Ada beberapa perkara yang dianggap oleh sebagian orang bahwa ia adalah najis. Eh, ternyata bukan najis sehingga ada diantara mereka yang menyangka kalau mani atau muntah itu adalah najis. Lebih parah lagi, jika menyangka ludah atau keringat seseorang itu adalah najis.
Sebagian orang pernah bertanya kepada kami tentang sholat dengan pakaian yang terkena lumpur atau olie, maka kami katakan bahwa hal itu bukan najis.
Ini penting kita ketahui, sebab sebagian kaum muslimin ada yang tak mau sholat dengan pakaiannya yang kotor karena lumpur saat ia sedang di sawah dengan dalih lumpur itu najis !! Padahal ternyata bukan najis !!!
Perlu diketahui bahwa tidak semua yang kotor pasti najis. Jadi, lumpur, olie, tahi ayam, dan lainnya bukan najis, kecuali yang telah kami jelaskan dalam buletin mungil ini, edisi ke-23 (“Barang-barang Najis”).
Diantara perkara-perkara yang dianggap najis sebagian orang, bahkan kebanyakan orang, padahal ia bukan najis :
Cairan Mani
Mani adalah asal penciptaan bani Adam yang suci. Karenanya seorang yang mengalami mimpi basah, maka ia tak wajib mencuci bajunya, karena mani itu bukan najis.
Cukup baginya untuk mencuci bagian yang terkena mani saat maninya basah. Tapi tidak wajib mencucinya. Boleh ia membiarkannya kering. Jika mani kering, maka seorang mengoreknya dengan kuku, atau kayu, dan lainnya yang bisa menghilangkan bekasnya.
‘Alqomah dan Al-Aswad berkata, “Ada seorang (yaitu, Hammam bin Al-Harits, -pent.) pernah singgah pada A’isyah. Di pagi hari, ia mencuci pakaiannya. A’isyah pun berkata,
إِنَّمَاكَانَ يُجْزِئُكَ إِنْ رَأَيْتَهُ أَنْ تَغْسِلَ مَكَانَهُ فَإِنْ لَمْ تَرَ نَضَحْتَ حَوْلَهُ، وَلَقَدْ رَأَيْتُنِيْ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا فَيُصَلِّيْ فِيْهِ
“Sesungguhnya cukup bagimu untuk mencuci tempatnya (yang terkena mani). Jika kamu tak melihat mani, maka perciki sekitarnya. Sungguh aku menyaksikan diriku telah mengorek-ngorek mani (dengan kuku, dan lainnya) dari pakaian Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lalu beliau sholat dengan pakaian itu”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (288)]
A’isyah -radhiyallahu ‘anha– berkata,
كُنْتُ أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَابِسًا وَأَغْسِلُهُ إِذَا كَانَ رَطْبًا
“Dahulu aku mengerik mani dari pakaian Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, jika maninya kering; aku mencucinya (yang terkena mani, pent.), jika mani itu basah”. [HR. Ad-Daruquthniy dalam Sunan-nya (3), Ath-Thohawiy dalam Syarh Al-Ma’ani (266), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Irwa’ Al-Gholil (180)]
Abdullah Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhu- pernah ditanya tentang mani yang mengenai pakaian, kemudian beliau menjawab,
إِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الْبُصَاقِ أَوِ الْمُخَاطِ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَمْسَحَهُ بِخِرْقَةٍ أَوْ إِذْخِرٍ
“Mani itu sama kedudukannya dengan ludah atau dahak. Cukup bagimu untuk mengusapnya dengan secarik kain atau idzkhir (sejenis rumput yang harum)”. [HR. Asy-Syafi’iy dalam Musnad-nya (1593), dan Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubro (2977 & 2978). Syaikh Al-Albaniy berkata tentang hadits ini secara mauquf dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (2/361), “Ini adalah sanad yang shohih sesuai ketentuan dua Syaikh (Al-Bukhoriy & Muslim)”]
Al-Imam Muhammad bin Isma’il Ash-Shon’aniy -rahimahullah- berkata dalam Subul As-Salam (1/55),
“Para ulama’ Syafi’iyyah berkata, “Mani adalah suci”. Mereka berdalil dengan hadits-hadits ini. Mereka berkata, “Hadits-hadits mencuci mani dipahami dengan makna mandub (sunnah). Mencuci mani bukan dalil tentang najisnya mani, karena terkadang (seseorang mencuci mani, -pent.) untuk membersihkan, dan menghilangkan nodanya, dan sejenisnya”. Usai ucapannya.
Jadi, mani adalah sesuatu yang suci, bukan najis sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang. Andaikan mani kita anggap najis, berarti asal kejadian dan penciptaan kita dari sesuatu yang najis. Padahal tidaklah demikian sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Bahkan kita tercipta dari mani yang suci !!
Minuman Khomer
Khomer alias minuman keras, walaupun haram diminum, dan digunakan berobat, maka bendanya tidaklah najis menurut pendapat yang terkuat di kalangan ulama, karena tak ada dalil yang menyatakan najisnya secara jelas.
Sebagian ulama yang berpendapat najisnya berdalil dengan ayat ini:
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [المائدة: 90]
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, (mengundi nasib dengan) panah, adalah termasuk najis dari perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS.Al-Maa’idah :90).
Kata Ar-Rijsu (najis) disini bukanlah najis hissiyyah (pada dzat-nya), tapi itu adalah najis hukmiyyah (maknawi). Jika khomer dianggap najis dari sisi dzat-nya (bendanya), maka judi, berhala, anak panah pun harus dianggap najis. Padahal tidaklah demikian tentunya.
Syaikh Husain bin ‘Audah Al-‘Awayisyah berkata, “Demikian pula pengharaman tidaklah mengharuskan najisnya (sesuatu yang haram itu). Jika tidak, maka kita harus pula menyatakan najisnya ibu, putri, saudari, dan bibi, dan lainnya. Karena, Allah -Ta’ala- berfirman,
{حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ } [النساء: 23]
“Diharamkan atas kamu ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan…” (QS. An-Nisaa’: 23).
Makanan yang dicuri, haram dimakan, tapi tidak dikatakan bahwa ia najis”. [Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah (1/48)]
Al-Imam Asy-Syaukaniy -rahimahullah- berkata, “Tak ada dalil yang cocok dipegangi tentang najisnya minuman keras (khomer)”.[Lihat As-Sail Al-Jarror (1/137), cet. Dar Ibni Katsir]
Jadi, sekalipun khomer haram diminum, namun tak ada dalil yang menjelaskan bahwa ia adalah barang-barang najis. Sedang mengeluarkan sesuatu dari kesucian harus menggunakan dalil yang jelas, wallahu a’lam.
Kotoran Hewan yang Halal Dimakan
Banyak di sekitar kita hewan yang berseliweran, sebangsa ayam, itik, kambing, sapi, kerbau, dan lainnya diantara hewan-hewan yang halal dimakan. Hewan-hewan ini jika mengeluarkan tahi dan kencing, maka tahi dan kencingnya tidaklah najis.
Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu– berkata, “Ada beberapa orang dari Uroinah datang kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Tapi mereka tidak cocok dengan (cuaca) kota Madinah.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada mereka,
إِنْ شِئْتُمْ أَنْ تَخْرُجُوْا إِلَى إِبِلِ الصَّدَقَةِ فَتَشْرَبُوْا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا
“Jika kalian mau (pergi), maka keluarlah menuju onta shodaqoh (hasil zakat). Kemudian kalian minum susu, dan kencingnya”.
Mereka pun melakukannya, lalu mereka semua jadi sehat”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (233), dan Muslim dalam Shohih-nya (1671)]
Ulama Negeri Yaman, Al-Imam Asy-Syaukaniy -rahimahullah- berkata,
“Penghalalan untuk berobat dengannya (air kencing unta, dan lainnya) merupakan dalil tentang kesuciannya. Jadi, kencing unta, dan sebangsanya adalah suci”.[Lihat Nailul Author (1/99)]
Andaikan kencing unta atau kencing hewan yang halal dimakan adalah najis, maka Nabi –Shallallahu ‘alaihi wa sallam– pasti tak akan memerintahkan orang-orang Uroinah untuk meminum kencing unta. Karena, tak mungkin beliau akan memerintahkan mereka berobat dengan sesuatu yang najis.
Lantaran itu, Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu– berkata tentang khomer,
إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
“Allah tidaklah menjadikan kesembuhan kalian dalam sesuatu yang Allah haramkan atas kalian”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Asyribah (10/98)-Fathul Bari ]
Bangkai Hewan yang Tak Memiliki Darah
Para ulama kaum muslimin telah menggolongkan hewan menjadi dua macam :
Pertama, hewan yang memiliki darah yang mengalir, seperti sapi, kambing, kucing, rusa, anjing, dan lainnya.
Kedua, hewan yang tak memiliki darah yang mengalir, seperti nyamuk, kalajengking, laba-laba, semut, lalat, serangga-serangga kecil, dan lainnya.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda,
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لْيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِيْ إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَاْلأُخْرَى شِفَاءً
“Jika lalat jatuh pada minuman seorang diantara kalian, maka hendaknya ia menenggelamkannya, kemudian ia mencabutnya (membuangnya), karena pada salah satu diantara dua sayapnya terdapat penyakit, dan pada sayapnya yang lain terdapat obatnya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3320 & 5782), Abu Dawud dalam Sunan-nya (3844), An-Nasa’iy dalam Sunan-nya (4262), dan Ibnu Majah (3505)]
Abul Fadhl Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkata,
“Hadits ini dijadikan dalil bahwa air yang sedikit tidak najis karena jatuhnya hewan yang tak memiliki darah yang mengalir dalam air”. [Lihat Fathul Bari (10/251)]
Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy -rahimahullah- berkata,
“Segala sesuatu yang tak memiliki darah yang mengalir, seperti yang disebutkan oleh Al-Khiroqiy berupa hewan darat atau hewan laut, diantaranya: lintah, ulat, kepiting, dan sejenisnya. Semua ini tidaklah najis karena mati, dan tidak menajisi air, jika ia mati di dalamnya menurut pendapat mayoritas ulama'”. [Lihat Al-Mughniy (1/68)]
Semakna dengan ini, ucapan Ibnu Dhuwayyan dalam Manar As-Sabil (1/40), “Ini umum pada semua (air) yang panas, dan dingin, serta minyak diantara cairan yang lalat akan mati jika dicelupkan ke dalamnya. Andai lalat itu menajisi air, maka itu (yakni perintah menenggelamkannya) adalah perintah untuk merusak air. Jadi, lalat tidaklah najis karena mati, dan tidak menajisi air, jika ia mati di dalamnya”.
Sebagai kesimpulan pembahasan ini, kami nukilkan ucapan Al-Allamah Syamsul Haq Al-Azhim Abadi -rahimahullah- ketika beliau mengomentari hadits lalat tersebut, “Hadits ini merupakan dalil yang jelas tentang bolehnya membunuh lalat demi mencegah bahayanya, dab bahwa ia dibuang, tidak dimakan; bahwa lalat jika mati di air, maka ia tak menajisi air, karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan untuk menenggelamkannya. Sudah dimaklumi bahwa lalat itu mati karena (menenggelamkan)nya, utamanya jika makanan panas. Andai lalat itu menajisi air, maka hal itu (perintah menenggelamkannya) merupakan perintah untuk merusak makanan. Padahal Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- hanyalah memerintahkan untuk memperbaikinya. Kemudian hukum ini (yakni, sucinya lalat) berpindah (sama) pada semua hewan yang tak memiliki darah yang mengalir, seperti lebah, kumbang, laba-laba, dan semisalnya”. [Lihat Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud (10/231)]
Darah selain Haidh, dan Nifas
Darah yang keluar dari tubuh seseorang bukanlah najis, selain darah haidh, dan nifas.
Dahulu kaum muslimin di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam– sering melakukan jihad fi sabilillah, dan terluka oleh sabetan pedang, tusukan panah, dan tombak. Namun mereka tetap sholat dengan memakai pakaian mereka yang berlumuran darah. Ini juga menunjukkan bahwa darah yang keluar tersebut tidaklah membatalkan wudhu’ dan shalat kita.
Jabir bin Abdillah Al-Anshoriy -radhiyallahu ‘anhu– berkata,
خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -يَعْنِيْ فِيْ غَزْوَةِ ذَاتِ الرِّقَاعِ- فَأَصَابَ رَجُلٌ امْرَأَةَ رَجُلٍ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَحَلَفَ: أَنْ لاَ أَنْتَهِيَ حَتَّى أُهْرِيْقَ دَمًا فِيْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ, فَخَرَجَ يَتْبَعُ أَثَرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَنَزَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْزِلاً فَقَالَ: مَنْ رَجُلٌ يَكْلَؤُنَا؟ فَانْتَدَبَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ وَرَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ, فَقَالَ: كُوْنَا بِفَمِ الشِّعْبِ. قال: فَلَمَّا خَرَجَ الرَّجُلاَنِ إِلَى فَمِ الشِّعْبِ اضْطَجَعَ الْمُهَاجِرِيُّ وَقَامَ اْلأَنْصَارِيُّ يُصَلِّيْ وَأَتَى الرَّجُلُ فَلَمَّا رَأَى شَخْصَهُ عَرَفَ أَنَّهُ رَبِيْئَةٌ لِلْقَوْمِ فَرَمَاهُ بِسَهْمٍ فَوَضَعَهُ فِيْهِ فَنَزَعَهُ حَتَّى رَمَاهُ بِثَلاَثَةِ أَسْهُمٍ ثُمَّ رَكَعَ وَسَجَدَ ثُمَّ انْتَبَهَ صَاحِبُهُ, فَلَمَّا عَرَفَ أَنَّهُمْ قَدْ نَذَرُوْا بِهِ هَرَبَ, فَلَمَّا رَأَى الْمُهَاجِرِيُّ مَا بِاْلأَنْصَارِيِّ مِنَ الدَّمِ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ أَلاَ أَنْبَهْتَنِيْ أَوَّلَ مَا رَمَى, قال: كُنْتُ فِيْ سُوْرَةٍ أَقْرَؤُهَا فَلَمْ أُحِبَّ أَنْ أَقْطَعَهَا .
“Kami pernah keluar bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yakni waktu Perang Dzatur Riqo. Maka ada seorang sahabat yang membunuh istri seorang musyrikin. Kemudian sang suami bersumpah, “Aku tak akan berhenti (melawan) sampai aku menumpahkan darah sebagian sahabat-sahabat Muhammad”. Maka ia pun keluar mengikuti jejak Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- (waktu itu) berhenti pada suatu tempat seraya bersabda, “Siapakah yang mau menjaga kita?. Maka bangkitlah seorang laki-laki dari kalangan Muhajirin, dan seorang dari kalangan Anshor. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Tetaplah kalian di mulut (gerbang) lembah. Tatkala dua orang itu keluar ke mulut lembah, maka berbaringlah laki-laki muhajirin itu, sedang laki-laki Anshor berdiri melaksanakan sholat. Kemudian datanglah orang musyrik tersebut. Tatkala ia melihat sosok tubuhnya sang Anshor, maka si musyrik tahu bahwa sang Anshor adalah penjaga pasukan. Kemudian si musyrik pun membidiknya dengan panah, dan mengenai sasaran dengan tepat. Sang Anshor mencabut anak panah itu sampai ia dibidik dengan 3 anak panah, lalu bersujud. Kemudian temannya (sang Muhajirin) tersadar. Tatkala si musyrik tahu bahwa mereka telah mencium keberadaannya, maka ia pun lari. Ketika sang Muhajirin melihat darah pada tubuh sahabat Anshor, maka ia berkata, “Subhanallah, Kenapa engkau tidak mengingatkan aku awal kali ia memanah?” Sang Anshor menjawab, “Aku sedang berada dalam sebuah surat yang sedang kubaca. Maka aku tak senang jika aku memutuskannya”.[HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (198). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1/1/606)]
Al-Allamah Abu Ath-Thoyyib Syamsul Haq Al-Azhim Abadiy -rahimahullah- berkata dalam Aunul Ma’bud (1/231-232),
“Hadits ini menunjukkan dengan jelas tentang dua perkara. Pertama, keluarnya darah dari selain dua lubang (dubur & kemaluan) tidaklah membatalkan wudhu’, baik ia mengalir atau tidak. Itu adalah pendapat kebanyakan ulama’, sedang itulah yang benar…Kedua, darah luka adalah suci, dimaafkan bagi orang yang terluka. Ini adalah madzhab Malikiyyah, sedang inilah pendapat yang benar. Hadits-hadits telah datang secara mutawatir bahwa para mujahidin fi sabilillah mereka dahulu berjihad, dan merasakan sakitnya luka-luka lebih dari yang tergambar. Tak seorang yang bisa mengingkari adanya aliran darah dari luka-luka mereka, dan terlumurinya pakaian mereka. Sekalipun demikian, mereka tetap sholat dalam kondisi begini, dan tidak ternukil (suatu hadits) dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau memerintahkan mereka untuk melepas baju mereka yang berlumuran darah dalam kondisi sholat. Sungguh Sa’d -radhiyallahu ‘anhu- telah terkena musibah pada waktu perang Khondaq. Kemudian dibuatkan kemah baginya dalam masjid. Jadi, ia berada dalam masjid, sedang darahnya mengalir dalam masjid. Senantiasa darahnya mengalir sampai ia meninggal”.
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa darah luka bukan najis, atsar tentang kondisi Umar bin Al-Khoththob -radhiyallahu ‘anhu– saat menjelang wafat.
Al-Miswar bin Makhromah –radhiyallahu ‘anhu– berkata,
دَخَلْتُ أَنَا وَابْنُ عَبَّاسٍ عَلىَ عُمَرَ حِيْنَ طُعِنَ, فَقُلْنَا: الصَّلاَةَ, فَقَالَ: إِنَّهُ لاَ حَظَّ لأَحَدٍ فِي اْلإِسْلاَمِ أَضَاعَ الصَّلاَةَ فَصَلَّى وَجُرْحُهُ يَثْعَبُ دَمًا
“Aku pernah masuk masuk bersama Ibnu Abbas menemui Umar ketika beliau ditikam. Maka kami berkata, “Waktu sholat telah tiba”. Umar berkata, “Sesungguhnya tak ada bagian dalam Islam untuk orang yang menyia-nyiakan sholat”. Maka beliau sholat, sedang lukanya mengucurkan darah”. [HR. Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnaf (579), Ad-Daruquthniy dalam As-Sunan (1), dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (37067) dengan sanad yang shohih]
Sudah dimaklumi bahwa luka yang mengalir pasti akan melumuri pakaian, dan mustahil Umar –radhiyallahu ‘anhu– melakukan sesuatu yang tidak boleh menurut syari’at, lalu para sahabat mendiamkan hal itu, tanpa ada pengingkaran. Ini tiada lain, kecuali karena sucinya darah yang keluar pada luka. [Lihat Aunul Ma’bud (1/232)]
Qotadah bin Di’amah As-Sadusiy -rahimahullah- berkata,
إِذَا رَعَفَ اْلاِنْسَانُ فَلَمْ يَقْلَعْ فَإِنَّهُ يَسُدُّ مِنْخَرَهُ وَيُصَلِّيْ وَإِنْ خَافَ أَنْ يَدْخُلَ جَوْفَه فَلْيُصَلِّ وَإِنْ سَالَ فَإِنَّ عُمَرَ قَدْ صَلَّى وَجُرْحُهُ يَثْعَبُ دَمًا
“Jika seorang mimisan, lalu belum berhenti, maka ia menutup hidungnya, dan sholat. Jika ia khawatir kalau darahnya masuk ke dalam rongga tubuhnya, maka hendaknya ia (tetap) sholat, walaupun darahnya mengalir, karena Umar sungguh telah sholat, sedang ia mengucurkan darah”. [HR. Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnaf (574)]
Muntah Manusia
Muntah yang kita keluarkan juga bukan najis, karena tak ada dalil yang menjelaskan bahwa ia adalah najis. Sedangkan hukum asalnya sesuatu adalah suci.
Ahli Fiqih & Hadits Negeri Syam, Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata dalam kitabnya Tamamul Minnah (hal.53) saat membantah Sayyid Sabiq,
“Penulis (Sayyid Sabiq) tidak menyebutkan dalil tentang hal itu (yakni, najisnya muntah), kecuali ucapannya yang berbunyi, “disepakati kenajisannya”. Ini adalah pengakuan yang terbatalkan. Sungguh Ibnu Hazm telah menyelisihi dalam hal itu ketika beliau menyatakan sucinya muntah seorang muslim. Silakan rujuk Al-Muhalla (1/183). Ini adalah madzhab Al-Imam Asy-Syaukaniy dalam Ad-Duror Al-Bahiyyah, dan Siddiq Hasan Khan dalam syarahnya terhadap terhadap kitab ini (1/18-20) ketika keduanya tidak menyebutkan muntah manusia dalam golongan najis secara muthlaq. Inilah pendapat yang benar”.
Jadi, muntah manusia bukanlah najis yang membatalkan sholat atau wudhu’ kita, sebab tak ada dalil yang jelas menunjukkan kenajisannya. Andai ada, maka akan dinukil oleh para ulama’.
Keringat Orang Junub, atau Wanita Haidh
Orang yang junub dan wanita haidh bukanlah orang yang najis sehingga harus menjauh atau dijauhi sebagaimana keyakinan orang-orang Yahudi.
Adapun dalam agama kita, maka Allah dan Rasulullah –Shallallahu ‘alaihi wa sallam– telah menjelaskan bahwa mereka suci badannya, sekalipun memang mereka diwajibkan mandi junub saat hendak sholat.
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِيَهُ فِيْ بَعْضِ طَرِيْقِ الْمَدِيْنَةِ وَهُوَ جُنُبٌ فَانْخَنَسْتُ مِنْهُ, فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ: أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: كُنْتُ جُنُبًا, فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ وَأَنَا عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ, فَقَالَ : سُبْحَانَ اللهِ إِنَّ الْمُسْلِمَ لاَ يَنْجُسُ
“Bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah menemuinya pada sebagian jalan-jalan kota Madinah, sedang ia (Abu Hurairah) junub. Maka aku mundur dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Abu Hurairah pergi mandi, lalu ia datang. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Dimana engkau tadi, wahai Abu Hurairah?” Ujar Abu Hurairah, “Aku tadi junub, maka aku benci kalau aku menemani Anda duduk, sedang aku tidak suci”. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Subhanallah, sesungguhnya seorang muslim tidak najis”.[HR. Al-Bukhoriy (283), dan Muslim (372)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata,
“Al-Bukhoriy berdalil dengan hadits ini tentang sucinya keringat orang yang junub, karena badannya tidak najis disebabkan oleh junub”. [Lihat Al-Fath (1/391)]
Para ulama’ telah menjelaskan bahwa keringat, dan ludah orang yang junub, haidh, dan nifas adalah suci.
Al-Imam Ibnu Abdil Barr -rahimahullah- berkata dalam Al-Istidzkar (1/299), “Adapun ludah, dan keringat, maka ia jelas permasalahannya dari semua ulama (bahwa ia suci), baik dari segi penukilan, dan amaliah”.
Bahkan dalam permasalahan ini sebagian ulama’ telah menukil adanya ijma’ dari seluruh ulama’ kaum muslimin. Al-Imam Al-Ainiy -rahimahullah- berkata, “Diantara konsekuensi kesucian seorang manusia adalah kesucian keringatnya. Tapi tidak khusus keringat seorang muslim. Kondisi yang ada bahwa keringat seorang kafir juga suci”. [Lihat Umdah Al-Qori (3/237)]
Al-Imam Al-Ainiy -rahimahullah- berkata, “Semua ahlul ilmi (ulama’) sepakat bahwa keringat orang junub adalah suci. Hal itu (kesucian keringat) telah nyata dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan A’isyah bahwa mereka menyatakan hal itu (suci)”.[Lihat Umdah Al-Qori (3/240)]
Muhaddits Negeri India, Al-Imam Al-Mubarokfuriy -rahimahullah- berkata,
“Mereka sepakat tentang kesucian keringat orang junub, dan keringat wanita haidh. Dalam hadits ini terdapat dalil tentang bolehnya menangguhkan mandi bagi orang yang junub, dan menyelesaikan hajatnya”.[Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (1/325)]
Inilah pernyataan para ahlul ilmi bahwa keringat orang-orang junub, haidh, dan nifas, bukanlah najis, karena badan mereka suci.
Jadi, sesuatu yang keluar dari badan mereka berupa keringat atau ludah juga suci berdasarkan ijma’. Inilah yang harus kita yakini berdasarkan dalil-dalil yang ada, bukan seperti apa yang diyakini orang-orang Yahudi!