Beranda Uncategorized Tiga Nikmat Penghimpun Dunia
Terkadang manusia menilai bahwa kekayaan dunia adalah banyaknya harta benda dan barang-barang dunia, sehingga yang tinggi dan bahagia dalam pandangan mereka adalah mereka yang menghimpun sebagian kekayaan harta benda, dan kedudukan duniawi yang tinggi di tengah manusia.
Mereka tidak sadar bahwa hakikat kekayaan dunia, bukanlah pada semua itu.
Di dalam sebuah hadits, Rasulullah –shollallohu alaihi wa sallam- bersabda,
«مَنْ أصْبَحَ مِنْكُمْ آمِناً في سربِهِ، مُعَافَىً في جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا» . رواه الترمذي، وقال: (حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ) .
“Barangsiapa yang diantara kalian merasakan keamanan dalam jiwanya, diberi kesehatan pada jasadnya, dan di sisinya ada makanan seharinya, maka seakan-akan dunia dengan segala isinya telah dihimpun untuknya.” [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (no. 2346). Hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 2318)]
Al-Imam Zainuddin Abdur Ro’uf bin Tajiddin Al-Haddadiy Al-Munawiy –rahimahullah- berkata,
“يعني : من جمع الله له بين عافية بدنه وأمن قلبه حيث توجه وكفاف عيشه بقوت يومه وسلامة أهله فقد جمع الله له جميع النعم التي من ملك الدنيا لم يحصل على غيرها فينبغي أن لا يستقبل يومه ذلك إلا بشكرها بأن يصرفها في طاعة المنعم لا في معصية ولا يفتر عن ذكره.” اهـ من فيض القدير (6/ 68)
“Maksudnya, barangsiapa yang Allah kumpulkan baginya antara kesehatan badan, keamanan hati kemana pun ia mengarah (pergi), dan tercukupi kehidupannya dengan adanya makanan sehari, serta keselamatan keluarga, maka sungguh Allah kumpulkan baginya seluruh kenikmatan yang barangsiapa yang menguasai dunia itu, maka ia tidak akan lagi meraih yang lainnya.
Karena itu, sepantasnya ia tidak menghadapi harinya itu, kecuali ia mensyukurinya, dengan menyalurkannya dalam ketaatan kepada (Allah) Yang Memberi nikmat, bukan (menyalurkannya) dalam kemaksiatan, dan tidak pula berhenti mengingat-Nya.” [Lihat Faidhul Qodir (6/68)]
Di dalam hadits ini, diterangkan bahwa ada tiga kenikmatan yang menjadi pengumpul dunia bagi seorang hamba mukmin : rasa aman dalam jiwa dan raga, kesehatan jasad, dan rezki berupa makanan dalam sehari.
Nikmat aman adalah diantara nikmat terbesar yang Allah anugerahkan kepada sebagian hamba-Nya, dan sebagian yang lain tidak diberikan keamanan itu baginya.
Nikmat keamanan akan terasa amat berharga saat keamanan itu tercabut dari sisi manusia.
Keamanan dan kedamaian adalah nikmat yang teramat besar. Manusia dalam meraihnya, rela mengeluarkan dan mengorbankan apa saja yang ia miliki.
Allah –azza wa jalla- mengingatkan hal ini di dalam firman-Nya,
{لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ (1) إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ (2) فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ (3) الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ (4)} [قريش: 1 – 4]
“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah Ini (Ka’bah), Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS. Quroisy : 1-4)
Al-Imam Abul Laits Nashr bin Muhammad As-Samarqondiy Al-Hanafiy –rahimahullah- berkata,
“رب هذا البيت، كفاهم مؤونة الخوف والجوع، فليألفوا العبادة، كما ألفوا رحلة الشتاء والصيف وقال الزجاج: كانوا يترحلون في الشتاء إلى الشام، وفي الصيف إلى اليمن.” اهـ من بحر العلوم (3/ 623)
“Pemilik rumah ini (Allah) telah mencukupi mereka beban rasa takut dan lapar. Lantaran itu, hendaknya mereka membiasakan diri beribadah (kepada Allah saja, tanpa yang lainnya), sebagaimana mereka membiasakan diri dalam melakukan perjalanan dagang di musim dingin dan panas.
Az-Zajjaj berkata, ‘Dulu mereka melakukan perjalanan di musim dingin ke negeri Syam dan di musim panas ke negeri Yaman.” [Lihat Bahr Al-‘Ulum ()]
Orang-orang Quraisy biasa mengadakan perjalanan terutama untuk berdagang ke negeri Syam pada musim panas dan ke negeri Yaman pada musim dingin.
Dalam perjalanan itu mereka mendapat jaminan keamanan dari penguasa-penguasa dari negeri-negeri yang dilaluinya.
Ini adalah suatu nikmat yang amat besar dari Tuhan mereka. Oleh karena itu, sewajarnyalah mereka menyembah Allah yang telah memberikan nikmat itu kepada mereka.
Nikmat keamanan ini terasa besar nilainya bagi mereka yang mengalami rasa takut dan tertimpa huru-hara.
Inilah sebabnya Nabi Ibrahim –alaihish sholatu was salam- pernah berdoa meminta kepada Allah nikmat aman ini, sebagaimana yang abadikan dalam firman Allah –azza wa jalla-,
{وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَامَ (35) رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (36) } [إبراهيم: 35 – 36]
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah Aku beserta anak-anakku dari menyembah berhala-berhala.
Ya Tuhanku, Sesungguhnya berhala-berhala itu Telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, Maka barangsiapa yang mengikutiku, Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, Maka Sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ibrahim : )
Al-Imam Mujahid bin Jabr Al-Makkiy –rahimahullah- berkata,
“أجاب الله، جل ذكره، دعوة إبراهيم في ولده، فلم يعبد أحد منهم صنماً.” اهـ من الهداية الى بلوغ النهاية (5/ 3823)
“Allah –jalla dzikruh- mengabulkan doa Ibrahim pada anak-anaknya. Karenanya, tidak ada seorangpun diantara mereka yang menyembah berhala.”
Di dalam ayat ini, Ibrahim meminta dua hal yang urgen dan amat signifikan dalam kehidupan : nikmat aman dan penjagaan bagi keimanan dan tauhid beliau dan anak-anaknya.
Ibrahim –alaihish –sholatu was salam- meminta agar anak-anaknya dijaga dari kesyirikan berupa penyembahan berhala, sebab kesyirikan merupakan sebab utama yang merusak iman, dan bila iman rusak, maka ia akan menjadi sebab hilangnya rasa aman dalam kehidupan.
Mufassir Jazirah Arab, Al-Imam Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diy –rahimahullah- berkata,
“ذلك بسبب ما اتخذوا من دونه من الأنداد والأصنام، التي اتخذوها على حسب أهوائهم وإرادتهم الفاسدة، من غير حجة ولا برهان، وانقطعوا من ولاية الواحد الرحمن، فمن ثم كان المشرك مرعوبا من المؤمنين، لا يعتمد على ركن وثيق، وليس له ملجأ عند كل شدة وضيق، هذا حاله في الدنيا، وأما في الآخرة فأشد وأعظم.” اهـ تيسير الكريم الرحمن (ص: 152)
“Yang demikian itu (yakni, lahirnya rasa takut), disebabkan oleh sesuatu yang mereka angkat dari selain Allah berupa sekutu-sekutu (bagi Allah dalam ibadah), dan berhala-berhala yang mereka angkat berdasarkan hawa nafsu mereka dan keinginan mereka yang rusak, tanpa ada hujjah dan keterangan, dan mereka pun terputus dari pengurusan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Penyayang.
Dari sanalah, seorang musyrik menjadi takut kepada orang-orang yang beriman. Sebab, ia (si musyrik) tidak bertumpa pada pilar yang kokoh dan ia tidak memiliki tempat berlindung pada setiap kesusahan dan kesempitan hidup. Inilah keadaannya seorang musyrik di dunia. Adapun di akhirat, maka keadaannya lebih susah dan besar.” [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 152]
Semua ini menujukkan bahwa kesyirikan (menduakan Allah) dalam ibadah menjadi sebab utama munculnya rasa takut dalam hati seorang manusia yang melakukan ke-syirik-an.
Lihatlah kaum musyrikin dahulu yang menyembah jin-jin dan makhluk halus yang mereka agungkan. Mereka senantiasa dirongrong oleh rasa takut yang berlebihan, sehingga mendorong mereka untuk melakukan ritual ibadah dan persembahan-persembahan kepada makhluk yang mereka sembah dan ibadahi. Mereka pun membuat berbagai macam sesajen dan sembelihan yang dibisikkan oleh para setan yang mendorong mereka dalam berbuat kesyirikan.
Allah –azza wa jalla- menyinggung hal ini dalam firman-Nya,
{وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا (6)} [الجن: 6]
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin : 6)
Meminta perlindungan kepada jin dari marabahaya merupakan satu diantara warna kesyirikan yang dikutuk dalam Islam.
Ia adalah kebiasaan kaum jihilah yang merebak di kalangan mereka, karena kosongnya jiwa mereka dari tauhid (mengesakan Allah) dalam ibadah.
Abul Faroj Abdur Rahman Ibnul Jauziy –rahimahullah– berkata,
“الرجل في الجاهلية كان إذا سافر فأمسى في قفر من الأرض قال: أعوذ بِسِّيدِ هذا الوادي من شَرِّ سُفَهَاءِ قومه، فيبيت في جِوارٍ منهم حتى يصبح.” زاد المسير في علم التفسير (4/ 347)
“Seorang musyrik di masa jahiliah, bila ia bersafar, lalu di sore hari ia berada di suatu tempat yang sunyi lengang, maka ia berdoa (kepada jin), “Aku berlindung kepada pemilik lembah ini (yakni, jin) dari keburukan jin-jin buruk yang bodoh.” Lalu si musyrik ini pun bermalam di tempat itu dalam perlindungan jin (menurut persangkaannya) sampai datang waktu pagi.” [Lihat Zadul Masir, (4/347)]
Perhatikanlah kaum musyrikin ini, mereka minta perlindungan kepada jin yang mereka anggap kuasa di tempat itu.
Jiwa mereka selalu takut kepada jin-jin dan makhluk halus, karena kosongnya jiwa mereka dari pengagungan kepada Allah, Pemilik alam semesta.
Mereka lebih besar rasa takutnya kepada jin-jin itu disbanding rasa takutnya kepada Allah –azza wa jalla- yang melarang mereka dari kesyirikan, dan sebaliknya memerintahkan mereka untuk men-tauhid-kan (mengesakan Allah) dalam semua ibadah yang mereka kerjakan!
Itulah hukuman kaum yang mengotori dan mencampuradukkan keimanan dan tauhidnya dengan amalan-amalan kesyirikan yang dimurkai Allah.
Allah –tabaroka wa ta’la- berfirman,
{الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ (82)} [الأنعام: 82]
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am : 82)
Ayat ini menerangkan kepada anda bahwa siapa yang menjaga kemurnian iman dan tauhidnya dari noda-noda kesyirikan, bid’ah, dan dosa-dosa, maka ia akan mendapatkan keamanan yang sempurna dan diberi anugerah besar berupa hidayah menuju jalan keselamatan menuju surga.
Al-Imam Abul Muzhoffar Manshur bin Muhammad As-Sam’aniy –rahimahullah- berkata,
“وَمَعْنَاهُ: الَّذين آمنُوا، وَلم يخلطوا إِيمَانهم بشرك، هَذَا هُوَ قَول أبي بكر، وَعلي، وَحُذَيْفَة، وسلمان أَن المُرَاد بالظلم الشّرك، وَقد صَحَّ بِرِوَايَة ابْن مَسْعُود: ” أَنه لما نزلت هَذِه الْآيَة؛ شقّ ذَلِك على الصَّحَابَة، وَقَالُوا: أَيّنَا لم يظلم نَفسه؟ ! فَقَالَ: لَيْسَ الْأَمر كَمَا تظنون، إِنَّمَا الظُّلم هَاهُنَا بِمَعْنى الشّرك.” اهـ من تفسير السمعاني (2/ 121)
“Maknanya : “orang-orang yang beriman, dalam kondisi mereka tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kesyirikan…”
Ini adalah pendapat Abu Bakar, Ali, Hudzaifah, dan Salman bahwa yang dimaksud dengan “kezaliman” adalah kesyirikan.
Sungguh sebuah hadits shohih pada riwayat Ibnu Mas’ud bahwa tatkala ayat itu turun, maka hal itu menjadi berat bagi para sahabat, dan mereka bertanya, “Siapakah diantara kami yang tidak menzalimi dirinya?!
Nabi –shollallohu alaihi wa sallam- menjawab, “Bukanlah permasalahannya seperti yang kalian sangka. Hanyalah kezaliman disini (yang terdapat dalam ayat itu) adalah bermakna kesyirikan.” [Lihat Tafsir A-Sam’aniy (2/121), cet. Dar Al-Wathon, 1418 H]
الذين صدَّقوا الله وأخلصُوا له العبادة، ولم يخلطوا عبادتهم إياه وتصديقهم له بظلم = يعني: بشرك = ولم يشركوا في عبادته شيئًا، ثم جعلوا عبادتهم لله خالصًا، أحقّ بالأمن من عقابه.” اهـ من تفسير الطبري = جامع البيان ت شاكر (11/ 492)
“Orang-orang yang membenarkan Allah, dan memurnikan ibadahnya kepada Allah saja, dalam keadaan mereka tidak mencampurbaurkan ibadah mereka kepada Allah dan pembenaran mereka kepada-Nya dengan kezaliman, yakni dengan kesyirikan; mereka tidak menyekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Allah, lalu mereka jadikan ibadah mereka kepada Allah, murni hanya untuk Allah.
Mereka inilah yang berhak mendapatkan keamanan dari siksaan-Nya.” [Lihat Jami’ Al-Bayan (11/492), cet. Mu’assasah Ar-Risalah, 1420 H]
Para pembaca yang budiman, perkara kedua yang menjadi sebab seseorang meraup kenikmatan yang melebihi kenikmatan dunia adalah nikmat kesehatan jasad.
Setiap orang akan merasakan kebahagiaan yang luar biasa tatkala ia diberi nikmat kesehatan jasad. Rasa nikmatnya melebihi segala nikmat dunia.
Tidak ada yang dapat merasakan dan menghargai nilai kesehatan, melainkan mereka yang telah dicabut kesehatannya.
Sebuah nikmat besar berupa mata yang sehat, susah dihargai dengan kenikmatan apapun di dunia ini.
Manusia rela mengeluarkan apapun dari harta bendanya untuk menjaga dan merawat matanya. Ia rela membayar biaya operasi matanya saat terganggu kesehatan dan kenormalannya. Berapapun biayanya, ia berusaha menjaga kesehatan matanya.
Nikmat kesehatan mata dan anggota-anggota badan lainnya, wajib kita jaga dan syukuri dengan menggunakannya untuk perkara-perkara yang halal dan dicintai oleh Allah –tabaroka wa ta’ala-.
Andaikata seorang hamba dililit kemiskinan, maka hakikatnya ia tetap kaya. Karena, kesehatan jasadnya merupakan nikmat yang tiada taranya.
Ghossan berkata, ‘Sebagian sahabat-sahabat kami dari kalangan penduduk Bashrah menceritakan kepada kami,
حَدَّثَنِي بَعْضُ، أَصْحَابِنَا مِنَ الْبَصْرِيِّينَ قَالَ:
“جَاءَ رَجُلٌ إِلَى يُونُسَ بْنِ عُبَيْدٍ فَشَكَى إِلَيْهِ ضِيقًا مِنْ حَالِهِ وَمَعَاشِهِ، وَاغْتِمَامًا مِنْهُ بِذَلِكَ،
فَقَالَ لَهُ يُونُسُ: أَيَسُرُّكَ بِبَصَرِكَ هَذَا الَّذِي تُبْصِرُ بِهِ مِائَةُ أَلْفٍ؟ قَالَ: لَا،
قَالَ: فَسَمْعُكَ الَّذِي تَسْمَعُ بِهِ يَسُرُّكَ بِهِ مِائَةُ أَلْفٍ؟ قَالَ: لَا،
قَالَ: فَلِسَانُكَ الَّذِي تَنْطِقُ بِهِ مِائَةُ أَلْفٍ؟ قَالَ: لَا،
قَالَ: فَفُؤَادُكَ الَّذِي تَعْقِلُ بِهِ مِائَةُ أَلْفٍ؟ قَالَ: لَا،
قَالَ: فَيَدَاكَ يَسُرُّكَ بِهِمَا مِائَةُ أَلْفٍ؟ قَالَ: لَا؟
قَالَ: فَرِجْلَاكَ؟
قَالَ: فَذَكَّرَهُ نِعَمَ اللهِ عَلَيْهِ، فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ يُونُسُ، قَالَ: أَرَى لَكَ مِئِينَ أُلُوفًا، وَأَنْتَ تَشْكُو الْحَاجَةَ.” أخرجه أبو نعيم في حلية الأولياء وطبقات الأصفياء (3/ 22)
“Seorang laki-laki pernah dating kepada Yunus bin Ubaid, seraya mengadukan kepada Yunus tentang kesempitan keadaan dan kehidupannya, serta gundah gulananya lantaran hal itu.
Yunus berkata kepadanya, “Apakah menggembirakan dirimu uang sebanyak 100 ribu sebagai ganti bagi matamu yang kamu gunakan untuk melihat?
Laki-laki itu menjawab, “Tidak.”
Yunus berkata kepadanya, “Apakah menggembirakan dirimu uang sebanyak 100 ribu sebagai ganti bagi pendengaranmu yang kamu gunakan untuk mendengar?
Laki-laki itu menjawab, “Tidak.”
Yunus berkata kepadanya, “Apakah menggembirakan dirimu uang sebanyak 100 ribu sebagai ganti bagi lisanmu yang kamu gunakan untuk berbicara?
Laki-laki itu menjawab, “Tidak.”
Yunus berkata kepadanya, “Apakah menggembirakan dirimu uang sebanyak 100 ribu sebagai ganti bagi hatimu yang kamu gunakan untuk berpikir?
Laki-laki itu menjawab, “Tidak.”
Yunus berkata kepadanya, “Apakah menggembirakan dirimu uang sebanyak 100 ribu sebagai ganti bagi kedua tanganmu?
Laki-laki itu menjawab, “Tidak.”
Yunus berkata kepadanya, “Apakah menggembirakan dirimu uang sebanyak 100 ribu sebagai ganti bagi kedua kakimu?
Kata rawi, “Kemudian Yunus mengingatkannya tentang nikmat-nikmat Allah atas laki-laki itu, lalu Yunus menghadap kepada orang itu, seraya berkata, “Aku lihat kamu memiliki ratusan ribu dinar, sementara itu kamu masih mengeluhkan hajat-hajatmu.” [Atsar Riwayat Abu Nu’aim Al-Ashbahaniy dalam Hilyah Al-Auliya’ wa Thobaqot Al-Ashfiya’ (3/22)]
Nikmat sehat ini sering kali disia-siakan oleh kebanyakan manusia, apalagi di zaman ini. Mereka lupa dan lalai dari menggunakannya dalam amal-amal sholih, sebagaimana halnya waktu-waktu mereka dilalaikan dari amal-amal sholih, bahkan tidak jarang mereka isi dengan dosa dan maksiat.
Rasulullah –shollallohu alaihi wa sallam- bersabda,
«نِعْمَتَانِ مَغبونٌ فيهما كَثيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ، وَالفَرَاغُ» . رواه. البخاري.
“Dua nikmat yang kebanyakan manusia merugi padanya : kesehatan dan waktu kosong.” [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (6412)]
Al-Imam Muhammad Abdur Rahman Al-Mubarokfuriy –rahimahullah- berkata,
“لَا يَعْرِفُ قَدْرَ هَاتَيْنِ النِّعْمَتَيْنِ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ حَيْثُ لَا يَكْسِبُونَ فِيهِمَا مِنَ الْأَعْمَالِ كِفَايَةَ مَا يَحْتَاجُونَ إِلَيْهِ فِي مَعَادِهِمْ فَيَنْدَمُونَ عَلَى تَضْيِيعِ أَعْمَارِهِمْ عِنْدَ زَوَالِهَا وَلَا يَنْفَعُهُمُ الندم.” اهـ من تحفة الأحوذي (6/ 485)
“Kebanyakan manusia tidak mengenal nilai dua nikmat ini, dimana mereka tidak mengusahakan untuk keduanya sesuatu berupa amalan-amalan yang mencukupi sesuatu yang mereka butuhkan di negeri akhirat mereka. Lantaran itu, mereka menyesal karena menyia-nyiakan umur mereka, saat umur mereka telah habis, sementara penyesalan tidak lagi bermanfaat bagi mereka.” [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (6/485)]
Waktu-waktu yang kosong dan umur yang lengang dari kebaikan, akan menjadi sebab penyesalan dan tangisan bagi seorang hamba pada Hari Akhir.
Allah –ta’ala- berfirman,
{يَوْمَ يَجْمَعُكُمْ لِيَوْمِ الْجَمْعِ ذَلِكَ يَوْمُ التَّغَابُنِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ} [التغابن: 9]
“(Ingatlah) hari (dimana) Allah mengumpulkan kamu pada hari pengumpulan. Itulah hari kerugian. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, niscaya Allah akan menutupi kesalahan-kesalahannya dan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar.” [QS. At-Taghobun : 9]
Al-Imam Ibnu Jauziy Ad-Dimasyqiy –rahimahullah-,
“قَدْ يَكُونُ الْإِنْسَانُ صَحِيحًا وَلَا يَكُونُ مُتَفَرِّغًا لِشُغْلِهِ بِالْمَعَاشِ وَقَدْ يَكُونُ مُسْتَغْنِيًا وَلَا يَكُونُ صَحِيحًا فَإِذَا اجْتَمَعَا فَغَلَبَ عَلَيْهِ الْكَسَلُ عَنِ الطَّاعَةِ فَهُوَ الْمَغْبُونُ وَتَمَامُ ذَلِكَ أَنَّ الدُّنْيَا مَزْرَعَةُ الْآخِرَةِ وَفِيهَا التِّجَارَةُ الَّتِي يَظْهَرُ رِبْحُهَا فِي الْآخِرَةِ فَمَنِ اسْتَعْمَلَ فَرَاغَهُ وَصِحَّتَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ فَهُوَ الْمَغْبُوطُ وَمَنِ اسْتَعْمَلَهُمَا فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَهُوَ الْمَغْبُونُ لِأَنَّ الْفَرَاغَ يَعْقُبُهُ الشُّغْلُ وَالصِّحَّةُ يَعْقُبُهَا السَّقَمُ.” اهـ من فتح الباري لابن حجر (11/ 230)
“Terkadang seorang manusia sehat, namun ia tidak fokus (dalam beramal sholih), disebabkan kesibukannya dengan kehidupan dunia. Terkadang pula ia diberi kekayaan, namun ia tidak sehat.
Jika kedua hal itu (kesehatan dan kelowongan waktu) terkumpul (pada diri seorang manusia), lalu ia dikuasai oleh rasa malas dari (mengerjakan) ketaatan, maka ia adalah orang yang merugi.
Kesempurnaan hal itu bahwa dunia adalah ladang akhirat, dan di dunia terdapat perdagangan yang akan tampak keuntungannya di akhirat.
Siapa saja yang menggunakan waktu lowongnya dan kesehatannya dalam ketaatan kepada Allah, maka ia adalah seorang “maghbuth” (yang diidam-idamkan).
Barangsiapa yang menggunakannya dalam maksiat, maka ia adalah seorang “maghbun” (merugi). Sebab, waktu lowong (kosong) akan diiringi oleh kesibukan, dan kesehatan diiringi oleh sakit.” [Lihat Fathul Bari (11/230) karya Ibnu Hajar]
Kesehatan dan waktu lowong adalah dua modal pokok seorang manusia yang melakukan bisnis dan perniagaan akhirat.
Siapa yang menggunakannya dalam ketaatan dan menjauhkannya dari dosa dan maksiat, maka ia akan mendapatkan buah manis berupa surga. Itulah keberuntungan yang hakiki.
Sebaliknya, siapa yang menggunakan dua modal pokok itu dalam dosa dan maksiat, maka sungguh ia akan mendapatkan kerugian dalam perniagaan dan bisnis akhiratnya. Sebab, ia akan memetik buah pahit berupa api neraka yang menyala-nyala.
Para pembaca yang budiman, nikmat ketiga yang akan menghimpun kebahagiaan dunia adalah anugerah berupa makanan dan minuman, sekalipun pas-pasan.
Bahan makanan itu mencukupi untuk diri dan keluarganya dalam sehari. Bagaimana susahnya, jika seorang hamba masih diberi rezki berupa bahan makanan yang menguatkan dirinya di atas ketaatan kepada Allah –azza wa jalla-, maka ia sungguh di atas kebahagiaan.
Alangkah banyaknya manusia yang diberi kesehatan dan rasa aman, namun ia tidak diberi rezki berupa makanan dan minuman, entah karena kefakirannya, atau tidak adanya bahan makanan, atau entah karena mahalnya, sehingga tidak terjangkau.
Jika seseorang mengalami kelaparan, maka banyak jalan-jalan kebaikan yang tidak mampu ia lakukan, karena hilangnya tenaga.
Inilah hikmahnya Rasulullah –shollallohu alaihi wa sallam- pernah berdoa begini dalam rangka berlindung dari rasa lapar yang menghalangi dari kebaikan,
“اللهمَ إني أعوذُ بكَ عن الجُوع, فإنه بِئسَ الضَّجيعُ، وأعوذُ بكَ مِن الخِيانَة، فإنها بئسَتِ البِطَانَةُ”
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari rasa lapar. Karena, lapar itu adalah seburuk-buruk teman tidur, dan aku berlindung kepada-Mu dari khianat. Karena, khianat itu adalah seburuk-buruk teman pengiring.” [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1547) dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (3354). Hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam dalam Shohih Al-Jami’ (1283)]
Al-Imam Abdullah bin Umar Al-Baidhowiy –rahimahullah- berkata,
“استعاذ منه لأنه يمنع استراحة البدن, ويحلل المواد المحمودة بلا بدل, ويشوش الدماغ, ويثير الأفكار الفاسدة, والخيالات الباطلة, ويضعف البدن عن القيام بوظائف الطاعات.” اهـ من تحفة الأبرار شرح مصابيح السنة (2/ 107)
“Beliau (yakni, Nabi –alahish sholatu was salam-) memohon perlindungan (kepada Allah) dari rasa lapar. Sebab, rasa lapar akan menghalangi istirahatnya badan, mengolah bahan-bahan makanan tanpa ganti, mengganggu pikiran, dan memancing pikiran-pikiran rusak dan khayalan-khayalan batil, serta melemahkan badan dari mengerjakan tugas-tugas ketaatan.” [Lihat Tuhfah Al-Abror (2/107), karya Al-Baidhowiy, tahqiq Nuruddin Tholib, cet. Wuzaroh Al-Auqof wa Asy-Syu’un Al-Islamiyyah bi Al-Kuwait, 1433 H]
Sebuah keberuntungan besar di kala seorang muslim diberi rezki yang pas-pasan, namun ia syukuri dengan menggunakannya dalam rangka menguatkan diri dalam ketaatan, lalu ia ridho dengan pembagian rezki yang dapatkan setelah ia berusaha meraih dengan jalan yang halal.
Rasulullah –shollallohu alaihi wa sallam- bersabda,
«قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ»
“Sungguh beruntunglah orang yang masuk Islam, diberi rezki yang pas-pasan, dan diberi qona’ah (rasa puas) terhadap rezki yang Allah berikan kepadanya.” [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 1054)]
Apa yang dimaksud dengan “rezki yang pas-pasan”?
Al-Imam Abu Zakariyya Yahya bin Syarof An-Nawawiy rahimahullah- berkata dalam menjelaskannya,
“الْكَفَافُ الْكِفَايَةُ بِلَا زِيَادَةٍ وَلَا نَقْصٍ وَفِيهِ فَضِيلَةُ هَذِهِ الْأَوْصَافِ.” اهـ من شرح صحيح مسلم (7/ 145) للنووي
“Pas-pasan : cukup, tanpa ada kelebihan dan kekurangan. Di dalam hadits itu terdapat fadhilah (keutamaan) sifat-sifat ini.” [Lihat Syarh Shohih Muslim (7/145)]
Harta yang pas-pasan adalah harta yang tidak berlebihan sampai menyebabkan seorang hamba terlalaikan dengannya dari ketaatan dan ibadah, dan juga harta itu tidak kurang sampai menyebabkan seorang hamba menjadi hina dan rendah di hadapan manusia. Akhirnya, ia pun meminta-minta dan menengadahkan tangannya di depan manusia.
Para pembaca yang budiman, kebahagiaan bukanlah terbatas pada kekayaan harta benda. Tapi hakikat kebahagiaan itu adalah diberinya seorang hamba rasa aman, kesehatan jasad dan kekuatan yang cukup dalam beribadah dan taat kepada Allah.
Siapa saja yang diberi kenikmatan-kenikmatan ini –sekalipun ia miskin-, maka sungguh ia termasuk orang-orang yang berbahagia, dan diberi sebuah anugerah besar yang melebihi dunia beserta isinya.
Faishol bin Abdil Aziz Alu Mubarok Al-Huroimiliy –rahimahullah- berkata,
“فإذا كان المسلم آمنًا في محله، صحيحًا، عنده من القوت ما يكفه عن سؤال الناس، فهو في نعمة عظيمة.” اهـ
“Jika seorang muslim merasakan keamanan di kampungnya, sehat, dan di sisinya ada makanan yang menghalanginya dari meminta-minta, maka ia berada dalam kenikmatan yang amat besar.” [Lihat Tathriz Ar-Riyadh (hlm. 341)]
Inilah tiga nikmat penghimpun dunia bagi seorang. Siapa pun yang mendapatkan tiga nikmat ini, maka hendaknya ia memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya.
========
22 Muharrom 1439 H