Tetangga yang hidup berdampingan rumah dengan kita termasuk orang-orang yang dekat dengan kita. Bahkan terkadang mereka lebih dekat lagi dibandingkan kerabat kita sendiri!!
Mereka memiliki perhatian yang lebih besar daripada kerabat kita sampai kadang mereka bagaikan saudara kandung atau orang tua sendiri.
Mereka mengetahui keadaan dan seluk-beluk rumah kita, baik yang masuk ke rumah, maupun yang keluar.
Intinya, mereka tahu persis tentang segala yang terjadi pada rumah kita. Itulah tetangga!!
Tetangga juga merupakan orang kepercayaan kita, tumpuan harapan kita dalam mengerjakan sebagian perkara yang kita hadapi.
Selain itu, mereka punya kehormatan dan kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan orang-orang yang tinggal jauh dari kita.
Itulah sebabnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- amat berang bila mendengarkan seseorang mengganggu tetangganya.
Dari Abu Syuraih –radhiyallahu anhu– berkata bahwa Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,
واللهِ لا يؤمنُ، واللهِ لا يؤمنُ، واللهِ لا يؤمِنُ، قِيْلَ: ومن يا رسولَ اللهِ ؟ قال: الذي لاَ يَأْمَنُ جَارُه بوائقَه
“Demi Allah, tak akan beriman. Demi Allah, tak akan beriman. Demi Allah, tak akan beriman”. Beliau ditanyai, “Siapakah dia wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Orang yang tetangganya tak merasa aman dari keburukan-keburukannya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 5670)]
Ini adalah kecaman yang amat keras bagi orang yang mengganggu tetangga. Orangnya dicap sebagai “orang yang tak sempurna imannya”, yakni ia tak akan mampu mencapai derajat iman yang sempurna sepanjang ia masih suka mengganggu tetangga dan tak mau bertobat dari kesalahan itu!!
Al-Imam Ibnu Baththol Al-Qurthubiy –rahimahullah– berkata,
وهذا الحديث شديد فى الحض على ترك أذى الجار ، الا ترى أنه عليه السلام أكد ذلك بقسمه ثلاث مرات أنه لاؤمن من لايؤمن جاره بوائقه ، ومعناه أنه لايؤمن الإيمان الكامل ، ولا يبلغ أعلى درجاته من كان بهذه الصفة ، فينبغى لكل مؤمن أن يحذر أذى جاره ويرغب أن يكون فى أعلى درجات الإيمان ، وينتهى عما نهاه الله ورسوله عنه ، ويرغب فيما رضياه وحضا العباد عليه . وقال أبو حازم المنزى : كان اهل الجاهلية أبر بالجار منكم ((شرح صحيح البخارى ـ لابن بطال – (9 / 222))
“Hadits ini amat menganjurkan untuk tidak mengganggu tetangga. Tidakkah anda melihat bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menekankan hal itu dengan bersumpah sebanyak tiga kali bahwa tidaklah beriman orang yang tetangganya tidak merasa aman dari keburukan-keburukannya. Maknanya, ia tidak beriman dengan keimanan yang sempurna.
Orang yang demikian ini sifatnya tak akan mencapai derajat yang paling tinggi. Karena itu, sepantasnya bagi setiap mukmin waspada dari mengganggu tetangganya, dan (hendaknya) ia berkeinginan untuk berada pada tingkatan iman yang paling tinggi serta berhenti dari sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya larang, dan (sebaliknya) mencintai sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya ridhoi dan menganjurkan para hamba untuk melakukannya.
Abu Hazim Al-Madaniy berkata, “Dahulu orang-orang jahiliah adalah orang-orang yang amat berbuat kebajikan kepada tetangganya dibandingkan kalian…”. Selesai ucapan Ibnu Baththol –rahimahullah-. [Lihat Syarh Shohih Al-Bukhoriy (9/222) karya Al-Imam Ali bin Kholaf Ibnu Baththol Al-Andalusiy, cet. Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh, 1423 H]
Bayangkan saja beratnya ancaman ini!! Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– menyatakan bahwa pelakunya tak akan mencapai puncak keimanan.
Syaikh Faishol bin Abdil Aziz Alu Mubarok –rahimahullah– berkata,
“Di dalam hadits ini terdapat ancaman yang amat keras bagi orang membuat tetangganya merasa takut ataukah ia mengkianatinya dengan merusak keluarga dan harta bendanya”. [Lihat Tathriz Ar-Riyadh (1/221)]
Itulah sebabnya Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– menjelaskan bahwa mengganggu dan menyakiti tetangga amatlah besar dosanya.
Sebab hal itu akan merusak hubungan dan menyakiti hati para tetangga, bahkan boleh jadi menghancurkan kehidupan mereka!! Belum lagi, dosa menyakiti hati tetangga merupakan maksiat dan kedurhakaan kepada Allah -Tabaroka wa Ta’ala-.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لَأَنْ يَزْنِيَ الرَّجُلُ بِعَشْرَةِ نِسْوَةٍ، أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِيَ بِامْرَأَةِ جَارِهِ ولَأَنْ يَسْرِقَ الرَّجُلُ مِنْ عَشْرَةِ أَبْيَاتٍ، أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَسْرِقَ مِنْ جَارِهِ
“Seseorang berzina dengan 10 orang perempuan adalah lebih ringan baginya dibandingkan ia berzina dengan istri tetangganya. Seseorang mencuri dari 10 rumah adalah lebih ringan baginya dibandingkan ia mencuri dari seorang tetangganya”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (6/8), Al-Bukhoriy dalam Al-Adab Al-Mufrod (no. 103), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (no. 605). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 65)]
Al-Imam Abdur Rahman Ibnul Jawziy Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata menjelaskan alasan dosa mengganggu tetangga lebih besar dibandingkan selainnya,
وإنما كان هذا؛ لأنه يضم إلى معصية الله عز وجل انتهاك حق الجار ((صيد الخاطر – (1 / 293))
“Hanyalah demikian ini halnya. Karena, melanggar hak tetangga bergabung bersamanya kedurhakaan kepada Allah -Azza wa Jalla-“. [Lihat Shoidul Khothir (hal. 293), cet. Darul Qolam, 1425 H]
Para pembaca yang budiman, kehidupan seseorang dalam dunia ini ibarat safar yang dilakukan oleh para musafir. Dalam safarnya, manusia membutuhkan bekal dan teman safar.
Bekal dan teman safar akan membantu kita dalam mencapai tujuan yang kita inginkan.
Seseorang dalam safarnya haruslah menjaga perasaan dan hajat teman safarnya serta tidak menyakitinya agar perjalanan nyaman dan selamat sampai ke tujuan. Ia bahagia dan kita pun bahagia!
Jika tidak, maka ia akan sampai dalam keadaan capek sekali, bahkan boleh jadi akan celaka dan tidak sampai ke tujuan atau tersesat!! Betapa banyak tetangga sial nan buruk membuat tetangga yang dulunya baik dan sholih. Namun akibat keburukan si tetangga sial ini, akhirnya saudara seperjalanannya dalam kehidupan dunia ini semakin jauh darinya dan pada gilirannya mmebenci si tetangga sial ini.
Tetangga baik yang mestinya menjadi teman seiring dan sejalan dalam ber-ta’awun (tolong-menolong) dalam kebaikan, justru ia musuhi dan sakiti.
Salah satu TEMAN SAFAR dalam menuju akhirat adalah tetangga. Mereka inilah yang harus kita pergauli dengan baik dalam hari-hari perjalanan kita di dunia menuju akhirat. Jangan justru menyakiti dan mengganggu mereka, sehingga hal itu akan menjauhkan kita dari kebaikan dan jalan-jalan surga.
Al-Imam As-Saffariniy Al-Hanbaliy –rahimahullah– berkata,
وَمِنْ أَرْكَانِ السَّفَرِ حُسْنُ الصُّحْبَةِ فِي مَنَازِلِ السَّفَرِ مَعَ الْمُسَافِرِينَ . وَالْخَلْقُ كُلُّهُمْ مُسَافِرُونَ يَسِيرُ بِهِمْ الْعُمْرُ سَيْرَ السَّفِينَةِ بِرَاكِبِهَا فِي الْبَحْرِ . وَأَقَلُّ دَرَجَاتِ حُسْنِ الصُّحْبَةِ كَفُّ الْأَذَى عَنْهُمْ ، وَهَذَا وَاجِبٌ ((غذاء الألباب في شرح منظومة الآداب – (1 / 361))
“Diantara rukun-rukun safar (menuju akhirat), baiknya perkawanan di dalam tempat-tempat persinggahan saat safar bersama para musafir. Seluruh manusia adalah musafir; umur membawa mereka seperti halnya perahu membawa penumpangnya di lautan. Serendah-rendahnya tingkatan baiknya perkawanan (dalam safar menuju akhirat) adalah menghindarkan gangguan dari mereka (yakni, dari para musafir). Ini adalah wajib!!”. [Lihat Ghidzaa’ Al-Albab Syarh Manzhumah Al-Adaab (1/278) karya Muhammad bin Ahmad As-Saffariniy, dengan tahqiq Muhammad Abdul Aziz al-Kholidiy, cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1423 H]
Jika tetangga ibarat teman safar, maka tentunya mereka harus saling percaya, peduli, memperhatikan dan mencintai tetangganya, bukan malah mengkhianatinya, membencinya, berburuk sangka kepadanya atau merusak hati, jasad, atau kehidupannya!!
Suatu realita yang tak terbayangkan bila –misalnya- tetangga kita mengkhianati kita dalam urusan rumah tangga kita. Si tetangga buruk ini pun membawa lari istri kita!! Na’udzu billahi min dzalik!!!
Coba bayangkan bagaimana remuknya hati kita, galaunya pikiran kita, hancurnya perasaan kita, kelamnya masa depan kita, bingungnya sikap kita, dan hilangnya kehormatan kita!!!!
Oh, hancur segalanya!! Semua harapan hancur, karena kekasih (yakni, istri) yang selama ini menjadi orang yang paling kita sayangi dan cintai, guru bagi anak-anak dan keluarga kita, tambatan hati kita yang menjadi penyejuk hati di kala galau. Kini ia dihancurkan martabatnya oleh manusia setan dari kalangan tetangga kita yang selama ini menjadi saudara, sahabat, dan kepercayaan kita. Kini, tetangga ini berubah menjadi musuh dalam selimut, perusak dan pengkhianat!!!
Alangkah besarnya dosa si perusak rumah tangga ini. Lebih para lagi, bila si perusak ini adalah saudara kita, saudara yang memutuskan tali kekeluargaan kita.
Al-Imam Al-Hafizh Abu Abdillah Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah –rahimahullah– berkata,
ولا بائقه أعظم من الزناء بامرأته فالزناء بمائة امرأة لا زوج لها أيسر عند الله من الزناء بامرأة الجار فان كان الجار أخا له أو قريبا من أقاربه إنضم الى ذلك قطيعة الرحم فيتضاعف الاثم فان كان الجار غائبا في طاعة الله كالصلاة وطلب العلم والجهاد وتضاعف الاثم ((الجواب الكافي – (1 / 78))
“Tidak ada kerusakan yang lebih besar dibandingkan berzina dengan istri tetangga. Berzina dengan 100 orang wanita yang tidak memiliki suami, lebih ringan di sisi Allah dibandingkan berzina dengan istri tetangga.
Jika tetangga itu adalah saudara seseorang atau seorang diantara kerabatnya, maka bergabung kepada dosa itu pemutusan tali silatur rahim. Karenanya, berlipat gandalah dosanya.
Jika tetangga itu pergi dalam rangka ketaatan kepada Allah, seperti sholat, mencari ilmu, dan berjihad, maka dosa si perusak itu dilipatgandakan.
Jika si istri adalah kerabat sang suami, maka bertambah lagi pemutusan tali silaturahimnya si wanita itu (dari suaminya)”. [Lihat Al-Jawab Al-Kafi (5/217)]
Seorang tetangga memiliki kehormatan dan kemuliaan di dalam Islam. Tak boleh seorang muslim mengganggunya dengan ucapan, maupun perbuatan. Dilipatgandakannnya dosa bagi orang yang menyakiti dan mengganggu tetangga, demi menjaga kehormatan mereka dan kemuliaan mereka sehingga tidak hilang atau berkurang disebabkan ulah dan perbuatan buruk si tetangga sial.
Syaikh Athiyyah Salim Al-Mishriy –rahimahullah– berkata saat mengomentari hadits di atas,
فلماذا كانت السرقة من الجار أشد إثماً من السرقة من عشرة بيوت؟ وما الذي ضاعف الجرم في تلك الجريمة؟ إنها حرمة الجار. ((دروس للشيخ عطية سالم – (27 / 13))
“Nah, kenapa pencurian dari tetangga lebih besar dosanya dibandingkan mencuri dari 10 rumah lain. Apa yang menyebabkan berlipatgandanya dosa pada pelanggaran ini. Semua itu karena kehormatan tetangga”. [Lihat Duruus li Asy-Syaikh ‘Athiyyah Salim (27/13)-Syamilah]
“Menyakiti tetangga dengan pergaulan yang buruk atau mengorek-orek aib mereka, mencari-cari keburukan mereka, atau menyebarkan rahasia mereka, mengolok-olok mereka, atau mengganggu mereka dengan suara tinggi lagi mengagetkan, membuang sampah di depan mereka, atau berzina dengan istri mereka ataukah mencuri dari rumah mereka. Semua ini lebih besar dosanya dibandingkan dosa yang kita lakukan pada selain tetangga sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-“. [Lihat Darokaat An-Naar min Al-Kitab wa Shohih Al-Akhbaar (hal. 52), karya Abu Abdil Malik Hatim bin Asy-Syarbiniy Al-Atsariy]
Hendaknya seorang muslim dalam bertetangga dengan muslim lainnya, menjadikan tetangganya sebagai sebab imannya meningkat.
Ia tumbuhkan di dalam hatinya semangat dalam mencintai kebaikan bagi saudaranya. Ia senang melihat saudaranya berada dalam kebaikan, dan hatinya bergembira di saat ia melihat mereka berbahagia.
Jika ia melihat sebuah keburukan dan kekeliruan pada tetangganya, maka ia mencari jalan terbaik dalam memperbaikinya, bukan malah menjadikan keburukannya menjadi bahan gunjingan dan ghibah yang sedap di lidah, namun berbuah pahit di akhirat.
Seseorang ketika hidup bertetangga, harus mengingat bahwa tetanggaku bukanlah seorang nabi dan bukan pula malaikat yang tidak memiliki dosa dan kekurangan.
Sebagian orang terkadang menyangka dan berasumsi bahwa tetangganya harus selamanya baik. Kapan pun ia melihatnya buruk, maka ia kumpulkan keburukan-keburukannya, lalu ia jadikan hal itu sebagai alasan dalam berbuat buruk kepada tetangganya.
Orang seperti ini kadang tidak menyadari bahwa dirinya penuh dengan kekurangan. Ia mengira dirinya adalah manusia sempurna yang tidak memiliki aib dan kekurangan. Na’udzu billahi min dzalik.
Seorang yang berakal akan selalu berpikir positif kepada para tetangganya, dan selalu mengoreksi diri saat ia hidup bersama mereka, apalagi saat munculnya gesekan-gesekan hidup. Ia koreksi dirinya,
“Sudah baikkah pergaulan dan akhlakku kepada mereka?
Mereka benci kepadaku, bukankah aku sebab ia benci?
Saat aku membenci mereka, apakah tidak dosa?
Aku berbuat buruk kepadanya, kemanakah suatu saat aku meminta pertolongan?
Jadi, seorang tetangga yang berakal akan selalu mencari aib dirinya sendiri dan senantiasa berbaik sangka kepada tetangganya dan mencari udzur tetangga dan saudaranya.
Lain halnya, apabila tetangga kita terang-terangan melakukan kemaksiatan dan dosa-dosa serta berbangga dengannya, maka kita berulang kali berikan nasihat yang terbaik kepadanya. Jika nasihat itu tidak berguna, dan kemaksiatannya dapat mempengaruhi diri kita dan keluarga kita, maka kita batasi pergaulan dengannya, sambil tetap memikirkan jalan terbaik baginya agar ia bisa berubah baik seperti diri kita.
Para pembaca yang budiman, pertetanggaan, ibarat anugerah dan rezki dari Allah -Tabaroka wa Ta’ala-.
Karenanya, seorang muslim hendaknya meminta kepada Allah agar diberi tetangga yang baik dan dijauhkan dari tetangga yang buruk.
Abu Hurairah Ad-Dausiy –radhiyallahu anhu– berkata,
كَانَ مِنْ دُعَاءِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ جَارِ السُّوءِ وَمِنْ زَوْجٍ تُشَيِّبُنِي قَبْلَ الْمَشِيبِ وَمِنْ وَلَدٍ يَكُونُ عَلَيَّ رِبًا وَمِنْ مَالٍ يَكُونُ عَلَيَّ عَذَابًا وَمِنْ خَلِيلٍ مَاكِرٍ عَيْنَهُ تَرَانِي وَقَلْبُهُ تَرْعَانِي إِنْ رَأَى حَسَنَةً دَفَنَهَا وَإِذَا رَأَى سَيِّئَةً أَذَاعَهَا
“Diantara doa Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam-,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ جَارِ السُّوءِ وَمِنْ زَوْجٍ تُشَيِّبُنِي قَبْلَ الْمَشِيبِ وَمِنْ وَلَدٍ يَكُونُ عَلَيَّ رِبًا وَمِنْ مَالٍ يَكُونُ عَلَيَّ عَذَابًا وَمِنْ خَلِيلٍ مَاكِرٍ عَيْنَهُ تَرَانِي وَقَلْبُهُ تَرْعَانِي إِنْ رَأَى حَسَنَةً دَفَنَهَا وَإِذَا رَأَى سَيِّئَةً أَذَاعَهَا
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari tetangga yang buruk, dari istri yang membuatku beruban sebelum masa beruban, dari anak yang menjadi tuan bagiku, dari harta yang menjadi siksaan atasku dan dari kawan yang berbuat makar; matanya memandangiku, sedang hatinya mengawasiku. Jika ia melihat kebaikan, maka ia tanam (sembunyikan) dan jika melihat keburukan, maka ia menyebarkannya”. [HR. Hannad dalam Az-Zuhd (no. 1038) dan Ath-Thobroniy dalam Al-Mu’jam Al-Awsath (no. 1339). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 3137)]
Hadits ini merupakan lautan faedah yang memendam banyak mutiara hikmah yang dapat kita gali. Itulah lentera wahyu yang memancarkan cahaya melalui lisan Rasul dan manusia terbaik, Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Di dalam hadits ini Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- mengingatkan kita tentang lima golonganmakhluk yang harus diwaspadai, jangan sampai menjerumuskan kita ke dalam lembah kebinasaan.
Jika seseorang salah langkah dalam memilih dan mencari hal-hal tetangga –misalnya-, maka ia akan mendapatkan kesusahan hidup dan kesengsaraan di dunia dan boleh jadi di akhirat.
Tetangga yang buruk akan banyak menimbulkan masalah dan keburukan bagi saudaranya yang lain.
Tetangga buruk merupakan beban berat yang melebihi beratnya batu besar dan besi berat!!
Konon kabarnya, Luqman Al-Hakim –rahimahullah– pernah berpesan kepada anaknya,
يَا بُنَيَّ حَمَلْتُ الْجَنْدَلَ وَالْحَدِيدَ وَكُلَّ شَيْءٍ ثَقِيلٍ، فَلَمْ أَجِدْ شَيْئًا هُوَ أَثْقَلَ مِنْ جَارِ السَّوْءِ
“Wahai anakku, aku telah memikul batu besar dan besi serta segala sesuatu yang berat. Namun aku tak pernah memikul sesuatu yang lebih berat dibandingkan tetangga yang buruk.”[Atsar Riwayat Ibnu Mubarok dalam Az-Zuhd (no. 991), Ahmad dalam Az-Zuhd (hlm. 105), Al-Marwaziy dalam Al-Birr wa Ash-Shilah (no. 225 & 261), Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (no. 34296), Ibnu Abid-Dun-ya dalam Makarim Al-Aklahq (no. 351), dan Abu Bakr Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (no. 4891)]
Tetangga yang buruk merupakan musibah dunia, bahkan boleh jadi juga merupakan sebab kesengsaraan akhirat kita selaku tetangganya, sebagaimana halnya tetangga baik yang tidak pernah menyakiti dan mengganggu tetangganya merupakan sebab seorang hamba mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat. Sebab, ia akan selalu menolong dan membimbing kita kepada kemaslahatan dunia dan akhirat kita.
Dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqqosh –radhiyallahu anhu-, Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,
أربعٌ مِنَ السعادةِ : المرأةُ الصالحةُ والمسكنُ الواسعُ والجارُ الصالِحُ والمركبُ الهِنِيْءُ، وأربعٌ من الشقاوةِ : الجارُ السوءُ والمرأةُ السوْءُ وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ وَالْمَرْكَبُ السُّوْء
“Ada empat diantara kebahagiaan : istri yang sholihah (baik), tempat tinggal yang luas, tetangga yang sholih (baik), dan kendaraan yang nyaman.
Ada empat kesengsaraan: tetangga yang buruk, istri yang buruk, rumah yang sempit, dan kendaraan yang buruk”.
[HR. Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (no. 4032) dan Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (12/99). Sanad hadits ini dinyatakan shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 282)]
أصل المادة من منشورات التوحيد التي قام بنشرها سابقا الأستاذ عبد القادر أبو فائزة –حفظه الله المولى-، إصدار : 5 مارس 2013 م |