TATHOYYUR

(Berprasangka Sial)

Ajaran Jahiliah yang Merebak di Tengah Masyarakat

  • Oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah hafizhahullah
  • [Pembina Ponpes Al-Ihsan Gowa]

 

Tathoyyur adalah sebuah kebiasaan dan keyakinan jahiliah yang tersebar dari dahulu sampai sekarang. Penyebarannya bukan hanya di kalangan kaum kafir-musyrik, bahkan juga tersebar pada kaum muslimin yang minim ilmu agama.

Tathoyyur adalah bahasa Arab dari kata طَائِرٌ (burung). Namun yang dimaksudkan disini adalah merasa sial atau berprasangka sial dengan sesuatu (seperti hari, tempat, binatang, manusia dan lainnya)

Awal sejarah tathoyyur itu ada dan disebut demikian, orang Arab dahulu di masa jahiliah bila mau bersafar, atau melakukan urusan apa saja, maka mereka melepaskan burung. Jika burung itu terbang ke arah kanan, maka mereka memandang itu adalah tanda kebaikan sehingga mereka pun bersafar atau melakukan suatu hal. Sebaliknya, bila burung ke kiri, maka itu adalah tanda keburukan dan kesialan menurut mereka.

Al-Imam Ibnul Atsir Al-Jazariy rahimahullah berkata saat menjelaskan arti tathoyyur,

التَّطَيُّر بالسَّوَانِح والبَوارِح مِنَ الطَّيْر وَالظِّبَاءِ وغَيرهما. وَكَانَ ذَلِكَ يَصُدّهم عَنْ مَقَاصِدِهِمْ، فَنَفَاهُ الشَّرْعُ، وأبطله ونهى عنه، وأخبره أنَّه لَيْسَ لَهُ تأثِيرٌ فِي جَلْب نفْعٍ أَوْ دَفعٍ ضَرٍّ. وَقَدْ تَكَرَّرَ ذِكْرُهَا فِي الْحَدِيثِ اسْماً وفِعْلاً.” اهــ من النهاية في غريب الحديث والأثر (3/ 152)

“Dia adalah merasa sial dengan sesuatu. Konon kabarnya, asal kata ini adalah merasa sial dengan hewan yang ke arah kanan dan kiri dari kalangan burung dan kijang serta selain keduanya. Perkara seperti itu biasanya menghalangi mereka dari maksud-maksud mereka. Karena itu, syariat meniadakan dan membatalkannya. Syariat melarangnya dan mengabarkan bahwa semua itu tak memiliki pengaruh dalam mendatangkan manfaat dan menghindarkan madhorot”. [Lihat An-Nihayah fi Ghoribil Hadits (3/152)]

Namun keyakinan batil ini meluas dan berkembang sehingga di antara orang Arab jahiliah melakukan tathoyyur dengan azlam (anak panah), dengan cara mengambil 3 buah anak panah. Dua diantaranya bertuliskan, “terus (jalan)” atau “jangan terus”. Satunya lagi, kosong tanpa tulisan. Bila mereka mengundi dengan anak panah dan mereka dapatkan yang bertuliskan “terus”, maka mereka bersafar atau melakukan urusan lain.

Jika mendapatkan anak panah bertuliskan “jangan terus”, maka mereka urungkan niat dan yakin mereka akan sial bila lanjut. Bila mendapatkan anak panah yang kosong dari tulisan, maka mereka ulangi sampai mereka mendapatkan anak panah yang memiliki tulisan. Semua ini adalah batil!! Sebab kesialan dan kebahagiaan bukanlah kembali kepada makhluk, tapi semuanya berdasarkan ketetapan Allah.

Allah Ta’ala berfirman dalam membatalkan kebiasaan mengundi ala tathoyyur ini,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [المائدة: 90]

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maa’idah : 90)

Kebiasaan tathoyyur ini, sebenarnya telah ada sebelum Arab Quraisy, yaitu di zaman Nabi Musa Shallallahu alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

{فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ} [الأعراف: 131]

“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah Karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah. Akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Al-A’raaf : 131)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“والمعنى: أنما يصيبهم من الجدب والقحط ليس من موسى وقومه، ولكنه من الله; فهو الذي قدره ولا علاقة لموسى وقومه به، بل إن الأمر يقتضي أن موسى وقومه سبب للبركة والخير، ولكن هؤلاء – والعياذ بالله – يلبسون على العوام ويوهمون الناس خلاف الواقع.” اهـ من القول المفيد على كتاب التوحيد (1/ 561)

“Maknanya bahwa mereka tertimpa oleh kemarau dan paceklik bukanlah karena Musa dan kaumnya. Akan tetapi berasal dari Allah. Dialah yang menakdirkannya. Tak ada hubungannya sama sekali dengan Musa dan kaumnya dengan perkara tersebut. Bahkan permasalahannya mengharuskan Musa dan kaumnya sebagai sebab keberkahan dan kebaikan. Namun mereka (kaum Fir’aun) itu na’udzu billah selalu mengaburkan permasalahan atas kaum awam dan mengesankan kepada manusia sesuatu yang menyalahi realita”. [Lihat Al-Qoul Al-Mufid (1/561) oleh Al-Utsaimin, cet. Dar Ibni Al-Jauziy, 1421 H]

Tathoyyur ini, juga pernah terjadi pada negeri lain, selain penduduk Makkah dan Mesir sebagaimana yang jelaskan dalam firman-Nya,

{قَالُوا إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ (18) قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (19) } [يس: 18 – 20]

“Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang Karena kamu, Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami”. Mereka (para rasul itu) berkata: “Kesialan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib sial)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas”. (QS. Yaasin : 18-19)

Ayat ini menunjukkan bahwa sebab kesialan itu adalah mereka (penduduk negeri yang didatangi oleh para rasul tersebut). Jadi, pada hakikatnya kesialan mereka ada pada mereka dan senantiasa melazimi mereka, karena amal perbuatan mereka yang buruk mengharuskan hal itu, bukan karena sebab dakwah para rasul.

Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Alusy Syaikh An-Najdiy –hafizhohullah– berkata,

“أن هذا التطير من صفات أعداء الرسل، ومن خصال المشركين، وإذا كان كذلك فهو مذموم، ومن خصال المشركين الشركية، وليست من خصال أتباع الرسل، وأما أتباع الرسل فإنهم يعلقون ذلك بما عند الله من القضاء والقدر، أو بما جعله الله -جل وعلا- لهم من__ثواب أعمالهم أو العقاب على أعمالهم.” اهـ من التمهيد لشرح كتاب التوحيد (ص: 337_338)

“Sesungguhnya tathoyyur (merasa sial dengan sesuatu) termasuk sifat musuh para rasul dan termasuk kebiasaan kaum musyrikin. Jika demikian halnya, maka dia pasti tercela dan kebiasaan kaum musyrikin yang mengandung kesyirikan, bukan kebiasaan para pengikut para rasul. Adapun pengikut para rasul, maka sesungguhnya mereka menggantungkan (mengembalikan) hal itu kepada sesuatu yang ada di sisi Allah berupa keputusan dan takdir atau kepada sesuatu yang Allah -Azza wa Jalla- siapkan bagi mereka berupa ganjaran amal perbuatan mereka atau hukuman atas amal perbuatan mereka”. [Lihat At-Tamhid (hal. 337-338) oleh Syaikh Sholih An-Najdiy, cet. Dar At-Tauhid, 1423 H]

Para pembaca yang budiman, tathoyyur (merasa sial dengan sesuatu) amat banyak kita temukan, khususnya di kalangan awam yang jauh dari bimbingan agama. Sebagian orang diantara mereka ada yang merasa sial dengan burung hantu, bila lewat di atas rumahnya sambil bersuara. Menurutnya, akan ada kesialan berupa kematian di kalangan mereka.

Ada juga yang merasa sial bila mobil pribadinya dipakai mengangkut jenazah, sehingga ia tak mau lagi menggunakannya mencari rejeki, tak mau lagi menjadikannya mobil angkot. Di lain tempat, ada yang merasa sial bila keluar dari rumahnya di pagi hari, lalu tiba-tiba ia bertemu dan melihat orang yang picok (buta sebelah matanya).

Akibatnya, kadang kala ia tak mau lagi keluar rumah untuk berdagang atau melakukan urusan lain dengan alasan bahwa melihat orang buta adalah kesialan. Ada yang lebih lucu lagi. Bila ada keluarganya di rumah yang meninggal pada hari tertentu, maka mereka merasa sial bila bersafar pada hari kematian tersebut pada hari-hari berikutnya. Misalnya, anaknya mati di hari Rabu, maka mereka tak mau safar pada setiap hari Rabu.

Jelas ini adalah batil, baik secara akal, apalagi menurut syariat. Secara akal, bagaimana kira-kira bila penduduk rumah terdiri dari 10 orang dan telah meninggal 7 orang pada hari yang berbeda sehingga semua hari terisi dengan peristiwa kematian.

Apakah mereka tak akan bersafar dalam seumur hidupnya. Ini akan menyusahkan diri sendiri. Lantaran itulah, Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam- melarang tathoyyur dalam sebuah sabdanya,

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ خ 

“Tak ada penularan, tak ada thiyaroh (tathoyyur), tak ada burung hantu, tak ada shofar. Larilah dari orang yang kusta sebagaimana engkau lari dari singa”.[HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Ath-Thibb (5707)]

“Tak ada penularan”, maksudnya adalah tak ada penularan penyakit menurut sangkaan kaum jahiliah bahwa penularannya terjadi dengan sendirinya, tanpa ada penyebabnya. Inilah yang diingkari oleh Islam. Adapun penularan penyakit, maka Islam tak mengingkarinya.

Karenanya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- di akhir hadits ini memerintahkan untuk menjauhi orang yang kusta. [Lihat Taisir Al-Aziz Al-Hamid (hal. 352), dengan tahqiq Muhammad Aiman As-Salafiy, cet. Dar Alam Al-Kutub, 1419 H]

“Tak ada thiyaroh”, maksudnya tak ada tathoyyur (merasa sial karena sesuatu). Inilah yang sedang kita bahas duduk permasalahannya. “Tak ada burung hantu”, bukan maksudnya bahwa burung hantu tak ada.

Tapi ini adalah pengingkaran terhadap keyakinan kaum jahiliah bahwa tulang belulang mayat berubah menjadi burung hantu, sehingga bila ada burung hantu yang hinggap di atas rumah mereka, maka mereka merasa takut dan merasa sial.

Ini yang diistilahkan oleh kaum kafir dengan “reinkarnasi”!! Nah, Islam datang untuk membatalkannya!!! [Lihat Latho’if Al-Ma’arif (hal. 74) karya Ibnu Rajab Al-Hambaliy, cet. Dar Ibni Hazm, 1424 H]

“Tak ada shofar”, sebagian ulama menyatakan bahwa maksud dari kata shofar adalah ular yang ada dalam perut manusia dan hewan yang dapat membinasakan mereka menurut keyakinan kaum jahiliah.

Sebagian ulama ada yang menafsirkan bahwa maksudnya Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– mengingkari kebiasaan kaum jahiliah yang suka memindahkan posisi bulan Muharrom ke bulan Shofar agar mereka bisa berperang di bulan Muharrom.

Sebab, bulan Muharrom adalah bulan yang terlarang perang padanya.

Jadi sabda Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– ini merupakan peniadaan dan pelarangan terhadap kebiasaan buruk tersebut. [Lihat Ghorib Al-Hadits (1/25) dan (2/158) karya Abu Ubaid Al-Qosim bin Sallam, tahqiq Dr. Muhammad Abdul Mu’id Khan, cet. Dar Al-Kitab Al-Arobiy, 1396 H]

Ringkasnya, tathoyyur adalah perkara yang diharamkan dalam Islam dan termasuk kesyirikan.

Sebab, pelakunya meyakini bahwa di samping Allah, ada makhluk yang mampu mendatangkan madhorot dan manfaat.

—————————————————————————–

Sumber artikel: https://abufaizah75.blogspot.com/

Sumber gambar: https://unsplash.com/