholih) dari mereka.” [Atsar Riwayat Abul Qosim Al-Ashbahaniy dalam At-Targhib wa At-Targhib (no. 1761)[1]

Cobalah kalian bayangkan tentang perasaan mereka yang amat bahagia di Bulan Romadhon. Sebulan terasa sehari di sisi mereka.

Coba renungkan tentang kesedihan para salaf; pertemuan singkat lagi berbunga-bunga itu membawa kesan dan kenangan tersendiri.

Seorang pria berpisah dengan istri yang selama ini ia cintai. Sang istri bersafar ke suatu negeri yang jauh.

Jadilah hari-harinya hampa tanpa canda ria dari seorang kekasih yang selama ini ia amat cintai.

Hatinya amat gundah saat terbetik dalam benaknya, “Akankah si kekasih kembali ke pangkuannya, ataukah ia akan pergi selamanya, dan tidak lagi akan ada pertemuan setelah itu?”

Begitulah perumpamaan seorang hamba yang mencintai dan merindukan Bulan Romadhon.

Tak heran bila mereka amat bersedih ketika berpisah dengan kekasih mereka yang bernama ‘Bulan Romadhon’. [Lihat Bughyah Al-Insan fi Wazho’if (hal. 91), karya Ibnu Rajab, cet. Al-Maktab Al-Islamiy, 1405 H]

Seorang yang mencintai Romadhon akan menjaga pesan-pesan yang dititipkan kepadanya.

Romadhon telah menitipkan sebuah pesan kepada para pencintanya agar selalu menjaga dua :

  1. menghiasi diri dengan ketaatan.
  2. membersihkan diri dari kotoran-kotoran maksiat.

Seorang yang mencintai Romadhon akan berusaha memelihara dua pesan ini pada dirinya.

Ia akan menghiasi dirinya dengan berbagai ketaatan dan kebaikan yang menjadi perhiasan indah bagi dirinya dalam menyambut sang kekasih yang bernama “Romadhon”, sebagaimana halnya ia akan membersihkan dirinya dari berbagai noda dan kotoran maksiat-maksiat dibenci oleh sang kekasih ‘Romadhon’.

Itulah hakikat PUASA, seorang hamba “berpuasa” (menahan diri) dari syahwat duniawi yang haram, karena ia berharap akan adanya hari bahagia di negeri akhirat.

Sebagian salaf pernah berkata,

صُمِ الدُّنْيَا وَاجْعَلْ فِطْرَكَ الْمَوْتَ، الدُّنْيَا كُلُّهَا شَهْرُ صِيَامُ الْمُتَّقِيْنَ، يَصُوْمُوْنَ فِيْهِ عَنِ الشَّهَوَاتِ الْمُحَرَّمَاتِ، فَإِذَا جَاءَهُمُ الْمَوْتُ، فَقَدِ انْقَضَى شَهْرُ صِيَامِهِمْ وَاسْتَهَلُّوْا عِيْد فطرهم.

“Berpuasalah (tahan dirilah) dari dunia dan jadikanlah berbukamu (kebahagiaanmu) dengan kematian. Dunia seluruhnya adalah bulan berpuasa bagi orang-orang bertaqwa; mereka berpuasa (menahan diri) padanya dari syahwat-syahwat yang diharamkan. Jika kematian telah datang kepada mereka, maka sungguh bulan puasa mereka telah selesai dan mereka berseri-seri pada hari berbuka (yakni, hari raya) mereka.” [Latho’if Al-Ma’rif (hal. 147)][2]

Menahan diri dari sesuatu yang disenangi oleh jiwa berupa perkara-perkara yang haram adalah sesuatu yang pahit rasanya, namun ia akan berbuah manis; buah yang akan terpetik di negeri akhirat.

Seorang yang memperturutkan hawa nafsunya dalam melakukan perkara-perkara maksiat, walaupun manis rasanya bagi si pelaku, namun hakikatnya pahit. Sebab, ia akan memetik buahnya yang pahit di Hari Perhitungan!!

  

Thowus bin Kaisan Al-Yamaniy –rahimahullah– berkata,

حُلْوُ الدُّنْيَا مُرُّ الْآخِرَةِ، وَمُرُّ الدُّنْيَا حُلْوُ الْآخِرَةِ

“Manisnya dunia adalah pahitnya akhirat, sedang pahitnya dunia adalah manisnya akhirat.” [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (35337) dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ (4/12) dengan sanad yang shohih][3]

Di Bulan Romadhon, seorang hamba hendaknya berusaha mendidik dan melatih jiwanya meninggalkan sesuatu yang disenanginya berupa perkara-perkara yang tidak membuahkan pahala di negeri abadi.

Jika mudah baginya meninggalkan perkara-perkara itu, maka Allah –Tabaroka wa Ta’ala– akan berikan taufik baginya untuk meninggalkan perkara-perkara yang haram!

Ketahuilah, siapa yang meninggalkan maksiat dan perkara yang melalaikan dari negeri akhirat, maka Allah akan berikan kepadanya sebuah anugerah yang amat berharga di kampung akhirat.

Seorang sahabat yang mulia, Abul Mundzir Ubay bin Ka’ab Al-Khozrojiy –radhiyallahu anhu– berkata,

مَا مِنْ عَبْدٍ تَرَكَ شَيْئًا لِلَّهِ إِلاَّ أَبْدَلَهُ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ

“Tidak ada seorang pun yang meninggalkan sesuatu karena Allah -Azza wa Jalla-, kecuali Allah akan gantikan baginya dengan sesuatu yang lebih baik dari hal itu, dari arah yang tiada ia sangka-sangka.” [Atsar shohih riwayat Ibnul Mubarok dalam Az-Zuhd (no. 36), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (1/253), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (7/344), serta yang lainnya]

Jadi, siapa yang meninggalkan syahwatnya yang haram, maka ia akan diberi sesuatu yang lebih baik dibandingkan sesuatu yang ia tinggalkan.

Terakhir, kita memohon kepada Allah agar kita dipertemukan dengan Bulan Romadhon, dan memberikan taufik bagi kita agar menjadikannya sebagai bulan amal demi mencari keridhoan Allah -Tabaroka wa Ta’ala- , serta menerima segala amal ketaatan yang kita kerjakan di dalamnya.

……………………………………….

Selesai, Sabtu, 08 Sya’ban 1437 H – 14 Mei 2016 M, Markaz Dakwah, Jalan Baji Rupa, Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia.

======================

Selesai kami edit ulang, 21 Rojab 1438 H – 18/04/2017, Markaz Dakwah, Jalan Baji Rupa, Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia.

Diantara kesalahan-kesalahan saat sholat yang biasa kita jumpai di masyarakat, adanya kebiasaan sebagian orang yang memakai pakaian-pakaian yang bergambar, entah gambar makhluk yang memiliki roh alias nyawa (seperti, manusia, dan hewan), ataukah gambar yang tak memiliki roh (seperti, gambar pemandangan, mobil, angka, huruf, dan lainnya) yang menarik perhatian.

Terkadang kita sholat, di depan kita ada seorang yang memakai baju atau celana bergambar ular naga, tengkorak, salib, mobil, dan lainnya.

Ada yang memakai sarung yang memiliki merek dan cap yang tampak dari belakang, sebelah bawah sarung dekat tumit bertuliskan WadimorCap ManggaShappireCap Gajah Duduk, dan lainnya sehingga hal ini mengingatkan kita dengan promosi-promosi yang dipajang di pinggir jalan, atau melalui iklan-iklan dari produk-produk tersebut di berbagai media sosila.

Ada yang memakai baju sepak bola dalam sholat yang dihiasi dengan sejumlah nama-nama tenar bintang sepak bola beserta nomor punggung mereka yang terkenal, sehingga dalam sholat terpaksa sebagian orang mengingat MessiRonaldoNeymar, MbappeBenzemaThiagoLewandowski dan lain-lainnya.

Ada yang masuk ke masjid untuk sholat berjamaah dengan mengenakan pakaian yang berlogo, dan bergambar grup-grup musik beserta musisinya, seperti NirvanaIron MaidenGuns ‘N RosesRolling StonePadiUnguNidji, Kahitna, Sheila on 7Slank, dan lainnya sehingga memalingkan kita dari mengingat Allah, oh malah mengingat orang-orang fasiq, dan kafir seperti mereka !! Wal’iyadzu billah min dzalik…

Lebih parah lagi, saat kita melihat pada dinding masjid bagian dalam terdapat gambar, dan foto sebagian tokoh-tokoh.

Pada sebagian masjid milik Muhammadiyah –misalnya-, kita akan temukan gambar KH. Ahmad Dahlan, dan tokoh-tokoh mereka.

Orang-orang NU juga tak mau kalah; mereka juga memasang gambar KH. Hasyim Asy’ari,  atau tokoh NU lainnya di sebagian masjid-masjid mereka.

Tragisnya lagi, ada sebagian aktivis dan dai Islam juga turut mengenakan pakaian yang bergambar tokoh dan figur mereka.

Semua ini mengganggu ke-khusyu’-an kita dalam sholat. Jadi, hendaknya seseorang sebelum masuk dalam sholatnya, ia betul-betul memperhatikan pakaiannya; hendaknya membeli, dan memakai pakaian-pakaian yang tak bergambar dan bertuliskan dengan tulisan nama atau merek. Sebab pakaian-pakaian tersebut akan menjadi faktor hilangnya khusyu’, bahkan boleh jadi faktor batalnya sholat!

Larangan Pakaian yang Bergambar

Ketika seseorang hendak sholat, hendaknya ia menyingkirkan pakaian yang memiliki gambar agar ia bisa meraih khusyu’ dalam sholatnya. Perhatikan manusia yang paling bertaqwa, dan bersih hatinya, yaitu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau merasa terganggu sholatnya saat ia melihat gambar yang memiliki tanda atau simbol.

A’isyah –radhiyallahu ‘anha– dia berkata, “Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berdiri melakukan shalat dengan pakaian khamisah yang memiliki tanda, lalu beliau melihat kepada tanda itu. Tatkala beliau telah menyelesaikan shalatnya, beliau bersabda,

اِذْهَبُوْا بِهَذِهِ الْخَمِيْصَةِ إِلَى أَبِيْ جَهْمِ بْنِ حُذَيْفَةَ وَائْتُوْنِيْ بِأَنْبِجَانِيَّةَ فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِيْ آنِفًا فِيْ صَلاَتِيْ

”Pergilah kalian dengan membawa pakaian khamisah ini ke Abu Jahm bin Khudzaifah dan ambillah pakaian ambijaniyyah untukku. Sesungguhnya pakaian khamisah tadi telah melalaikan aku dalam shalatku.” [HR.Bukhariy (373), dan Muslim (556)]

Pakaian anbijaniyyah yang diminta Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- adalah pakaian kasar yang tidak memiliki tanda (semacam, cap, logo, simbol, merek atau yang lainnya).

Berbeda dengan pakaian al-khamishah yang dikembalikan oleh beliau, pakaian ini bertanda.

Tampaknya kata “tanda” lebih dalam maknanya daripada kata “gambar”. Sebab bila tanda dan cap saja dilarang untuk dipakai, dan ditampakkan di depan orang yang sholat, maka tentunya gambar makhluk bernyawa lebih layak dilarang, karena menjadi sebab terhalanginya malaikat untuk masuk ke tempat atau masjid yang di dalamnya terdapat gambar makhluk bernyawa tersebut!

Al-Imam Syarofuddin Ath-Thibiy -rahimahullah- telah berkata, “Dalam hadits ambijaniyyah: menjelaskan, bahwa gambar dan sesuatu yang tampak (mencolok) memiliki pengaruh terhadap hati yang bersih dan jiwa yang suci, terlebih lagi hati yang tak suci”. [Lihat Umdatul Qori (4/94), dan Fathul Bari (1/483)]

Jadi, gambar dan simbol amatlah memberikan pengaruh bagi orang yang memiliki hati yang bersih. Adapun hati yang kotor lagi keras, maka ia tak akan merasakan pengaruh apapun, baik ada gambar atau tidak! 

Anas -radhiyallahu ‘anhu- dia berkata,

كَانَ قِرَامٌ لِعَائِشَةَ سَتَرَتْ بِهِ جَانِبَ بَيْتِهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمِيْطِيْ عَنَّيْ قِرَامَكِ هَذَا فَإِنَّهُ لاَ تَزَالُ تَصَاوِيْرُهُ تَعْرِضُ فِيْ صَلاَتِيْ

“Dahulu ‘Aisyah memiliki kain gorden, yang dia gunakan untuk menutupi sisi rumahnya. Maka Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berkata kepadanya, “Jauhkanlah kain itu dariku, sesungguhnya gambar-gambarnya telah mengganggu shalatku.” [HR. Bukhariy (374), dan (5959)]

Hadits Anas menunjukkan tentang dibencinya shalat dengan pakaian yang bergambar. Sisi penunjukannya, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Al-Qasthalaniy -rahimahullah-,

“Apabila gambar itu melalaikan orang yang shalat dalam keadaan gambar itu ada di hadapannya, maka terlebih lagi jika orang yang shalat itu memakainya”. [Lihat Irsyad As-Sariy (8/484)]

Dari keterangan di atas, jangan dipahami bahwa boleh memakai pakaian yang bergambar manusia atau hewan selama tidak terlihat oleh orang yang sholat atau makmun yang lainnya. Ini tetap haram, sebab memakai atau membuat gambar itu sendiri adalah perbuatan haram sebagaimana akan kami bahas dalam edisi-edisi berikutnya.

Al-Imam Al-Bukhoriy membuatkan judul bab bagi hadits A’isyah dengan berkata, “Dibencinya Sholat dalam Hal-hal yang Bergambar”. [Lihat Shohih Al-Bukhoriy (10/391)

Al-Imam Al-‘Ainiy memberikan komentar atas bab yang ditetapkan oleh Al-Bukhari, dia berkata,

“Maksudnya : Ini adalah bab yang menjelaskan tentang dibencinya shalat di rumah yang di dalamnya terdapat pakaian yang bergambar. Jika seperti ini saja (yakni sholat di rumah yang ada gambarnya, -pent.) dibenci, maka dibencinya seseorang sholat, sedang ia memakai gambar, itu adalah lebih kuat dan lebih keras (permasalahannya)”. [Lihat Umdah Al-Qori (4/74)]

Al-Bukhariy memberikan bab pada hadits Anas yang lalu seraya berkata, “Jika seorang shalat dengan pakaian yang bersalib atau bergambar, apakah shalatnya rusak?dan sesuatu yang  terlarang”. [Lihat Shohih Al-Bukhoriy (1/484)- Fathul Bari]

Faedah yang bisa diambil dari penjelasan di atas : Sesungguhnya perselisihan yang terjadi tentang shalat orang yang memakai pakaian yang bergambar, Al-Bukhari tidak memastikan batalnya shalat orang yang memakai pakaian yang bergambar; Al-Bukhoriy minta penjelasan dalam hal itu dengan ucapannya, “Apakah”.

Ini menunjukkan bahwa dalam hal itu terdapat pendapat menghendaki demikian itu. Sedangkan jumhur fuqaha berpendapat dibencinya hal itu.

Ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mu’minin, ‘Aisyah –radhiyallahu anha-, bahwa dia berkata,

كَانَ لِيْ ثَوْبٌ فِيْهِ صُوْرَةٌ , فَكُنْتُ أَبْسُطُهُ, وَكَانَ رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْ إِلَيْهِ, فَقَالَ لِيْ: أَخِّرِيْهِ عَنِّيْ. فَجَعَلْتُ مِنْهُ وِسَادَتَيْنِ

“Saya memiliki pakaian yang bergambar, lalu saya membentangkannya dan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- shalat menghadap kepadanya. Maka beliau berkata kepadaku, “Singkirkan dariku pakaian itu”. Maka pakaian itu saya jadikan dua sarung bantal”. [HR. Muslim (2107), dan An-Nasa’iy (761)]

An-Nawawi -rahimahullah- berkata setelah menyebutkan hadits tersebut, “Adapun pakaian yang bergambar atau ada salibnya atau ada sesuatu yang melalaikan, maka dibenci shalat dengannya atau menghadap kepadanya atau shalat di atasnya disebabkan adanya hadits tersebut”. [Lihat Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (3/180)]

Sebagai penyempurna faedah, dan pelengkap pembahasan ini, akan kita bicarakan secara ringkas tentang :

Hukum Shalat dengan Membawa Gambar

Membawa gambar makhluk yang memiliki roh ke dalam sholat, pada asalnya adalah haram, walaupun tersimpan di kantong, karena memang gambar seperti itu haram membuat, membawa dan menggunakannya.

Imam Malik -rahimahullah- ditanya tentang cincin yang bergambar, apakah seseorang boleh memakainya dan shalat dengannya?

Imam Malik -rahimahullah- berkata, “Tidak boleh memakainya dan tidak boleh shalat dengannya”. [Lihat Al-Mudawwanah Al-Kubro (1/182)]

Al-Bahutiy -rahimahullah- berkata, “Dibenci bagi orang yang shalat untuk membawa batu mata cincin yang bergambar atau membawa pakaian yang sejenisnya, seperti mata uang dirham atau dinar yang bergambar”. [Lihat Kasysyaf Al-Qina’ (1/432)]

Sebagian ulama yang bermadzhab Hanafi memberikan keringanan (rukhshah) pada seseorang yang shalat dengan membawa mata uang dirham yang bergambar.

As-Samarqondiy berkata, ” Jika seseorang shalat dengan membawa mata uang yang bergambar seorang raja!! Ini tidak mengapa, karena gambarnya sedikit dan tampak kecil dari pandangan mata”. [Lihat ‘Uyun Al-Masa’il (2/427)]

Betul tidak mengapa, namun tentunya dalam kondisi-kondisi darurat dan hajat amat mendesak kita untuk membawa uang atau KTP/SIM dalam keadaan sholat, misalnya orang yang jauh rumahnya tak mungkin akan kembali kerumahnya untuk menyimpan gambar itu. Ini perkara berat yang mengharuskan adanya rukhshoh. Adapun orang yang dekat rumahnya, maka hendaknya ia tidak membawa uang atau KTP saat sholat, simpan dulu di rumah, wallahu a’lam.

Hadits-hadits yang lalu tentang larangan tersebut maknanya saling berdekatan. Terdapat pula penjelasan yang gamblang tentang larangan shalat dengan membawa gambar atau menghadap kepadanya, dikarenakan hal tersebut “akan memalingkan hati dari ke-khusyu’-an yang sempurna dalam shalat dan dari merenungi dzikiri-dzikir serta bacaan-bacaannya, demikian juga tujuan-tujuannya, yaitu terikat dan tunduk kepada Allah -Ta’ala- “. Di dalamnya juga terkandung “Larangan memandang lama kepada sesuatu yang menyibukkan dan menghilangkan ke-khusyu’-an hati, karena Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menjadikan makna ini sebagai sebab membuang pakaian khamishah”.[Lihat Syarh Muslim (5/43-44)].

Hukum gambar makhluk bernyawa dalam sholat tetap seperti hukumnya di luar shalat, yakni haram!! Namun tatkala gambar yang ada pada mata uang terhinakan ketika menginfaqkannya dan  bermu’amalah sehingga mata uang itu diletakkan di dalam kantong atau dibawa, bukan untuk mengagungkannya, maka kami memandang tidak mengapa seseorang shalat dengan membawa mata  uang yang bergambar, jika ada hajat mendesak atau darurat sebagaimana yang telah kami jelaskan dan contohkan, wallahu A’lam.

As-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz -rahimahullah- ditanya tentang boleh tidaknya shalat dangan memakai jam yang ada salib atau di dalamnya ada gambar binatang?

Beliau (Syaikh bin Baz) menjawab, “Jika gambar dalam jam itu tertutup, tidak terlihat, maka tidaklah mengapa hal itu. Adapun jika gambar itu dapat terlihat dari luar jam atau di dalamnya dapat dilihat tatkala terbuka, maka yang demikian itu tidak boleh!! Karena adanya sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,

لاَ تَدَعْ صُوْرَةً إِلاَّ طَمَسْتَهَا

“Janganlah engkau membiarkan gambar, kecuali telah engkau lenyapkan”. [HR. Muslim (969)]

Demikian juga hukum salib, tidak boleh memakai jam yang memiliki salib, kecuali telah digosok atau telah ditutup dengan cat dan sejenisnya. Sebab adanya riwayat (Al-Bukhoriy (5608)) dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,

أَنَّهُ لاَ يَرَى شَيْئًا فِيْهِ تَصْلِيْبٌ إِلاَّ نَقَضَهُ

“Sesungguhnya dia tidaklah melihat sesuatu yang memiliki salib, kecuali beliau telah menghancurkan atau mencabutnya”. [Lihat Fatawa Syaikh bin Baaz (1/71)]