Tiga Maksiat Pembinasa

  • Oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah hafizhahullah
  • [Pembina Ponpes Al-Ihsan Gowa]

 

Kehidupan dunia adalah kehidupan yang penuh dengan aral dan rintangan.

Barang siapa yang tak berhati-hati mencari jalan yang dapat menyelamatkan dirinya, maka ia akan celaka di dunia, bahkan boleh jadi nanti di akhirat.

Karena itu, hendaknya kita menghindari segala perkara yang mendatangkan kebinasaan.

Disebutkan dalam sebuah hadits :

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ ، وَثَلاَثٌ مُنْجِيَاتٌ ، فَقَالَ : ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ : شُحٌّ مُطَاعٌ وهَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

“Ada tiga perkara yang dapat membinasakan dan tiga perkara yang menyelamatkan. Tiga perkara yang membinasakan adalah kebakhilan yang ditaati, hawa nafsu yang diperturutkan dan bangganya seseorang terhadap dirinya”.

 

þ  Takhrij Hadits

Hadits ini diriwayatkan dari beberapa orang sahabat: Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Abdullah bin Abi Awfa dan Abdullah bin Umar -radhiyallahu anhum-.

Hadits Anas –radhiyallahu anhu– diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Musnad-nya (no. 80), Al-Uqoiliy dalam Adh-Dhu’afaa’ (hal. 352), Abu Bakr Ad-Dainuriy dalam Al-Mujalasah wa Jawaahir Al-Ilm (no. 899), Abu Muslim Al-Kaatib dalam Al-Amaali (261/1), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (2/343) dan Al-Harowiy dalam Dzammul Kalaam (145/1)  dan Al-Qudho’iy dalam Musnad Asy-Syihaab (no. 327).

Hadits ini sanadnya dho’if (lemah). Akan tetapi ia memiliki beberapa mutabi’ dan syawahid sehingga derajatnya menjadi hasan, bahkan boleh jadi shohih. [Lihat Ash-Shohihah (no. 1802) karya Syaikh Al-Albaniy –rahimahullah-]

þ  Faedah Ilmiah Hadits Ini

Hadits ini lafazhnya pendek, tapi mengandung banyak manfaat dan faedah serta nasihat.

Begitulah salah satu ciri sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, pendek lafazhnya. Tapi faedahnya banyak sekali.

Lain halnya dengan ucapan kebanyakan diantara kita. Lafazhnya bertele-tele dan panjang, namun sedikit manfaatnya.

Para pembaca yang budiman, diantara faedah yang bisa kita petik dari hadits Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- yang mulia ini:

î  Bahaya Bakhil

Bakhil adalah penyakit hati yang timbul karena kurangnya tawakkal seseorang kepada Allah.

Sebab orang yang bakhil merasa bahwa apabila ia sedekahkan sebagian hartanya, maka harta itu akan hilang begitu saja, tanpa ada gantinya.

Padahal bila ia mau berpikir bahwa dengan sedekah, Allah akan membersihkan hartanya dan memberkahinya.

Dengan itu, ia akan diberi ganti yang lebih baik, entah di dunia, atau kalau tidak –insya Allah di akhirat- dengan ganti yang jauh lebih baik.

Seorang yang bakhil akan jauh dari kebaikan, imannya tak akan bertambah, bahkan boleh jadi akan menurun.

Sebab dengan kikirnya seseorang, banyak sekali jalan-jalan kebaikan yang mestinya ia lakukan, tapi ia sia-siakan.

Dia tinggalkan kesempatan dalam memperbanyak amal yang bisa meningkatkan iman akibat sifat kikir pada dirinya.

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

لَا يَجْتَمِعُ غُبَارٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَدُخَانُ جَهَنَّمَ فِي جَوْفِ عَبْدٍ أَبَدًا وَلَا يَجْتَمِعُ الشُّحُّ وَالْإِيمَانُ فِي قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا

“Tak akan berkumpul debu fi sabilillah dan asap Jahannam dalam rongga tubuh seorang hamba selama-lamanya, dan tak akan berkumpul sifat bakhil dan keimanan dalam hati seorang hamba selama-lamanya.” [HR. An-Nasa’iy dalam Kitab Al-Jihad (no. 3110 & 3111). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (3828)]

Al-Imam Abul Hasan Nuruddin As-Sindiy –rahimahullah– berkata,

“أَي : لَا يَنْبَغِي لِلْمُؤمنِ أَن يجمع بَينهمَا إِذْ الشُّح أبعد شَيْء من الْإِيمَان أَو المُرَاد بِالْإِيمَان كَمَاله كَمَا تقدم أَو المُرَاد أَنه قَلما يجْتَمع الشُّح والايمان وَاعْتبر ذَلِك بِمَنْزِلَة الْعَدَم.” اهـ حاشية السندي على سنن النسائي (6/ 13)

“Maksudnya, tak pantas bagi seorang mukmin untuk mengumpulkan antara kedua hal itu, sebab sifat kikir adalah sesuatu yang amat jauh dari keimanan; atau maksudnya, jarang berkumpul antara sifat kikir dengan keimanan. Perkara itu dianggap seakan-akan tak ada”. [Lihat Hasyiyah As-Sindiy ala Sunan An-Nasa’iy (6/13), cet. Maktab Al-Mathbu’at Al-Islamiyyah, 1406 H]

Abu Bakr Al-Kalaabaadziy –rahimahullah– berkata,

“وَالْبُخْلُ يَكُونُ مِنْ سُوءِ الظَّنِّ بِاللَّهِ تَعَالَى؛ لِأَنَّهُ يَخَافُ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَخْلُفَ، وَلَمْ يُمْكِنْ تَحْقِيقُ الثَّوَابُ مِنْ قِبَلِهِ، فَالْبُخْلُ بِالْمَالِ مِنْ سُوءِ الظَّنِّ بِاللَّهِ، وَسُوءُ الظَّنِّ يُوهِنُ التَّصْدِيقَ.” اهـ من بحر الفوائد المسمى بمعاني الأخبار للكلاباذي (ص: 187)

“Sifat kikir muncul dari adanya buruk sangka kepada Allah -Ta’ala-. Karena si kikir khawatir bila Allah tak memberinya ganti. Tak mungkin akan terwujud pahala dari orang yang seperti. Jadi, sifat kikir muncul dari buruk sangka kepada Allah, sedang buruk sangka kepada Allah akan melemahkan iman”. [Lihat Bahr Al-Fawa’id (hal. 187), cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1420 H]

Perkataan beliau ini amatlah benar. Sebab tak mungkin seseorang kikir dan menahan hartanya, kecuali karenan lemahnya iman yang lahir adanya buruk sangka kepada Allah. Karenanya, layaklah bila imannya tak bertambah, bahkan berkurang.

Allah -Ta’ala- berfirman dalam mencela kaum munafiq akibat sifat bakhil mereka,

{أَشِحَّةً عَلَيْكُمْ فَإِذَا جَاءَ الْخَوْفُ رَأَيْتَهُمْ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ تَدُورُ أَعْيُنُهُمْ كَالَّذِي يُغْشَى عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِ فَإِذَا ذَهَبَ الْخَوْفُ سَلَقُوكُمْ بِأَلْسِنَةٍ حِدَادٍ أَشِحَّةً عَلَى الْخَيْرِ أُولَئِكَ لَمْ يُؤْمِنُوا فَأَحْبَطَ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا } [الأحزاب: 19]

“Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik- balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu belum beriman. Karenanya, Allah menghapuskan (pahala) amalnya. dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. Al-Ahzaab : 19)

Ahli Tafsir Jazirah Arab, Syaikh Abdur Rahman As-Sa’diy –rahimahullah– berkata,

“{أَشِحَّةً عَلَيْكُمْ} بأبدانهم عند القتال، وبأموالهم عند النفقة فيه، فلا يجاهدون بأموالهم وأنفسهم.” اهـ من تيسير الكريم الرحمن (ص: 661)

“Mereka bakhil terhadapmu dalam hal badan mereka ketika perang dan dalam harta mereka ketika berinfaq di jalan Allah. Jadi, mereka itu tidak berjihad dengan harta dan jiwa mereka”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 660)]

Demikianlah Allah –azza wa jalla- mencela pelaku kebakhilan, akibat keburukan laku bakhil mereka. Ia mengira bahwa dirinya akan mulia dengan menahan harta benda di tangannya, dan menumpuknya demi memperkaya diri dan berbangga-bangga, lalu melupakan tabungan di negeri akhirat, melalui infaq dan sedekah yang ia keluarkan.

î  Larangan Memperturutkan Hawa Nafsu

Hawa nafsu maknanya keinginan jiwa. Jiwa manusia terkadang menginginkan dan mencintai sesuatu berupa perkara-perkara yang menyenangkan dirinya.

Hanya saja banyak diantara mereka yang tak bisa menempatkan hawa nafsunya sesuai yang diridhoi oleh Allah, sehingga sering kali kita menemukan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu yang tidak mendatangkan ridho Allah, bahkan menyeret dirinya kepada jurang kebinasaan.

Para pembaca yang budiman, hawa nafsu bisa berupa kesenangan dan kecintaan kepada harta, pekerjaan, keturunan, kehormatan dan lainnya.

Dengan hawa nafsu, terkadang seseorang terpuji dan seringnya tercela.

Lantaran itu, seseorang harus mengerti hakikat hawa nafsu yang memiliki kesenangan dan kecintaan.

Menyenangi dan membenci sesuatu haruslah mengikuti kecintaan dan keridhoan Allah -Azza wa Jalla-.

Bila hawa nafsu seseorang mencintai Allah atau mencintai sesuatu sesuatu yang Allah cintai, maka hawa nafsu ini terpuji.

Demikian pula, bila hawa nafsunya membenci setan dan segala yang disenangi oleh setan, maka hawa nafsu ini terpuji.

Intinya, hawa nafsu kita harus mencintai dan membenci karena Allah semata.

Inilah hawa nafsu yang terpuji, hawa nafsu yang memperhambakan diri kepada Allah, Sang Maha Pencipta.

Sebaliknya, bila hawa nafsu malah lebih mencintai setan dan segala hal yang disenangi oleh setan, maka hawa nafsu seperti ini adalah tercela.

Demikian pula, bila hawa nafsu malah membenci Allah atau membenci perkara yang dicintai oleh Allah, maka hawa nafsu ini juga tercela, dan pemiliknya telah menghambakan diri kepada hawa nafsunya.

Inilah yang dikatakan oleh Allah dalam firman-Nya,

{أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (23)} [الجاثية: 23]

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah Telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jatsiyah : 23)

Al-Hafizh Abul Fidaa’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy –rahimahullah– berkata,

“أَيْ: إِنَّمَا يَأْتَمِرُ بِهَوَاهُ، فَمَهْمَا رَآهُ حَسَنًا فَعَلَهُ، وَمَهْمَا رَآهُ قَبِيحًا تَرَكَه.” اهـ من تفسير ابن كثير ت سلامة (7/ 268)

“Maksudnya, ia hanya mengikuti keinginannya (hawa nafsunya). Apa pun yang dipandang baik oleh keinginannya, maka ia lakukan dan apapun yang ia pandang buruk, maka ia meninggalkannya”. [Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (7/268) oleh Ibnu Katsir, cet. Dar Thoybah]

Orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai pengatur dirinya, yang mengarahkan dirinya kepada segala yang diinginkan oleh jiwa, tanpa memandang batasan-batasan Allah. Pelakunya telah mempertuhankan hawa nafsunya.

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambaliy -rahimahullah- berkata,

“فَمَنْ أَحَبَّ شَيْئًا وَأَطَاعَهُ، وَأَحَبَّ عَلَيْهِ وَأَبْغَضَ عَلَيْهِ، فَهُوَ إِلَهُهُ، فَمَنْ كَانَ لَا يُحِبُّ وَلَا يُبْغِضُ إِلَّا لِلَّهِ، وَلَا يُوَالِي وَلَا يُعَادِي إِلَّا لَهُ، فَاللَّهُ إِلَهُهُ حَقًّا، وَمَنْ أَحَبَّ لِهَوَاهُ، وَأَبْغَضَ لَهُ، وَوَالَى عَلَيْهِ، وَعَادَى عَلَيْهِ، فَإِلَهُهُ هَوَاه.” اهـ من جامع العلوم والحكم (ص/ 210)

“Barangsiapa yang mencintai dan menaati sesuatu; ia mencintai dan membenci karena sesuatu tersebut, maka sesuatu itu adalah tuhannya. Barangsiapa yang tak mencintai dan membenci, kecuali karena Allah serta ia tak berloyal dan memusuhi, kecuali karena Allah, maka Allah adalah ilah-nya (Tuhannya) yang sebenarnya. Barangsiapa yang mencintai dan membenci sesuatu karena hawa nafsu (keinginan jiwa)nya serta ia berloyal dan memusuhi (sesuatu) karena hawa nafsunya, maka tuhannya adalah hawa nafsunya”. [Lihat Jami’ Al-Ulum wal Hikam (hal. 210), cet. Dar Al-Ma’rifah, 1408 H]

Dari sini ada sebuah permata ilmu yang amat berharga bagi kita bahwa seorang hamba tak boleh bergaya hidup bebas, sehingga apa saja yang diinginkan oleh jiwanya, maka ia lakukan, tanpa memperhatikan aturan dan batasan Allah -Azza wa Jalla-.

Seakan-akan ia hidup seperti binatang, tanpa aturan. Hidupnya ingin bebas tanpa kendali dan aturan syariat.

Gaya hidup bebas seperti ini tampak merambah pada sebagian generasi muslim yang jahil tentang agamanya, sehingga apa saja yang disenangi oleh jiwanya, maka ia lakukan, tanpa takut kepada Allah saat ia durhaka kepada-Nya.

Bila ia mau berzina, maka ia lakukan. Jika ia mau minum khomer atau narkoba, maka dengan bebas dan congkak ia pun meminum dan menggunakannya.

Bila ia mau berkata-kata jorok dan berbuat cabul, maka ia pun perbuat.

Segala penampilannya dirinya, mulai rambut sampai ke ujung kaki, semuanya bergaya hidup bebas dan jauh dari bimbingan agama.

Rambut disemir ala barat, baju ala metal, celana model bajingan alias preman. Rambut dicukur ala mohawk yang terlarang dalam Islam!

Sepatu juga tak ketinggalan bergaya bebas ugal-ugalan; itulah sepatu bot model serdadu.

Telinga dan hidung, bahkan lidah, semuanya dilubangi atau ditindih dengan logam dan permata, sehingga ia mirip wanita India atau sapi India.

Tak ketinggalan tangannya diberi gelang dengan berbagai macamnya, mulai dari logam sampai benang, tergantung mana yang keren menurut hawa nafsunya.

Jasad penuh tato dengan berbagai macam corak dan modelnya. Padahal tato adalah perkara sial yang menyebabkan pelakunya dilaknat oleh Allah dan Rasulullah –alaihish sholatu was salam-.

Inilah yang kita lihat pada penampilan dan lahiriah anak-anak kaum muslimin yang larut atau termakan oleh propaganda dan pengaruh serdadu setan dari kalangan pecandu musik aliran underground (seperti, Punk Metal, Trush Metal, Heavy Metal dan Blak Metal).

Kalau kita melihat kepada latar belakang dan keluarga mereka, ternyata mereka adalah muslim.

Tapi kini keislamannya sudah mulai muram. Sholat saja tidak. Kalaupun sholat, ya sholat asal-asalan atau sholat musiman!!! Laa haula walaa quwwata illa billah.

Kita memohon perlindungan dari buruknya hawa nafsu yang menjauhkan manusia dari Islam dan kebaikan.

î  Haramnya Ujub (Membanggakan Diri)

Sifat ujub (bangga diri) adalah sebuah sifat tercela yang dapat membinasakan pelakunya.

Sifat ujub ini seringnya menyerang orang-orang yang memiliki kelebihan dan keutamaan.

Sebab bila seseorang memiliki keutamaan dan kelebihan, maka ia akan selalu bangga dengannya sehingga ia melupakan bahwa semua itu asalnya dari Allah -Azza wa Jalla-.

Kisah Qorun masih segar dalam ingatan kita. Dia ditenggelamkan oleh Allah bersama kaumnya.

Padahal kaumnya telah mengingatkannya bahwa semua nikmat dan harta yang Allah berikan kepadanya adalah hal yang perlu disyukuri dengan menginfaqkannya dan menyedekahkannya di jalan kebaikan sebagai bekal ke akhirat.

Tapi ia berkata dengan ujub (bangga diri) sebagaimana dalam (QS. Al-Qoshosh : 78 & 81),

{قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ (78) فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ (81)} [القصص: 78 و 81]

“Karun berkata: “Sesungguhnya Aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap siksa Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya)”.

Al-Imam Abdur Ra’uf Al-Haddadiy Al-Munawiy –rahimahullah-,

“أَي : ملاحظته اياها بِعَين الْكَمَال مَعَ نِسْيَان نعْمَة الله تعال،

قَالَ الْغَزالِيّ : حَقِيقَة الْعجب استعظام النَّفس وخصالها الَّتِي هِيَ من النعم والركون إِلَيْهَا مَعَ نِسْيَان اضافتها إِلَى الْمُنعم والأمن من زَوَالهَا.” اهـ من التيسير بشرح الجامع الصغير (1/ 470)

“Bangga diri, maksudnya ia memandang dirinya sempurna. Sementara ia melupakan nikmat-nikmat Allah -Ta’ala-. Al-Ghozali berkata, “Hakikat ujub (bangga diri) adalah menganggap hebat diri sendiri dan segala kelebihannya berupa nikmat-nikmat serta amat percaya kepadanya. Sementara ia lupa menyandarkan nikmat-nikmat itu kepada Pemberi nikmat (Allah) dan ia merasa aman (tak takut) dari hilangnya nikmat-nikmat tersebut”. [Lihat At-Taisiir bi Syarh Al-Jami’ Ash-Shoghier (1/956), cet. Maktabah Al-Imam Asy-Syafi’iy, 1408 H]

Inilah tiga dosa dan maksiat yang akan membinasakan seorang hamba. Tiga perkara ini menjauhkannya dari kebaikan dan jalan-jalannya.

Semoga Allah –azza wa jalla- melindungi kita dari tiga perkara itu dan memberi taufiq bagi untuk mencari keridhoan-Nya melalui amal-amal sholih yang mengantarkan kita kepada rahmat dan surga Allah, aamiin

—————————————————————————–