Adab-adab Menasihati Para Penguasa

oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah hafizhahullah [Pembina Ponpes Al-Ihsan Gowa]

Di awal Desember 2010, kembali terjadi peristiwa pahit yang meninggalkan dampak buruk bagi masyarakat di negeri ini dan Makassar secara khusus, yakni adanya sejumlah mahasiswa dan masyarakat yang turun ke jalan-jalan melakukan aksi demo dalam rangka memperingati “Hari Anti Korupsi Sedunia” yang bertepatan dengan 9 Desember.

Setiap orang yang turun ke jalan memiliki tendensi dan niat tertentu. Ada yang menyangka bahwa demo yang ia lakukan adalah “jihad fi sabilillah”.

Ada yang menyangka bahwa demo mereka adalah nasihat dan amar ma’ruf-nahi munkar.

Ada yang turun dengan tendensi mencari reputasi dan nama baik agar selanjutnya ia mendapatkan pujian dan kedudukan politik.

Lahiriahnya, orang-orang seperti ini adalah pejuang rakyat. Tapi ternyata ia adalah pencari kursi ‘kekuasaan’, dunia, dan ketenaran.

Namun di balik semua itu, seorang yang cerdik nan pandai selayaknya bertanya,

“Apakah hal itu adalah nasihat yang dibenarkan dalam syariat?”

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka perlu diketahui bahwa nasihat adalah ibadah.

Jika ia adalah ibadah, maka ia harus ikhlash dan cocok dengan sunnah (petunjuk) Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.

Nah, demonstrasi yang mereka namai dengan “jihad” atau “nasihat”, tentunya tidak ikhlash.

Anggaplah mereka ikhlash niatnya, karena semata mencari ridho Allah. Namun demo yang mereka lakukan adalah sebuah pelanggaran dan penyelisihan terhadap syariat Islam sebagaimana yang anda akan lihat dalam rincian ulasan berikut:

Para pembaca yang budiman, nasihat memiliki adab-adab yang harus dijaga oleh seseorang saat ia mau menasihati para pemerintahnya yang muslim.

Adapun adab-adab menasihati pemerintah, maka kami akan sebutkan dalam poin-poin di bawah ini:

 

Nasihati harus Dilatari oleh Keikhlasan Niat

Menasihati seorang pemerintah merupakan ibadah dan tuntunan agama Islam yang agung ini.

Suatu masyarakat tak mungkin akan tegak di atas kebaikan bila nasihat tak ada diantara mereka, baik itu nasihat rakyat kepada pemerintahnya, ataukah nasihat pemerintah kepada rakyatnya. Ini merupakan dasar dan prinsip Islam yang menginginkan ketenangan dan kedamaian.

Dari Abu Ruqoyyah, Tamim bin Aus Ad-Dariy -radhiyallahu ‘anhu- (berkata), “Bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا لِمَنْ ؟ قَالَ: لِلَّهِ, وَلِكِتَابِهِ, وَلِرَسُوْلِهِ, وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ, وَعَامَّتِهِمْ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

“Agama itu adalah nasihat (pemurnian)”. Kami berkata, “Untuk siapa?” Beliau bersabda, “(Pemurnian itu) untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin, dan orang awam (rakyat)nya”.[HR. Muslim dalam Shohih-nya (no.55)]

Agama yang dibawa oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-  terbangun di atas “nasihat” bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin, dan rakyat.

Lantas apa yang dimaksud dengan “nasihat”?

Nasihat disini bermakna memurnikan. Seorang yang me-nasihat-i Allah, maksudnya memurnikan dan membersihkan Allah dari segala kekurangan, dan hal-hal yang merusak keimanan kita kepada-Nya berupa kesyirikan dan kekafiran.

Me-nasihat-i Al-Qur’an, maknanya seorang membersihkan, dan memurnikannya dari segala aib (kekurangan), dan perkara-perkara yang merusak Al-Qur’an dan kedudukannya.

Menasihati seorang pemimpin dengan membersihkan dan menjauhkannya dari segala kekurangan diri, baik itu berupa maksiat, kesyirikan, dan kekafiran.

Ibaratnya, nasihat itu adalah usaha untuk meluruskan segala penyimpangan, dan kesalahan.

Jika nasihat adalah agama dan ibadah, maka nasihat wajib di bangun di atas keikhlasan, karena mencari kebaikan dan pahala di dunia, bukan karena ingin dunia dan jabatan saja.

Memberi Nasihat dengan Cara Lembut dan Bersahabat

Nasihat yang kita arahkan kepada pemerintah hendaknya didasari dengan kelembutan dan sikap bersahabat, agar nasihat itu dapat diterima oleh mereka.

Sebab tabiat manusia (baik rakyat atau pemerintah), menyenangi kelembutan dan kedamaian.

Perhatikan firman Allah –azza wa jalla- saat memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun –alaihimas salam- agar menasihati Fir’aun ‘si Manusia Zolim’ dengan nasihati kelembutan,

{اذْهَبْ أَنْتَ وَأَخُوكَ بِآيَاتِي وَلَا تَنِيَا فِي ذِكْرِي (42) اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (43) فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (44)} [طه: 42 – 44]

“Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku.  Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, Sesungguhnya dia Telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. Thoohaa : 42-43)

Menasihati pemerintah hendaknya dengan menyampaikah nasihat yang lembut dan terambil dari Kitabullah dan Sunnah, bukan hanya sekedar hamasah (semangat), emosi dan perasaan yang terkadang menyeret kepada penghinaan dan celaan kepada pemerintah!

Hendaknya nasihat kepada penguasa dengan memberikan pengertian dan penjelasan tentang akibat dosa atau pelanggaran yang ia lakukan.

Al-Imam Abul Faroj Abdur Rahman Ibnul Jauziy -rahimahullah- berkata,

“مِنْ الْأَمْر بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْي عَنْ الْمُنْكَر مَعَ السَّلَاطِينِ التَّعْرِيف وَالْوَعْظ، فَأَمَّا تَخْشِينُ الْقَوْلِ نَحْو يَا ظَالِم يَا مَنْ لَا يَخَاف اللَّهَ، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ يُحَرِّك فِتْنَة يَتَعَدَّى شَرُّهَا إلَى الْغَيْر لَمْ يَجُزْ، وَإِنْ لَمْ يَخَفْ إلَّا عَلَى نَفْسِهِ فَهُوَ جَائِز عِنْد جُمْهُور الْعُلَمَاء قَالَ: وَاَلَّذِي أَرَاه الْمَنْع مِنْ ذَلِك.” اهـ الآداب الشرعية والمنح المرعية (1/ 195_196) لابن مفلح

“perkara yang dibolehkan dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar hubungannya dengan penguasa, yaitu memberikan pengertian dan nasihat.

Adapun berkata-kata kasar, seperti “Wahai orang zholim”, “wahai orang yang tidak takut kepada Allah!”, jika hal itu membangkitkan fitnah (masalah) yang menyebabkan kejelekannya tertular kepada orang lain, maka tidak boleh dilakukan. Jika ia tidak takutkan, kecuali atas dirinya, maka boleh menurut jumhur ulama. Namun menurut pendapatku, hal itu terlarang.” [ Lihat Al- Adab Asy-Syari’ah (1/195-197)]

Perhatikanlah petuah yang agung ini saat kita hendak menasihati penguasa agar tak keliru jalan sehingga nasihat itu berbuah manis.

Di dalam ayat ini juga terdapat isyarat bahwa nasihat kepada penguasa, bukan dilakukan oleh sembarang orang, tapi oleh kalangan terkemuka dan orang-orang berilmu.

Lain halnya di zaman ini, kebanyakan para pendemo dari kalangan orang-orang jahil atau berilmu tapi tak terkemuka.

Mengapa selayaknya demikian? Jawabnya, agar nasihat mudah diterima. Sebab, terkadang para pemerintah tidak akan menerima nasihat itu bila datangnya dari orang yang tidak dikenal keilmuannya atau ketajaman pandangannya.

Melakukan Nasihat dengan Cara Sirr (Rahasia & Tersembunyi)

Diantara perkara yang sering dilalaikan oleh orang-orang yang mau menasihati pemerintah, yakni menasihati pemerintah secara sirr (tersembunyi dan rahasia).

Hikmahnya agar pemerintah yang ternasihati mudah menerima nasihat dan saran-saran si pemberi nasihat.

Sebab, terkadang ia malu menerimanya jika nasihat kepadanya ditegakkan di depan orang banyak.

Apalagi sebagian orang menganggap bahwa nasihat yang disampaikan di depan orang banyak adalah penghinaan kepada yang ternasihati atau ia anggap hal itu sebagai sebuah sikap yang mempermalukan dirinya di depan rakyat.

Bagaimanapun keadaannya, hal ini (yakni, nasihat secara rahasia) tetap harus diperhatikan oleh orang yang ingin menasihati penguasa agar nasihatnya tak berbuah pahit.

Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

مَنْ َأَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلا َيُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فََذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى اَلَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ.

“Barangsiapa ingin menasihati penguasa dalam suatu perkara, maka janganlah ia menampakkan secara terang terangan. Akan tetapi hendaknya ia ia mengambil tangannya agar ia bisa berduaan. Jika ia terima ,aka itulah yamg diharap, jika tidak maka sungguh ia telah menunaikan tugas yan ada pada pundaknya”. [HR Ahmad dalam Al-Musnad (3/403-404) dan Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (1096, 1097, 1098). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Zhilal Al-Jannah (hal. 514)]

Perhatikanlah kandungan hadits ini; ia mengajarkan kepada kita bahwa nasihat kepada penguasa hendaknya dengan cara sir (rahasia dan tersembunyi), lembut dan bersahabat, bukan dengan cara kasar dan tak beradab!!

Alangkah anehnya pada hari ini, ada orang yang tidak terima jika dinasihati di depan publik, tapi ia sendiri malah menasihati pemerintah di depan publik!!!

Al-Imam Abu Zakariyya Ibnu An-Nuhhas Asy-Syafi’iy Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata,

“ويختار الكلام مع السلطان في الخلوة على الكلام معه على رؤوس الأشهاد، بل يود لو كلمه سراً ونصحه خفية من غير ثالث لهما.” اهـ من تنبيه الغافلين عن أعمال الجاهلين وتحذير السالكين من أفعال الجاهلين (ص: 76)

“Seseorang yang menasehati penguasa hendaknya memilih pembicaraan empat mata bersama penguasa dibandingkan berbicara bersamanya di depan publik, bahkan diharapkan (adanya kebaikan) andaikan ia berbicara dengan penguasa secara sirr ((rahasia), dan menasehatinya secara tersembunyi, tanpa pihak ketiga.” [Tanbih Al- Ghofilin ‘an A’malil Jahilin (hal. 64)]

As-Syaukaniy -rahimahullah- berkata,

ينبغي لمن ظهر له غلط الإمام في بعض المسائل أن يناصحه ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد.” اهـ من السيل الجرار المتدفق على حدائق الأزهار (ص: 965)

“Sepantasnya bagi orang yang tampak baginya kesalahan penguasa dalam sebagian masalah, agar ia menasihati penguasa, dan tidak menampakan celaan padanya didepan publik”. [Lihat As-Sail Al-Jarrar Al-Mutadaffiq (4/556)]

Dari sini, kita mengetahui kesalahan fatal sebagian orang, ketika melihat penguasa bersalah dan bermaksiat, atau membiarkan kemaksiatan, maka serta-merta mereka mengumpulkan manusia untuk demontrasi sehingga tersebarlah aib penguasa.

Demo sekalipun diniatkan sebagai “nasihat”, namun tetap salah karena ia merupakan sebuah sarana yang membeberkan aib penguasa.

Oleh karena itu, satu hal yang amat menyayat hati, dan membuat kita sedih, ketika kita menyaksikan ada sebagian mahasiswa dan masyarakat umum -bahkan terkadang ia adalah “aktivis dakwah Islam”- memompa, dan mengompori semangat pemuda-pemuda Islam untuk melakukan demonstrasi.

Al-Allamah Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz -rahimahullah- berkata, “Bukan termasuk manhaj salaf, membeberkan aib penguasa, dan menyebutkannya di atas mimbar-mimbar, karena hal itu akan mengantarkan kepada kudeta, tidak mau dengar dan taat dalam perkara ma’ruf, dan mengantarkan kepada pemberontakan yang merusak dan tidak membawa manfaat. Tapi metode yang  diikuti di sisi salaf: menasehati secara empat mata, menyurat, dan menghubungi para ulama yang berhubungan langsung dengannya sehingga penguasa bisa diarahkan kepada hal yang baik”. [ Lihat Huquq Ar-Ro’iy wa Ar- Ro’iyyah  (27)]

Jadi, seorang yang ingin menasihati pemerintah, maka ia lakukan dengan cara rahasia, dan empat mata, bukan menasihatinya secara terang-terangan di depan publik.

Oleh karena itu, termasuk di antara kesalahan sebagian orang, menasihati penguasa, lalu disebarkan nasihat dan hasil pertemuannya dengan pemerintah, baik lewat radio, televisi, koran, majalah, buletin, mimbar, majelis taklim, pertemuan umum, demonstrasi, dan lainnya.

Diantara metode yang paling buruk dalam menasihati penguasa, keluar ke jalan-jalan berkonvoi dalam rangka berdemo, apakah disertai kekacauan, ataukah, tidak!!

Dengarkan Al-Faqih Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimin -rahimahullah- berkata, 

“Demonstrasi merupakan perkara baru yang tidak pernah dikenal di zaman Nabi –shollallahu alaih wasallam- , dan tidak pula di zaman Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin dan para sahabat-radhiyallah anhum-. Kemudian di dalamnya juga terdapat kerusuhan, dan huru-hara yang menjadikannya terlarang, dimana juga terjadi di dalamnya pemecahan kaca-kaca, pintu-pintu dan lainnya. Juga terjadi ikhtilath (campur baur) antara pria dan wanita, antara anak muda dengan orang tua , serta perkara-perkara yang semacamnya, berupa kerusakan dan kemungkaran.Adapun masalah menekan dan mendesak pemerintah, maka jika pemerintahnya muslim, cukuplah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya –Shollallahu alaih wasallam- sebagai pengingat baginya. Ini merupakan sebaik-baik perkara (baca:nasihat) yang disodorkan kepada seorang muslim. Jika pemerintahnya kafir, maka jelas mereka (orang-orang kafir) itu tidak mau mempedulikan para demonstran. Boleh jadi Pemerintah kafir itu akan bersikap ramah dan baik di depan para demonstran, sekalipun di batinnya tersembunyi kejelekan. Karenanya, kami memandang bahwa demo merupakan perkaara munkar. Adapun ucapan (baca: alasan) mereka: “Inikan demo yang damai (tak ada kerusuhan,pent.)!!”, maka boleh jadi demonya damai di awalnya atau awal kalinya, kemudian berubah jadi demo perusakan. Aku nasihatkan kepada para pemuda agar mereka mengikuti jalan hidupnya para Salaf. Karena Allah telah memuji orang-orang Muhajirin  dan Anshor; Allah telah memuji orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan ”. [Lihat Buletin Silsilah Ad-Difa’ anis Sunnah (7): “Aqwaal ‘Ulama’ As-Sunnah fil Muzhaharat wa maa Yatarattab Alaih min Mafasid ‘Azhimah”, hal.2-3, cet. Maktabah Al-Furqon, UEA.]

Alangkah benarnya apa yang dikatakan beliau bahwa demo-walaupun tanpa kerusuhan- merupakan perkara baru dan bid’ah. Bid’ahnya orang-orang Khawarij.

Anggaplah demo itu damai, akan tetapi itu merupakan sarana dalam menyebarkan aib penguasa, karena dengan keluarnya seseorang ke jalan-jalan untuk demo, akan memberikan opini bahwa mereka akan pergi mengeritik, dan membongkar aib, dan kekurangan penguasa. Membeberkan aib penguasa muslim merupakan metode lama yang dipergunakan oleh kaum Khawarij yang suka memberontak.

Para Penasihat harus Berhias Kesabaran dan Adab Islami

Menasihati penguasa muslim atau masyarakat secara umum, hendaknya dengan penuh kesabaran; jangan tergesa-gesa ingin melihat hasil.

Sebab, tanggung jawab seorang penasihat hanyalah menyampaikan nasihat, tanpa peduli apakah penguasa yang ternasihati menerima nasihat atau tidak.

Kita bukanlah penguasa yang berhak memaksa dalam nasihat. Kita hanyalah rakyat dan bawahan yang datang selaku pemberi nasihati yang mengharapkan kebaikan dengan cara baik pula, bukan kita datang sebagai musuh dan diktator kejam yang semaunya menekan dan memaksa orang!

Inilah manhaj yang diajarkan oleh Allah -Azza wa Jalla- kepada para nabi dan rasul.

Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,

{فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ (21) لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ (22) } [الغاشية: 21، 22]

“Maka berilah peringatan, Karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka”. (QS. Al-Ghosyiyah : 21-22)

Di dalam ayat yang lain, Allah –tabaroka wa ta’ala- berfirman,

{فَإِنْ حَاجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْأُمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ } [آل عمران: 20]

“Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), Maka Katakanlah: “Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku”. dan Katakanlah kepada orang-orang yang Telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: “Apakah kamu (mau) masuk Islam”. jika mereka masuk islam, Sesungguhnya mereka Telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya”. (QS. Ali Imraan : 20)

Sumber: https://abufaizah75.blogspot.com/